12 Agustus 2012
Hari ini, tepat 8 tahun lalu, saya resmi menjadi penduduk
Makassar. Dengan niat menuntut ilmu, merantau ke ibu kota yang mendengar
namanya saja langsung terbayang jauhnya perjalanan dan medan berliku yang mengaduk-aduk
isi perut. Perjalanan ini adalah cobaan yang mau tidak mau harus dijalani, demi
menginjakkan kaki di universitas idaman lulusan-lulusan SMA di Sulawesi Selatan.
Malam sebelum berangkat, aku melipat tumpukan pakaian yang
masih hangat habis dijemur saat kakakku Ahsan yang 3 tahun sebelumnya telah
meniti hidup di Makassar, muncul dari balik pintu.
“Lipat memang mi, mungkin ini terakhir kalinya lipat baju di sini,” ucapnya disambut tawa ringan ibu.
Aku terharu mendengarnya. Hari itu belum semenye-menye
sekarang jadi perasaan untuk pergi lebih ringan. Pakaian kusiapkan
banyak-banyak dibanding keberangkatan sebelumnya waktu ikut SPMB 2004.
Kabar kelulusan itu kudengar dari teman SMP ku, Awis, yang menghubungi lewat hape bapak. Aku
memang meminta tolong padanya untuk melihat pengumuman via internet. Kebetulan
Awis sedang di Makassar. Malam itu saya dan ibu duduk di depan tv dekat ruang
tamu tak jauh dari kamarnya. Aku duduk
di kursi, ibu melantai. Sementara hape kami biarkan menganggur, menunggu kabar
dari jarak 150 km. Kabar itu datang juga, aku sudah siap dengan hasil apapun. Mata
ibu tidak lepas dariku.
“Em, 812841 itu kode jurusan apa? Selamat ya kamu lulus di
situ!” sahut Awis
“Iya? Huaaaa… Itu Ilmu Komunikasi… Alhamdulillah lulus ya…
Mendengar kata ‘lulus’ itu, Ibu sontak berdiri dan menghambur memelukku. Belum pernah kulihat ibu sebahagia itu.. Hingga hari ini, aku menganggap itulah kebahagiaan terbesar yang bisa kuberikan. Matanya merah sementara aku masih terhubung dengan Awis. Mata merah yang sama kulihat lagi saat ia pamit pulang ke Bone setelah mengantarku ke Makassar. Sempat terpancing ikut menangis tapi khawatir ibu makin berat melangkah, jadi aku menggodanya dengan tersenyum seolah semuanya akan baik-baik saja.
"Eh, kamu bagaimana, Wis?"
Sayang sekali temanku tidak lulus tahun itu, namun dicobanya
lagi hingga 2005 ia bisa lanjut kuliah juga, setahun di bawahku hehehe.
FIS III tercinta :") (6 Januari 2005) |
Delapan tahun berlalu, menjadi saksi pelebaran jalan,
pohon-pohon rindang tepi jalan sudah ditebang. rawa-rawa yang ditimbun untuk ditanami
ruko-ruko baru yang berdampak jalanan tergenang jika musim hujan tiba , aksi-aksi
mahasiswa yang lebih sering menjadi bulan-bulanan media dan bahan
olok-olok mereka yang hidup mapan, bikin hati jadi perih, tempat-tempat nongkrong makin banyak yang
kerap menggodaku turun dari angkot.
Pintu Satu Univ Hasanuddin sebelum renovasi (2 Maret 2005) |