28 August 2009

Sebelum Alba Pergi...

"Ya, saya persilakan teman-teman yang ingin memberikan testimoni..."
"Mmm...apa yang paling berkesan tentang Alba, mmm..."





Matahari sedang kalem-kalemnya memamerkan perona jingga di wajahnya, saat saya dan teman-teman
ngabuburit di salah satu titik di jalan Pengayoman. Butuh perjuangan dan kesabaran ekstra untuk bisa tiba di sana. Saya juga sih yang tidak mempertimbangkan jam macet di sepanjang jalan protokol di kota ini.

Dua hari yang lalu, sebuah pesan masuk ke inbox email saya, seorang teman berniat pamit pulang ke Ternate. Wah, refleks jempol saya memencet nomor Iqko buat merencanakan sebuah farewell party kecil-kecilan. Lokasi dan waktu deal, bikin templet lalu saya kirim massal ke 28 nomor teman angkatan 04, yang diduga masih beromisili di Makassar.

Kaki saya tidak henti bergoyang tatkala angkot IKIP yang saya tumpangi tidak kunjung melaju. Sementara tangan saya bergetar oleh sms Ka Ilo mengirim kabar teman-teman sudah pada ngumpul di TKP. "Em, teman-temanmu sudah datang, terambat kowww..!" Ah, kota Makassar ini makin padat dan makin gerah saja, saat supir beberapa kali harus menginjak rem saking macetnya.

"Dua tahun ke depan, kira-kira tampilan kita seperti apa ya?"
(Untuk direnungkan..)

Langit sore tersapu malam, penantian saya dan Iqko berakhir. Dari 28 orang calon undangan, tercatat hanya 10 orang yang bisa hadir. Fahri, Keda, Yusran, Iqko, Wuri, Icha, Patrick, dan Alba sendiri. Wiwie (yang selalu ingin kami boikot) dan Foe hadir belakangan, saat kami sedang dalam sesi foto terakhir menjelang bubaran. Namun karena Wiwie memelas dan yang utama karena dia adalah makhluk paling manis di angkatan, kami memutuskan untuk tinggal sejenak barang 60 menit.

"Yang paling saya ingat dari Alba,... saat dia kedapatan nda ikut pra-ospek, padahal dia yang jadi ketua kelas waktu itu, kedapatan lagi di mal, hahahaha...," ungkap Patrick tidak kuasa menahan tawa, menyegarkan ingatan kami lima tahun lalu saat pertama kali bertemu dengan Alba.

"Saya tidak bisa bilang banyak, yang paling kukenang, adalah ketika kami hampir membuat Alba terusir dari kosannya, muahahahah...,"testi Iqko sambil meninjukan tangan ke udara diikuti derai tawa yang lain. Kali ini kami kembali berada di awal tahun 2007, di mana saat itu teman-teman membuat "heboh" suatu hari di rumah kost Alba. Mengingat vokal teman-teman angkatan berdesibel tinggi alias bising dan gaduh, sang pemilik kost keesokan harinya menempel pengumuman daftar larangan, dan semuanya ternyata merujuk pada ulah teman-teman saat itu.

"Alba, saya masih simpan pemberianmu...," sebenarnya kalimat ini sangat standar, namun karena berasal dari Wiwie dan diungkapkan penuh perasaan, kegaduhan tak terhindarkan, bahkan Alba sampai berpikir ulang untuk tinggal di Makassar saja, haaaa...haaa....haaa...

Satu persatu melontarkan perpisahan buat Alba. Tak dapat kubaca tanda di wajahnya. Namun yang pasti ia hanya bisa menjadi pendengar setia saat kami ribut merencakan sahur bareng di rumah Wuri, satu minggu setelah keberangkatannya ke Ternate.

Tidak henti-henti blitz kamera menghantam wajah kami. Beberapa potong kenangan buat Alba, hanya itu yang bisa kami berikan untuknya. Asa kami hanyalah agar ada saat dalam kehidupanmu kelak untuk menginjakkan kaki sejenak pada tanah yang pernah kita pijaki bersama dan pada rumah kosmik yang pernah kita singgahi bersama.


Finger crossed...

11 August 2009

Mr. Big Milik Siapa?

Ki-ka: Paul Gilbert, Eric Martin, Pat Torpey, Billy Sheehan

Suatu hari saya melintas di depan sebuah warung internet di lokasi SPBU Pertamina. Dari balik kaca saya bisa melihat tiga poster raksasa terpasang di setiap sisi dindingnya. Ada The Beatles, Queen, dan Metallica. Lama berpikir barulah saya paham pemilihan imaji-imaji itu. Ketiga grup tersebut adalah ikon musik rock di era mereka masing-masing. Beatles ikon era 60-an, Queen penanda era 70-an, dan Metallica akan selalu dikenang oleh generasi 80-an.


Lalu siapa kira-kira wakil generasi 90? Sejenak saya kembali ke satu dekade lalu bersama Kak Harwan, lalu jatuhlah nama pemenang 'arisan' itu: Mr.Big.


Saya termasuk beruntung masih bisa menikmati remah-remah sejarah karya Mr.Big, sisa-sisa makanan utama yang telah dihabiskan oleh para penggemar setia band asal Amerika ini. Pertama kali mendengar lagu Wild World di TVRI, kala berlalu lalang di depan tivi, keluar masuk rumah untuk bermain dengan teman-teman. Atau saya hanya tertarik pada cover album Big, Bigger, Biggest, tanpa niat mendengarkan lagu hingga pita kaset tersangkut di bagian akhir.


Baru kemudian, mesin waktu membawa saya ke masa sekarang, saya melintas di depan distro yang memutar lagu Not One Night. Indah sekali suara Eric Martin, menyihir langkah saya agar berhenti hingga lagu itu berakhir. Selanjutnya, segera saja lagu itu masuk ke playlist hape saya selama berminggu-minggu, tiada bosan-bosan mendengarnya.


Saya pengagum vokal Chris Martin, Thom York, Matt Bellamy, dan Tom Chaplin. Namun jangan sekali-kali menyebut nama Eric sebagai pembanding nama-nama itu (meski memang mereka tidak bisa dibandingkan).


Dan lagi-lagi saya harus berterima kasih pada teknologi yang berhasil menggali artefak-artefak sejarah Mr.Big dan mengirinya ke dalam komputer saya, meski generasi 90 tetaplah pemilik paten Mr.Big dan nuansa fandom yang saya rasakan tidak sama dengan penggemar setiaPaul Gilbert dkk di era itu.

Tiga Ibu Hamil


Pagi ini saat baru membuka mata, entah mengapa aku langsung teringat pada Nita, teman semasa SMA. Langsung saja aku menghubunginya melalui hape. Sambutannya tetap hangat, masih mampu mengimbangi leluconku yang mungkin agak kasar baginya. April lalu saat ia menikah, aku tidak sempat hadir. Ada kejutan listrik rasanya di jantungku mendengar ia tengah hamil. Puji Tuhan...

Nita, Nida, dan Rani, tiga perempuan paling bahagia saat ini. Pada tubuh mereka ada sebuah kehidupan menunggu dilahirkan. Aku teringat dengan cerita Echy ketika ia wawancara dengan seorang tatoo artist. Katanya, gambar bumi di salah satu bagian tubuh sang seniman ternyata punya arti yang sangat indah. Tattoo itu ia rajah di tubuhnya saat ia sedang mengandung. "Saat hamil, rasanya sudah memiliki seluruh isi dunia...", katanya pada Echy. Wow, sedemikian luar biasanya sensasi yang bisa dijangkau oleh seorang perempuan.

Selamat dariku kepada mereka yang tengah merasakan indahnya memiliki dunia. Rahim kalian adalah tempat yang dipercayakan oleh-Nya untuk menjaga kelangsungan generasi bumi. Selamat menjadi rumah pertama bagi kehidupan selanjutnya.

Ibuku yang Sunyi

Tiap kali ia terbatuk, tiap itu pula jantungku robek-robek. Sudah dua hari ini ia menderita batuk flu. Terpaksa dua acara kawinan ia serahkan padaku. "Tidak ada hubungannya dengan kolesterol kan, Ma'?" Oh Tuhan, pertanyaan bodoh macam apa lagi yang kulontarkan kali ini? Semoga saja ia tidak membaca maksudku dalam-dalam, bahwa aku tidak perlu khawatir kalo hanya sekedar batuk. Hanya gumaman yang kudengar di tengah kesibukannya membersihkan sisik-sisik ikan di hadapannya.


Sejak si bungsu, Ilham, hijrah ke Makassar, otomatis ibu dan bapakku tinggal berdua di rumah. Tiba-tiba semuanya terasa sunyi, jauh dari bayangan ketika kami bersaudara masih menjalani wajib 9 tahun. Kala itu, hampir tidak ada pagi tanpa kerutan di wajah ibu, kerepotan mengurus keperluan anak-anaknya.


Tiga tahun ini berusaha ia bunuh dengan hobinya, merajut dan menyulam. Pernah sekali, saat aku pulang berkunjung, ia minta diajarkan memainkan salah satu game di handphone pemberian bapak. Ternyata itu kemudian menjadi hobi utamanya belakangan ini. Saat ia dengan bahagia menceritakan skornya-lah yang paling tinggi, saat itu pula hatiku merasa ngilu. Saat aku mendapati ia sedang berada di depan tivi sambil memegang handphone, saat itu juga aku meringis dalam hati, betapa kesepiannya Ibu selama ini.


Kesepian yang tidak pernah ia bagi padaku. Tidak pernah ia mau merepotkan, meski ia sedang sakit. Aku pernah 'marah' saat ia masuk rumah sakit tanpa sepengetahuanku. Ia hanya tersenyum kala mendengarku tersedu-sedu di telpon.


Laju darahku seakan berhenti saat ibu berkata tidak ingin jauh-jauh dariku, sebulan kemarin. Sebuah syarat keridhaan ibu dari calon mata pencarianku kelak. Aku dilanda kebingungan, benarkah ibu meniatkan perkataannya? Benarkah setiap perkataan seorang ibu adalah doa? Telah dua kali ia ucapkan, dan makin teriris saja hatiku. Entah sedih karena kesunyian ibu ataukah pada cita-cita yang terus-menerus memanggilku ke arahnya. Masih kudengar ia terbatuk-batuk dalam tidurnya kala aku sedang asyik menyusun mimpi-mimpiku..

10 August 2009

Maaf, Sheera...

Sheera yang terhormat...

Sebelumnya, maafku atas kesombonganku, tidak menegurmu padahal aku tahu engkau ada di sana. Aku memang tidak mengharapkan kehadiranmu, apalagi ibumu. Sengaja kubertahan di kursi pengunjung acara kawinan itu, agar kita berdua tidak bertemu muka. Kutunggu hingga engkau yang terlebih dahulu pergi dari ruangan itu.


Berat bila harus berbasa-basi denganmu. Tidak ingin aku melihat rona merendahkan di mata ibumu. Engkau masih seperti dulu yang kukenal, tidak bisa mengambil keputusan dengan kemerdekaanmu sendiri. Apa yang kurang dari dirimu, Sheera, jika harta bukanlah apa-apa bagimu?


Engkau tidak pernah merasakan rindu...Engkau miskin rasa...Engkau tidak pernah butuh pada siapapun...Engkau hidup dalam pagar menjulang buatan ibumu...Pagar di antara aku dan engkau...Aku benci dia...


Tidak perlu kau sadarkan betapa kurangnya aku, karena kau tahu tidak ada yang bisa kubanggakan dari diriku. Bersenang-senanglah dengan pikiranmu sendiri. Tertawailah pakaian yang kukenakan, make up murahan di wajahku, dan sepatu kekecilan di kakiku yang semakin mekar ini.

