30 January 2011

catatan 19 Januari 2011

19 januari 2011. Aku sungguh tidak terbiasa dengan tanggal. Aku menatap layar handphone yang setia menjaga tidurku. Pagi itu aku terbangun bukan karena ribut nada alarmnya, tapi ketika melihat tanggal hari ini. Aku malah terbangun kaget waktu sudah berlari secepat itu. Januari tinggal 1/3 lagi lalu habis. Pagi tadi pula aku langsung bangkit dari kasur tanpa melanjutkan tidur lagi. suara tangis seorang ibu yang rumahnya berdampingan dengan tempat tinggalku membuatku kasihan. Suaranya berusaha ia pelankan tapi aku bisa mendengar jelas. Aku termasuk orang yang mudah terjaga dari tidur oleh langkah kaki yang pelan dari rumah bagian bawah, atau jendela yang berdenting pelan. Demikian juga suara perempuan itu. Ia menangis, rupanya sedang terlibat pertengkaran dengan seseorang lewat telpon. Sungguh lagi, aku tidak tahan mendengar apalagi melihat seseorang menangis.

Air mata adalah puncak perih tapi tidak terperi. Tapi mereka yang menangis masih beruntung bisa mengalirkan kepedihan dari hulu hati menuju hilir tanah, terserap ke dalam tanah atau terbenam dalam sungai. Bagaimana jika sudah tidak bisa menangis. Temanku berkata tangis di dalam hati lebih menyakitkan. Kau tidak bisa menunjukkannya pada orang lain, hingga rasa itu terus tertinggal di sana, sendirian dalam bungkusan hari-hari yang sepi, menjadi daging numpang yang membuatmu terlihat buruk. Kesedihanmu tidak punya jalan keluar, ia tidak menemukan muara, selamanya terperangkap di sana, sendirian yang makin membuatmu sakit.

Ini adalah januari ke enam saya jalani di Makassar, kota yang mulai kucintai dan tidak ingin kutinggalkan. Hujan baru saja reda. Januari, saat musim hujan menemukan rumah dan ketika titik terbit matahari bergeser sedikit ke utara, siang sedikit terasa lebih panjang. Januari, juga masa libur bagi mahasiswa-mahasiswi untuk pulang kampung. rumah kos tempat tinggalku juga sepi. Di rumah ini, aku satu-satunya alumni yang masih memilih tinggal, tidak pulang kampung seperti teman-teman kos seangkatan yang sudah pergi duluan.

Tiga hari lalu, ibu menelpon mengingatkan janji untuk pulang. Aku merasa bersalah terlalu sering berjanji. Ia rindu padaku. Kali ini aku tidak ingin mengecewakannya. Aku akan pulang pekan ini. Ingin sedikit memberi ruang baginya bercerita. Orang tua kadang hanya ingin didengarkan, mereka kesepian, rutinitas telah mengasingkan mereka. mereka menghadapi kenyataan rumah yang selama ini mereka bangun, anak-anak mulai meninggalkan mereka. Mereka pulang ke rumah yang sepi.

Mungkin ini hanya ungkapan sinis dariku. Karena kutahu mereka bahagia bisa memberi aku hidup. Kadang aku sedih memikirkan kesepian yang mereka jalani. Meski orang tua telah menjalani lebih banyak ujian dibanding aku, anaknya.

Ayahku pernah berpesan: belajarlah maka engkau akan melangkah jauh. Kalimat ini kembali berlalu lalang di kepala sejak desember lalu. Jika dilihat, aku lebih mirip beliau dibanding ibu, mulai dari matanya, sifatnya, caranya berbahasa lewat tulisan, kejeliannya melihat sesuatu, dan sifat pendiamnya. Tapi aku tidak yakin jika bapak punya sifat penakut seperti aku. Kurasa tidak, ia berani menghadapi apapun untuk keluarga yang ia cintai.

Ada yang bilang syarat kebahagiaanku sangat sederhana. Kupikir diriku sudah bersyukur benar, ternyata tidak. Aku sering mengeluh dengan beratnya belenggu kemalasan, angan-angan yang berkepanjangan, ketakutan tidak pada tempatnya yang memasung langkahku. Aku ingin belajar pada ibu, perempuan kuat, perfeksionis, tidak mudah menyerah, berjuang sampai titik penghabisan. Itulah ibuku dan aku tidak ingin terus menerus menjadi antitesisnya. dan seperti pesan ayahku, aku ingin belajar lagi agar bisa melangkah lebih jauh.

No comments: