23 May 2008

Grazie....Gaia

(Demi GAIA POlloni part II)

Panas, gerah, mual, ngantuk, pening dan nyeri menyatu dalam tubuhku. Kondisi ini kualami tidak lama setelah menyantap sop saudara di salah satu kedai di terminal Daya ketika menemani ka harwan dan pasangan pengantin baru, Ishak-Rena, menunggu bus ke Palopo. Ka harwan sudah mewanti-wanti sedari dulu untuk tidak mencicipi segala makanan yang dapat memicu tekanan darahku. Namun, godaan ka Rena tak dapat kutahan. Jadilah efeknya harus kutanggung sendiri sampai pete-pete yang kutumpangi untuk pulang berhenti di depan pintu satu. Destination: Extra Net.

Sesampai di tujuan, aku mencari mungkin ada wajah familiar bercokol di sana. Ternyata hanya ada beberapa users saja dan penjaga warnet partner ka Rahe. Akses ke dunia maya pun kubuka, dan kutemui Gaia Polloni di kotak suratku. Grazie...GAIA, permintaanku yang kukirim sekitar tiga minggu yang lalu telah dikonfirmasi. Aku mengirimkannya setangkai green clove leaf gift sebagai tanda terima kasih.

Sementara itu, di balik dinding kaca ExtraNet, jalur sepanjang Perintis Kemerdekaan tampak macet. Truk, mobil, motor terjebak dalam panas, tertahan langkahnya oleh segerombolan mahasiswa yang mengatasnamakan diri mahasiwa Universitas Hasanuddin menyeberang jalan untuk selanjutnya melakukan long march menentang kenaikan BBM pada akhir Mei ini.

Dinding kaca itu tidak begitu tebal, namun dua ruang yang ia batasi sangat berbeda. Hawa air conditioning membuatku mampu merasakan gerah para demonstran. Aku kembali memusatkan perhatianku ke dunia global di hadapanku. Di halaman pribadiku, aku bertemu darma dkk saling 'berbalas' comment di shoutbox. Teman-teman, kakak-kakak, aku merindukan kalian semua. Syukurlah Tuhan menghimpun kita sehingga dapat bertatap mata, merasakan energi dan aura kalian. Salam keselamatan dan keterjagaan semoga dilimpahkan atas kita semua.

Aku meninggalkan warnet dengan uang pas di tangan, cukup untuk sekali naik angkot balik ke pondokan. Rasa lelah kembali merayapi tubuhku, momen perenungan singkat di pete-pete pun dimulai, meski singkat, namun kadang menjadi saat bagiku mengumpulkan semangat serta memaafkan keterbatasan dan kelemahan diriku selama ini. Aku ingin kotak berjalan ini membawaku lebih cepat....Aku ingin segera merebah, terlelap, untuk kemudian bangkit lagi dan memulai langkah kecilku.

Kutemui adikku Ilham sedang mencuci perabot makan yang telah menumpuk tak terurus selama berhari-hari . tangannya berbusa dan ada senyum sumringah di wajahnya. Aku sudah terbiasa dengan bahasa tubuh itu, pasti ia sedang butuh sesuatu, Benar saja, ia menanyakan status sms yang ia kirim pagi tadi. pesan singkat itu berisi keadaan dirinya yang lagi tak berduit. Kurogoh tasku untuk memberinya uang, namun ia menahan, '...nantipi, selesaipi kerjaanku.' dalam hati aku meminta, sabarlah adik...berkah tidak akan pernah meninggalkan kita.

Meski jarang berada di pondokan, aku bisa merasakan perubahan adikku. Ia menjadi lebih tenang, tidak gegabah, dan mau mendengar. Semoga hatinya telah tersentuh. Namun demikian, masih ada satu hal yang mengganjal dan selalu hadir di dalam tiap momen renunganku, bagaimana kuliahnya? berantakankah atau teruruskah? Pernah sekali aku bertanya padanya. Jawaban yang tidak kuinginkan justru ia berikan. Untunglah lami dibatasi dinding triplek pemisah kamarku dengan kamarnya. Jika tidak ,mungkin amarahku takkan terkendalikan. Untunglah....

Akhirnya aku hanya berkata,',,,sudah bukan masanya saya menyuruh-nyuruhmu.' Engkau harus bergerak dengan kehendakmu. Dan dia pun hanya diam. Pernyataan bahwa bahasa bisa membentuk realitas di kepala telah kupraktekkan hari itu. Selamat!

No comments: