3 July 2009

Bebola Warna dan Dua Penumpang Buta

Echy...berhentilah menyiksa saya...Tidak, saya tidak sedang marah pada Echy. Ungkapan tadi hanya seruan batin saya ketika berkali-kali harus mencoba beberapa high heels yang kami lihat di salah satu pusat belanja di Makassar. "Pakai flat shoes itu tidak sopan kalo wawancara kerja", katanya. Saya tertegun sejenak karena baru mendengarkan salah satu kode etik melamar kerja itu.

Mungkin ini hanya persoalan pembiasaan saja. Prosesi wisuda kemarin saja yang hanya memakan waktu kurang dari lima jam, saya sudah merasa sangat tersiksa mengenakan hak tinggi, betis saya keram menahan keseimbangan tubuh ketika berjalan. Bagaimana nanti kalau sudah diterima bekerja? Proses pembiasaan, itu sudah cukup menenangkan hati saya.

Mestiya saya tidak menolak penawaran echy yang ingin menghadiahkan saya benda kaki itu. Malam sebelumnya saya mengganti bentuk penawaran dengan cuci cetak foto wisuda saya, 10R, lengkap dengan bingkai. Jadilah saya hanya menelan ludah ketika melihat jejeran sepatu di display. Baru kali ini saya benar-benar meneliti sepatu-sepatu itu dengan seksama. Sebelum-sebelumnya saya hanya melihat sekilas tanpa niat membeli.

Pemandangan di ritel pakaian yang kami kunjungi amat sangat elegan, dilengkapi dengan replika tanaman penghadir nuansa sejuk. Ada juga kumpulan bola-bola warna cerah disusun dalam sebuah kotak langsing transparan sedikit buram. Nuansa nikmat yang dihasilkannya pun begitu terasa lewat mataku. Bentuk kenikmatan inilah sebenarnya yang memanggil-manggil hasrat pengunjung mal untuk singgah dan memanjakan mata. Saya kemudian teringat dengan pengalaman pagi tadi sebelum berada di tempat ini.

Flashdisk lokasi file foto yang rencananya akan saya cetak ketinggalan di rumah teman tempat saya menginap, sia-sialah gratis nebeng motor Kak Riza pulang ke rumah. Akhirnya saya naik ojek kembali ke tempat teman tersebut lalu mencari-cari di mana kira-kira saya meletakkan flashdisk itu malamnya. Pagi-pagi, bukannya segar habis mandi, saya malah gerah karena emosi. Emosi karena keteledoran saya. Untunglah ada Ilham yang mau mengantar saya ke tempat menunggu angkot, jadinya duit saya yang sudah menipis tidak kian kering.

Saya sudah berada di atas angkot jurusan sentral. Di depan Wesabbe, perasaan saya tiba-tiba berguncang oleh dua penumpang yang akan naik ke angkot yang saya tumpangi. "Sentral, Pak? sorot matanya kosong, tapi tidak dengan seyumnya, Tatapan matanya tidak terfokus hingga saya mengetahui bahwa calon penumpang itu tidak bisa melihat alias tuna netra, apalagi setelah saya melihat tongkat lipat di genggamannya mirip milik dosen saya yg juga tuna netra. Ia ditemani seorang perempuan, kurus, dan berkulit agak kecokelatan dibanding lelaki tadi. Awalnya kukira ia sang penuntun, namun ternyata perempuan tersebut juga tidak bisa melihat, mereka berdua naik ke angkot, saya meraih tangan sang perempuan duduk di dekat saya.

Oh Tuhan, bagaimana bayangan dunia di dalam hidup mereka. Bagaimana mereka bisa sampai di tempat tadi hanya berdua diri. Bagaimana mereka menginderai padatnya kendaraan yang lalu lalang pagi itu?

Si perempuan bertanya tujuan saya. Saya pun bertanya balik setelah menjawab. Keduanya ingin pergi ke sebuah panti pijat di jalan Pampang, depan kantor Jamsostek. Tidak terbayang oleh saya bagaimana mereka menyeberang di tengah derasnya arus lalu lintas di daerah sana. Sebenarnya saya penasaran banyak hal pada mereka berdua, namun saya takut menyinggung perasaan. Saya hanya mendengarkan pertanyaan-pertanyaan penumpang lain yang berada satu angkot dengan kami, cukup mewakili, dan saya tidak mungkin menanyakan "bagaimana anda memaknai hidup anda?", bukan? terlalu abstrak dan mungkin bermuatan traumatis, itu yang aku khawatirkan.

Pertanyaanku untuk orang-orang dengan indera sempurna, Bagaimana cinta bisa tumbuh ke pada orang yang anda kasihi? Apakah 'dari mata turun ke hati' berlaku pada diri anda? Bisakah kita membayangkan bagaimana dua orang tunanetra bisa jatuh cinta dan akhirnya menikah? Anyway, ini adalah pengalaman pertama saya. Kedua penumpang tadi adalah pasangan suami isteri, sudah tiga bulan yang lalu mereka menikah. Kata sang isteri, mereka hanya saling mengenal lewat suara di telpon. Sang suami pun tersenyum mendengar kebahagiaan dalam suara sang istri.

Bagaimana mereka membahasakan cinta mereka. Tidak ada kode budaya visual. Namun mereka memiliki indera pendengaran. yang kuat dalam membedakan intonasi, nada bicara. Sedih dan bahagia harus lebih banyak diungkapkan. Dwi pernah berkata bahwa orang tuna netra lebih peka dalam mengenal suara dibanding orang yang bermata. Dari situ saya berasumsi, mereka mungkin mempunyai kode budaya sendiri yang tidak akan pernah dipahami oleh pemilik indera lengkap. Mungkin emosi mereka sangat singkat, tidak perlu dipusingkan oleh kode-kode visual rumit yang mesti dipikirkan matang-matang,

Ingin sekali saya bertanya banyak hal pada mereka. Mereka tidak akan kehilangan karena mereka tidak pernah berpikir memiliki apa-apa. saya yang selalu ingin melihat banyak hal, menjelajah, memuaskan hasrat mataku tidak bisa membayangkan kehilangan satu kenikmatan ini. Kadang saya berpikir, kaum empiris sangat arogan dan pilih-pilih, hanya mewakili mereka yang memiliki lima pintu indera. Apakah yang nyata bagi kedua pasutri tadi?

Hati saya hendak merasa iba, apakah saya harus bersyukur dengan keadaan saya. Namun rasa itu akan membuat saya tidak mengargai makhluk-Nya, rasa iba yang justru bisa membuat saya jadi congkak karena merasa lebih dibanding mereka. Saya sering mendengar curahan hati orang-orang dengan kemampuan khusus. Mereka justru merasa tersinggung jika diistimewakan. Mestinya saya mengutuki diri saja dan memuji kesyukuran dan kebahagiaan mereka.

Merekalah yang melihat dengan sentuhan, Jari-jari menjelma menjadi mata. Tiga jam setelah pengalaman singkat itu dan juga melihat warna-warni sepatu dan mal, saya kembali berada dalam angkot menuju rumah. Kelelahan dan kepanasan. Tanah tempat mobil berpijak seperti direbus oleh panas matahari. Baru saja habis hujan, tidak terduga kedatangannya, namun mampu membahagiakan hati saya yang sangat mencintai hujan.

1 July 2009

Penanda Rasa Itu Bernama "Glastonbury"

Semalam, saya iseng membuka dua file video klip konser sebuah band di Glastonbury tahun 2004 lalu. Tiba-tiba saya teringat berita yang saya baca di koran sore tadi mengenai kematian Michael Jackson. “Saya berada di Glasto saat Jacko meninggal”; itulah salah satu tagline di kaos-kaos yang dikenakan para penonton di Glastonbury untuk mengenang sang legenda. Kematian jacko dan tagline itu seakan menjadi alarm sunyi bagi saya: Glastonbury tahun ini sudah sedang berlangsung.

Tapi saya tidak akan membahas soal Jacko. Sekedar hanya ingin mengenang cerita lima tahun lalu. Ya ini sudah bulan juni 2009, lima tahun lalu apa yang dapat saya kenang dan maknai salah satunya adalah ujian SPMB yang tahu-tahunya sempat membuat saya sakit dan stress, tapi untunglah itu sudah dilalui, semuanya, karena juni tahun ini saya sudah menamatkan diri dari jenjang S1 di universitas.

Lima tahun yang lalu, di Glastonbury tentunya, ada seorang pemuda, 24 tahun, pirang cepak, tirus juga kurus, mengenakan celana selutut, duduk di balik deretan peranti pukul, sambil tersenyum mengentakkan kedua tangannya pada dua simbal di sisi kiri dan kanan tubuh, mengiringi nada-nada dua teman lainnya di panggung. berulang-ulang dan cepat. Digdaya, mungkin itulah yang ia rasakan pada malam itu. Lima detik ia tenggelam dalam gemerincing simbal, tanpa dentuman pedal dan hentakan drum. Senyumnya penuh arti. Dia bahagia, sang ayah tercinta untuk pertama kali sejak ia mengenal alat tak bernada itu, ada di sana menyaksikan konser termegah dirinya.

Gastonbury, salah satu festival musik terbesar di dataran Inggris, sekaligus paling dinanti oleh pemuja pertunjukkan musik panggung. Saya baru sadar akan keberadaan festival ini ketika menyaksikan video konser Coldplay membawakan lagu Clocks, suatu hari di MTV. Tampil di sana adalah sebuh prestise, kebanggaan telah menginjakkan kaki di tanah suci anak-anak band di seluruh dunia.

Perasaan itulah yang mungkin menghinggapi pria yang saya ceritakan di atas. Namun itu bukan pertama kalinya ia tampil di sana. Yang membuat ekspresi itu begitu mengganggu saya untuk segera menerjemahkannya ke dalam tulisan ini adalah, seperti saya katakan tadi, kehadiran sang ayah -jika saya bisa menggelarinya- Tuan Howard.

Ya, ya, … saya sedang bertutur tentang drummer kesayangan saya, Dominic Howard (akrab disapa Dom). Namun saya bukanlah seorang penggemar berat. Sebelum dua minggu lalu, jika saja ada seseorang bertanya pekerjaan sambilan Dom selain bermain drum dengan band, tentu saya akan tinggal melongo dan sah-sah saja jika gelar saya sebagai penggemar lelaki asal Devon, Teighnmouth, Inggris ini, dicabut secara tidak terhormat.

Untunglah dua minggu lalu, seorang adik di kampus berdiskusi soal Dom. Dari diskusi itu akhirnya ketahuan kalau ternyata Dom adalah seorang pengajar alat musik drum di salah satu kota di kepulauan Inggris --maaf saya tidak lincah bertanya tepatnya tempat ia mengajar. Entah berapa lama juga profesi itu dijalaninya, di mana ia bermukim, mengapa ia begitu terobsesi pada tokoh heroik Spiderman, bagaimana rasa menjadi second man di dalam band saya tidak akan memikirkannya.

Saya hanya peduli pada musik bertenaga yang ia lakonkan, semangat dan ketekunannya, kelincahannya, keramahannya pada teman-teman fansnya di MySpace, dan yang paling penting bagi saya, Dom adalah salah seorang di antara manusia-manusia di planet ini yang pernah mengalami kebahagian pada titik tertinggi sekaligus terpuruk hingga titik terendah pada waktu yang hampir bersamaan. Glastonbury adalah elemen penanda bagi pengalaman itu.

Dom bahagia bisa tampil di salah satu konser terbesar dalam hidupnya, namun itu adalah panggung pertama dan terakhir yang bisa disaksikan oleh sang ayah. Tuan Howard akhirnya menutup mata beberapa saat setelah sang anak melambaikan tangan yang berisi dua batang stik drum ke arah penonton pertanda pertunjukkan telah selesai. Saya tidak tahu berapa hasil aggregate kebahagiaan dan kesedihan Dom kala itu. Biarlah rasa menjadi miliknya dan orang-orang dengan pengalaman serupa (saya juga tidak bisa membandingkannya dengan perasaan Guus Hiddink pelatih Chelsea yang sontak bersedih setelah beberapa saat sebelumnya ia dengan bahagia menjabat tangan Guardiola, pelatih Barcelona di akhir pertandingan, di ajang Champions musim kemarin).

Tidak akan ada Coldplay dan Muse –nama band Dom- di Glastonbury tahun ini. Setidaknya itu menurut Emily Eavis, ketua panitia festival. Namun saya masih berharap apa yang pernah hangat dibicarakan di salah satu situs fans Muse, benar-benar terwujud, bahwa akan ada kejutan berupa penampilan tidak terduga dari band berawalan M. Apakah Dom akan bernostalgia, ataukah band awalan huruf M lainnya, Metallica, yang kudengar juga menggemari Dom dkk akan tampil di sana. We shall see…

22 June 2009

Hitam Putihnya Kebaya Wisudaku

Hitam-putih, oh apakah hanya ada warna itu dalam hidupku. Bulan ini aku akan menjalani ritual penting di dalam hidupku. Aku lalu teringat dengan kata Kak Syam, wisuda itu ibarat pernikahan, saat di mana perempuan ingin terlihat cantik di sepanjang hidupnya. Mungkin kalimat ini berlaku padaku. Aku sempat panik hingga tekanan darahku meningkat dari angka normal. Bingung akan mengenakan pakaian apa kelak pada hari itu.

Hitam-putih, ya, kali ini aku harus berkata bahwa itu akan menjadi warnaku di hari khusus 25 Juni tahun ini. Kebaya yang akan kukenakan berwarna putih dengan rok batik dasar hitam. Ibu yang membelinya untuk 'pesta' kelulusan SMA ku lima tahun lalu. Kini, melintasi jarak ratusan hari, tidak ada yang berubah dari ukuran panjang dan lebar tubuhku. Tidak perlu sentuhan mesin jahit sedikitpun, hanya tangan ibu yang tekun menyematkan payet-payet merah muda di pinggiran kainnya.

Kebaya itu kini tersimpan di lemariku. Belum ada waktu melicinkannya dengan setrika. Tiada niatku untuk menggantinya dengan yang lain. Sikap ini tidak lebih dari pemaknaanku yang kadang terlalu berlebihan terhadap hal-hal kecil. Karena pakaian ini masih layak pakai, uang yang mestinya kugunakan untuk membeli yang baru bisa kualihkan ke hal-hal "tidak penting" lainnya, misalnya sandal jepit kekecilan, sepatu kebesaran, pulsa 10ribuan yang habis dalam sehari, atau memenuhi hasrat ketagihan makan lumpia yang entah bagaimana awalnya, selama satu minggu terakhir ini.

Ringtone

"Entah mengapa ia tidak ingin lagi menerima telpon dariku. Sekarang sudah bulan Juni, lima bulan lalu ia masih memanggil-manggil namaku, menyanyikanku lagu yang sering ia dengarkan kala aku ia tinggalkan, meminta untuk tidak segera menekan tuts berwarna hijau di telpon genggamku. Masih segar di ingatanku, ia tidak akan berhenti bertutur hingga kelopak mataku mulai layu, dan di pagi hari saat terbangun, aku baru sadar semalam kami bercerita hingga pukul empat pagi."

"Apakah yang dia inginkan dariku? Benarkah sekedar ingin memberi karma? Tidak jenuhkah ia melukaiku? Berapa banyak air mata di kepala ini mesti kualirkan untuknya? Bodohnya aku selalu mengangkat tangan di hadapan kerapuhanku. Bisakah ku memohon padanya, berhentilah menjanjikanku apa pun? Aku salah telah mengira diriku setegak pohon bambu yang selalu ia ceritakan."

17 January 2009

I Wish I Could Stay Longer

Ada cerita menarik di balik pernikahan Deasy yang terkesan mendadak. Tanggal 13 januari kemarin aku berkunjung ke rumahnya di Bone. Jaraknya tidak begitu jauh dari rumahku, bisa ditempuh dengan berjalan kaki. aku tidak bisa tidak membayangkan kembali perasaanku saat melangkahkan kakiku pada tanah yang sering kulalui dahulu.

Aku mendapatinya tidak sedang berada di rumah ketika aku dan Annie -teman Deasy di SMP tiba. Dari ibunya, kami lalu tahu kalo dia sekarang memanjakan dirinya di Fidel, semacam heritage spa. Sebuah persiapan untuk mengawali rangkaian panjang prosesi pernikahan adat Bugis.

Seisi rumah sangat sibuk. Ibu dan dua orang tante Deasy yang tidak pernah kulupakan, Henny dan Linda juga berlalu lalang di depan kami yang duduk melantai. Sadar akan keberadaanku, mereka tidak ragu-ragu berjabat tangan dan memelukku. Keduanya kini telah menjadi ibu yang cantik dan agak cerewet.

Annie tidak bisa menyembunyikan dan menghentikan sinyal kegelisahan yang tidak hentin-hentinya ia pancarkan secara tidak sengaja sejak ia menjemputku di rumah. Jam dinding di rumah Deasy mungkin merasa risih dipandangi berkali-kali. Sesekali aku memandangnya sambil tersenyum atau malah menggoda untuk membatalkan keberangkatannya ke Makassar jam 5 sore harinya. Ia hanya tersenyum kecut sambil menekan tuts handphonenya entah sedang mengetik apa.


Tiga jam kemudian, sebuah Avanza merah memasuki pekarangan rumah yang berlapis semen. Tak sabar aku melihatnya, jadi tidak kualihkan sedikitpun pandanganku dari pintu mobil, menunggu bidadari itu turun dan melihat kami. Oh, itu dia dengan baju berwarna merah di badannya. Ia agak kurusan. Kami menjabat tangannya bergantian, ia tidak melepaskan tanganku sampai kami berada di ruang tamu kembali. Aroma rempah-rempah segar dari tubuhnya seperti bernyanyi untukku.

Sebelumnya ia memohon maaf telah membuat kami menunggu. Deasy juga tidak menyangka pernikahannya bisa semendadak ini. Sebenarnya akad nikah telah dilakukan 27 desember lalu. Aku sempat memprotes ia tidak mengabariku yang saat itu sedang berada di Bone menemani ibuku. Untuk kedua kalinya ia memohon maaf.

Sejak akad nikah hingga saat kami bertemu itu, Deasy tidak diperkenankan untuk bertemu Reza, sang pangeran sebelum acara "Mappanre Temme" dan "Mappaci" dilalui kedua belah pihak. Baru kali ini aku mendengar 'aturan' seperti itu. Nama Reza kemudian memancingku untuk tahu lebih banyak tentang. Namun aku tidak berani bertanya. Jadi aku membiarkan cerita itu mengalir dengan sendirinya.

Raut wajahku dan Annie tiba-tiba memperlihatkan keiba-an setelah tahu bahwa ibu Reza tidak bisa menyiksakan pernikahan mereka. Sang ibu mengidap kanker parah. Mengetahui bahwa kedua anak lelakinya belum menikah, ibunda Reza diam-diam ingin agar ia segera menikahi Deasy. Aku kagum pada Deasy, dari ceritanya aku tahu ia selalu berada di sisi ibu yang sedang berjuang melawan sakit. Sakit yang makin parah membuat keduanya tidak bisa menunda lagi. Akhirnya, Deasy resmi dilamar pada 14 Desember. Sang ibu lega dan bisa pergi dengan tenang keesokan harinya.

Sinyal kelelahan terpasung di wajah Deasy. Entah apakah ia lelah karena banyak bergerak atau karena sesuatu yang lebih abstrak dari itu. Senyumnya begitu tanggung namun masih bisa kudengar suara nyaring yang ia tahan di sela-sela percakapan kami. Ia lebih sering menatap ke arah Annie di banding ke mataku. Hal itu tidak mampu mengurangi kadar kebahagiaan yang sedang mekar-mekarnya. Bertemu dengannya saja sudah sangat cukup bagiku.

Perias pengantin yang dinanti-nanti sejak tadi, tiba dengan barang-barang perlengkapannya. Seperti orang yang mau pindahan saja. Deasy harus melakukan ritual "Mabbeddak". Beberapa bagian tubuhnya akan dilumuri bedak oleh perempuan-perempuan terdekat Deasy, memberikan berkat dan restu. Dalam doaku, ketika membasuh wajahnya, aku berharap sumber kegelisahan Deasy sekian tahun bisa hilang. Dia tersenyum sambil tertunduk. Ia tahu yang kumaksud adalah jerawat-jerawat bandel yang telah 'menghabiskan' uangnya selama ini. Tentu saja ia bercanda ketika mengatakan itu.

