20 May 2013

Tentang 2 David

Aku masih ingat ekspresi wajah bermahkota rambut pirang itu melekat di dinding kamar kakakku. Sebuah poster dari majalah ANITA yang kubeli dari uang tabunganku waktu itu, tidak lama sebelum ujian kelulusan SD. Sometimes in 1998, jelang Piala Dunia. Poster itu awalnya diminta seorang teman, sebagai gantinya ia akan memberiku poster Ricky Martin di edisi Anita berikutnya haha (saat itu lagi booming-nya La Copa de La Vida). Tapi kakakku mencegah, karena doski yang mau pasang *tepokjidat. Secara teknis juga waktu itu aku belum punya kamar sendiri.

David Beckham… Pria dengan rambut pirang di poster itu. Saya menjadi saksi pertandingan panas berbumbu politis Inggris vs Argentina, di mana ia diganjar kartu merah karena ‘menendang’ Diego Simone. Subuh itu, rumah ramai. Di lantai bawah Bapak menonton via TVRI, sedangkan kakak-kakakku bersama teman-temannya menyaksikannya di lantai atas. Saya terbangun oleh keriuhan saat Michael Owen menciptakan gol penyama kedudukan 2-2. Saat meniti tangga ke atas, kepala kakakku muncul dan mengucapkan hal yang bikin hati remuk: “Beckham kartu merah!” 
 
A moment that defined year 1998

God, mataku yang masih mengantuk akhirnya membelalak. Ya, saya masih ingat wasit mengangkat kartu merah di tayangan ulang. Riuh kembali tercipta (yang saya yakin bukan hanya di rumah kami). Dan entah kenapa ada sedikit ngilu di hati waktu Beckham meninggalkan lapangan. Benar-benar pertandingan yang emosional buatku. 

 Beckham bukanlah pemain bola favoritku. Tapi dia salah satu alasanku mulai menyukai pertandingan sepak bola sejak saat itu. Kehebatan adalah definisi dirinya. Meski tidak terlalu mengikuti perkembangan karirnya, hati saya tetap merasakan kehilangan saat sebuah tayangan TV baru-baru ini mengabarkan rencana pensiun Becks. Dalam tayangan itu, Spice Boy ini meninggalkan lapangan sekali lagi seperti waktu melawan Argentina subuh itu, tapi kali ini dengan mata yang memerah.

merayakan gol Owen... yg juga pensiun tahun ini... hiks

Seorang David lain, David Trezeguet. Yang satu ini, saya secara resmi adalah fans berat. Senyum ‘kecele’nya saat berulang kali gagal menjebol gawang Senegal di pertandingan perdana Piala Dunia 2002 sungguh menawan hati. Perancis kalah duluan dan lagi-lagi ‘sakit hati’. Tahun-tahun berikut dalam hidupku bisa ditebak, beli tabloid olahraga yang ada dia, pesan majalah Bola Vaganza yang ada dia lewat kak Accang, karena di toko andalan “Naga Sari” tidak menjualnya.

the reason why I love Juve

Tapi mungkin, sepak bola menjadi ingatan yang hanya bertaut dengan masa SMAku. Poster-poster, guntingan koran dan majalah berhenti di situ. Entah sekarang sudah berada di mana koleksi itu, apalagi poster Beckham aku lupa sejak kapan diturunkan dari dinding. Mestinya waktu hijrah ke Makassar kubawa serta seperti catatan-catatan harianku. Setidaknya bisa jadi artefak…

Beckham dan Trezeguet adalah dua ikon yang ‘akrab’ denganku selama ini. Anggap saja PHB nya adalah media-media itu. Shared experience kami sifatnya searah. Aku kembali memaknai masa-masa di mana imaji-imaji mereka di dinding kamar sebelum lelap, atau saat salah satunya menjadi alasan bibir melengkung ke atas, menjadi tujuan, yang menuntun jemariku meraba-raba buku tebal “Belajar Bahasa Perancis di rak-rak perpus sekolah, dengan harapan suatu saat bisa ke Perancis dan bertemu :D Oh I miss those moments however…

Mendengar mereka akan pensiun, ada momen of silence tercipta. Kehilangan itu ada, saat melihat Beckham menitikkan air mata pada laga yang boleh dikatakan laga perpisahan. Atau saat membaca twit temanku tentang Trezeguet yang juga akan pensiun akhir musim ini. 

Goodbye Becks, Au Revoir Trez…

No comments: