14 January 2013

The Hobbit, Obat Kangen

Akhirnya saya bisa juga menikmati Middle Earth versi bioskop, 3D lagi hehe. Saya termasuk telat menikmati kisah trilogy kolosal Dunia Tengah ciptaan JRR Tolkien. Selama ini saya hanya mendengarnya dari kakak kelas saya, Kak Agus, yang selalu yakin dirinya adalah Legolas. Baru saat saya berada di Sengkang awal tahun 2010 untuk penelitian, salah stasiun TV spesialis film-film klasik berkali-kali memutar film The Lord of The Rings (TLOR). Agak kesulitan menonton karena teksnya bahasa Kanji, saat pulang ke Makassar saya buru-buru mencari filmnya.

Meski saya nge-fans berat dengan Elijah Wood dan karakter Eowyn, tapi cinta sejati saya adalah Gandalf The Grey, sang pembuat kembang api. Begitu pun saat karakter ini muncul kembali dalam The Hobbit, sebuah prekuel TLOR. Gandalf diperankan sangat apik oleh Ian McKellen yang lebih dikenal sebagai magneto dalam X Men. 


Sepuluh hari sebelum rilis, saya membeli novel The Hobbit yang juga ditulis oleh Tolkien. Niatnya mau dapat gambaran lebih dahulu supaya bisa jadi bahan pembanding saat menonton versi film. Buat yang sudah menonton TLOR dan jadi fans setia, pasti sudah tidak ada masalah dengan visualisasi. Saya tidak bisa dan tidak mau membayangkan jadinya Middle Earth di tangan sutradara lain. 

The Hobbit bercerita tentang Bilbo Baggins, 60 tahun sebelum kisah TLOR dimulai. Diceritakan, paman Frodo ini dijebak menjalani petualang mencari harta karun di The Lonely Mountain (Gunung Kesunyian). Skrip filmnya sangat berkembang, beberapa dialog dalam novel juga muncul dalam film. Beberapa adegan/dialog ditambahkan untuk mendukung kontinuitas dengan kisah TLOR, seperti saat Radagast sahabat Gandalf mengabarkan akan adanya kekuatan yang bisa menghidupkan kembali jiwa yang telah mati dan saat Gandalf menyampaikan kegelisahannya selama perjalanan menuju Rivendell (kampungnya para peri), di mana mereka dihadang serigala Ward dan Orcs yang kelak menjadi kaki tangan Sauron.  

Yang berbeda mungkin penggambaran para kurcaci. Jika di film ke-13 nya nampak gagah, plus propaganda merebut kembali tanah/kerajaan yang hilang, di novel kesan yang saya tangkap, para kurcaci ini lugu, polos, dan berada dalam perjalanan yang menyenangkan semata mengambil harta karun dari Sang Naga Smaug. 

All I want for New Year is Gandalf, mau minta kembang api
The Hobbit semacam obat bagi yang kangen pada Shire (kampungnya pada Hobbit), Rivendell, dan kalau saya pribadi pada keluguan Frodo dan kebijaksanaan Gandalf. Martin Freeman memerankan Bilbo dengan sangat baik, bikin kangen malah. Adegan favorit yang saya nanti-nanti adalah ketika Bilbo menemukan cincin bertuah, lengkap dengan backsound yang mau tidak mau mengembalikan ingatan tentang kisah yang menyertainya sejak dahulu hingga saat ia dihancurkan. 

Satu yang pasti juga, saya masih ingin mengunjungi Wellington yang menjadi setting Shire yang hijau dan makmur itu. Dalam perjalanan pulang dari Soppeng tadi, mobil yang saya tumpangi melalui jalur Bulu Dua. Hamparan lereng pegunungan, bukit batu, dan air terjun membuat saya berpikir, kalo lokasi ini sebenarnya juga bisa jadi setting cerita TLOR, hehehe… Iya, soalnya saya melihat Legolas, Gimli, dan Aragon berlari-lari di antara pepohonan di lereng-lereng dan pinggir jalan. Ah, mulai ngelantur nih :p

2 comments:

dwia said...

jalan2 ke new zeland yuk

Emma said...

ayuuuuuuukkkk