Sheera, bukan maksud menolakmu, tidak ingin kupaksakan senyum di hadapanmu, sahabatku. Aku hanya ingin senyum terindah untukmu, bahagiaku dengan keadaanmu, saat aku tahu malaikat kecil kini menghuni tubuhmu.


Tanpaku tidak ada ruginya bagimu, ruang kosong itu tidak akan pernah ada, hanya sisa ingatan yang selalu bisa kau tertawai dan kau sesali...
Maafkan aku, Sheera...

30 July 2009

-Knocked Up- Ketika Mars Bertemu Venus

Dua kali sudah saya menyaksikan Knocked Up, film komedi romantis, renyah, meski agak sedikit konyol. Namun kekonyolan itu tidak berhasil mengurangi nilai-nilai yang hadir dalam dialog-dialog sepanjang film. Cukup mengiyakan asumsi-asumsi saya terhadap pertanyaan, apa beda cara berpikir antara perempuan dan laki-laki?

Film berdurasi 2 jam 15 menit ini bercerita tentang kehidupan Alison, seorang asistan produser sebuah acara di E! channel, yang baru saja promosi jabatan. Bersama Debbie, Alison berpesta di sebuah klub malam sebagai bentuk perayaan. Delapan minggu setalah malam itu, Alison menemukan dirinya ternyata sedang hamil.

Setelah mengurut kembali kemungkinan kejadian selama delapan minggu terakhir, ia akhirnya menghubungi Ben Stone, pria temannya mabuk saat pesta saat itu. Ben di mata Alison hanyalah seorang pengangguran yang hidup dengan uang ganti rugi perusahaan mobil yang pernah menabrak kakinya semasa remaja. Hal ini membuatnya ragu mempertahankan sang jaban bayi.

Namun, dengan beberapa pertimbangan, Alison akhirnya meneruskan kehidupan bayi di perutnya, dengan bantuan Ben. Nah, di sinilah dialog-dialog tarik ulur bermula. Alison yang mandiri dan kaya, adalah tipikal perempuan pada umumnya, menaruh perhatian pada hal-hal kecil dan cenderung menarik kesimpulan secara deduktif. Sementara Ben yang saat itu sedang mengelola situs 'áneh' bersama temannya, adalah lelaki yang senang 'ngumpul' se geng, lugu, cuek, dan senang-senang saja dengan cara berpikirnya.

Berulang kali Alison kesal hingga menangis akibat sikap Ben yang dianggapnya tidak perhatian, egois, tidak punya perasaan, tidak paham keinginannya, dan pemalas. Sementara Ben melihat sosok Alison susah dipahami, sensitif, dan emosional. Dalam sebuah dialog, Ben justru mengharapkan Alison untuk selalu mengutarakan langsung keinginan-keinginannya. Bisa tertebak kan jawaban sang perempuan? ''Kamu mestinya harus sedikit lebih perhatian".

Adegan menarik lainnya ketika tiba-tiba terjadi gempa, pada saat Alison menginap di rumah Ben. Alison berlari ketakutan ke luar rumah menyelamatkan diri. Namun apa yang ia lihat di luar sana membuat hatinya teriris (dan lagi-lagi menangis). Ben sedang asik dengan ganjanya, ternyata. "Bukannya menyelamatkan saya, kamu malah menyelamatkan ganjamu, bagaimana kamu bisa jadi pelindung buat anak ini kelak?" "Kukira engkau sedang tidur, jadi aku tidak mau mengganggumu..." Aaaaargggghhhh.... Rasanya saya juga mau melempari wajahnya.

Tidak bisa tidak, saya langsung teringat dengan omelan teman-teman dengan pengalaman serupa, "ketidaknyambungan" antara laki-laki dan perempuan. Yang satu melihat masalah dengan rasio, yang lain menggunakan emosinya, ya kurang lebih seperti itu. Saya juga pernah tergelak dan terpingkal-pingkal dengan salah satu ucapan teman. Katanya, jika seorang lelaki bisa mengatakan bahwa otak perempuan itu lebih kecil, maka perempuan juga patut mempertanyakan kecilnya hati para lelaki. Hohohoho...

Mungkin permasalahannya adalah bagaimana memperlakukan sebuah 'sesuatu', 'a thing'. Maksud saya, cara pandang terhadap sebuah hal sering memacu pertengkaran dua jenis anak manusia. Bukan maksud men-generalkan, anggapan bahwa perempuan cenderung menaruh perhatian pada hal-hal kecil sementara lelaki tidak, ada benarnya. Bagi perempuan, tanggal jadian adalah sesuatu yang berarti dan perlu perlakuan khusus, bagi laki-laki, hari itu tidak ada bedanya dengan hari lainnya. Dengarlah pengalaman salah seorang teman, Ia mengganti warna kontak lens nya sejak enam bulan lalu, namun sang kekasih baru ngeh, anggaplah hari ini. Wah, ini kalo ini agak-agak keterlaluan.

Mungkin ada yang tidak habis pikir, banyak hubungan yang berakhir karena hal-hal seperti itu. Kembali ke film, setelah melalui berbagai pertengkaran, Ben yang memang tidak tahu keinginan Alison mulai khawatir hubungannya akan berakhir. Ben bertanya banyak hal pada ayahnya, membaca buku panduan kehamilan yang tidak pernah ia buka sejak kehamilan awal Alison. Hasilnya Alison bisa tersenyum dan melahirkan dengan selamat, dengan Ben tentu di sisinya.

Di dalam film ini Anda juga akan menemukan tokoh Debbie, seorang istri yang perfeksionis namun paranoid. Takut suaminya selingkuh, takut terlihat tidak cantik, dan takut tidak dianggap remaja lagi. Ada sebuah dialog yang menggelitik sekaligus paling berbekas di hati saya. Sang suami, Pete, ketahuan berbohong sedang berkumpul dengan teman-teman kerjanya. Padahal alasan awalnya ia sedang menonton konser sebuah band. Ternyata bukan kali pertama Pete berbohong. Meski Debbie senang suaminya tidak selingkuh, ia tidak terima alasan sang suami yang hanya ingin melepaskan kepenatan dalam rumah tangga, kepenatan terhadap isteri dan anak-anaknya.

"Kamu pikir kamu satu-satunya orang dengan masalah seperti itu, hah? Saya juga, saya juga penat dengan kondisi kita selama ini...," sembur Debbie.

Yeah, Debbie...Everybody cries...Seperti kata Ben, hidup terlalu berat untuk direncanakan dan terlalu hebat untuk dikendalikan dalam bentuk jadwal-jadwal dan langkah-langkah.

10 July 2009

PULANG

Saya sedang mendengarkan lagu A Sing for Absolution, salah satu lagu favorit saya, bersama beberapa lagu yang mengantri di belakangnya, termasuk good riddance-nya greeen day -sepotong bait malah saya posting di status facebook saya- ketika menulis postingan ini. Malam sudah sangat larut, makin dingin, badan saya mengkerut sampai harus mengenakan jaket berkerudung. Para pengunjung satu persatu meninggalkan warnet, baru setelah tiga kali diperingatkan. Tinggalah saya bersama Accank, Ilo, serta salah seorang pengguna yang masih bertahan.

Beberapa jam lalu saya bertemu dengan
Dwi, teman kuliah yang kini bekerja di kota kelahiranku, Watampone. Dwi menyempatkan diri mentraktir nasi goreng di pusat kota, dekat pantai kering, untuk pertama kalinya saya kunjungi setelah sekian 23 tahun menghuni kota ini. Belum ada perubahan yang bisa kulihat dari dirinya, kecuali seragam kantor yang masih ia kenakan hingga jam 9 malam. Kami sepakat untuk pulang bersama-sama, bagi saya kembali pada rutinitas kemarin-kemarin.

Seandainya saya bisa tinggal lebih lama, Asa, keponakanku makin lucu saja. Tebak siapa idolanya: Mbah Surip. Sebuah video amatir dirinya sedang bergoyang mengikuti ayahnya yang meniru lagu Mbah Surip, biarlah yang jadi pengobat rinduku selama di Makassar.