Tidak sejenak pun aku beranjak dari sisinya. Sejak tangan sang perias memoles wajahnya dengan make up murah, memakaikan baju adat berwarna keemasan, menamatkan kitab suci, sampai sang pengantin kembali ke kamar. Annie sudah berlalu, melewatkan keindahan yang kusaksikan.

Ibuku mengirim pesan teks menanyakan keberadaanku. Berat rasanya meninggalkan sahabatku ini. Aku memohon izin pamit dan maaf tidak bisa menghadiri resepsi pernikahannya. I wish I could stay longer. Aku berharap dalam benaknya Deasy juga membatinkan hal yang sama "I wish you could stay longer." Kutempelkan pipiku di wajahnya yang masih melekat bedak tebal sedikit berminyak. Konsentrasinya tertuju pada makhluk seberang yang tengah menelponnya. Namun ia ingat merespon lambaian tanganku, tanda perpisahan terakhirku untuknya di hari itu

11 January 2009

My 'Deasy' Flower Menikah Januari ini

Namanya indah dan cantik. Begitu mendengar nama ini, aku akan langsung teringat pada kekasih donald duck, Daisy Duck. Mendengar namanya hatiku akan segera diliputi kerinduan yang sangat dalam. Aku mendengar kabar ia akan menikah Januari ini ketika dalam perjalanan pulang ke makassar. Seorang teman mengabariku lewat sms. senang, terharu, dan sedih bercampur aduk dan tidak bisa kuterjemahkan dalam wujud sikap tenang. Dengan siapa ia akan menikah, masih jadi pertanyaan belum terjawab sampai hari ini.

Deasy seorang gadis keturunan Tiong-Hoa, darah itu ia dapatkan dari sang ibu. Sementara ayahnya seorang bugis pribumi yang berdiam di kota kelahiranku. Pertama kali aku bertemu Deasy yaitu pada hari kedua aku masuk sekolah dasar. Dengan malu-malu ia melangkah masuk kelas ditemani ibunya yang ramah. Aku menatapnya cemburu, ia begitu cantik dan memikat. Aku sudah lupa ia duduk di kursi mana. Namun yang kuingat setelah itu aku sering bermain dengannya.

Aku masih ingat cara ia menarik garis ketika belajar menulis menggunakan pensil. Bentuk huruf 'm' nya sangat khas dengan garis tegas, bertolak belakang dengan pribadinya yang pemalu dan gesturenya yang lembut.


Mengapa mesti aku cemburu pada Deasy? Apakah karena ia selalu dipilih oleh ibu guru mengikuti arak-arakan menyambut hari kemerdekaan, sementara aku hanya menjadi penonton. Apakah ia melihat dan menyadari kehadiranku kala ia melambaikan tangan dalam busana adat Bali, dengan bunga kemboja putih di sanggulnya. Atau setiap kali sekolah kami butuh orang untuk kontes menari antar SD, maka Deasy selalu berada dalam daftar siswa yang terpilih. aku hanya bisa menyaksikan dirinya tiap kali berlatih bersama Ibu Titin, ibu guru yang sangat menyayanginya.


Mengapa Deasy tidak pernah memperlihatkan kemarahan atau ketidaksukaannya padaku, meski sesekali aku berbuat demikian pada dirinya. Sungguh tidak adil. Penyesalan itu baru datang sejak aku mendengar bahwa keluarganya akan pindah ke bagian lain di kotaku. Mau tidak mau Deasy juga harus pergi meninggalkanku. Hanya tiga tahun kebersamaanku dengannya. Aku merasa kehilangan dan sangat kesepian, menyesal dengan perbuatan buruk yang pernah kulakukan padanya. Hingga pada momen-momen penuh rindu itu, aku menjadi itu sangat terobsesi pada pesawat telpon, telpon umum, bahkan telpon koin yang tersedia di warung salah seorang teman. Ingin sekali aku menghubunginya.


Pernah pula sekali aku memberanikan diri bersama seorang teman kelas lainnya mengunjungi rumah Deasy dengan bersepeda. Tindakan yang sangat berani untuk ukuran anak perempuan seusiaku saat itu. usaha ini tidak berhasil, kami tidak menemukan rumahnya, lalu pulang melewati jalur kendaraan dengan arah berlawanan.


Deasy tidak pernah tahu 'kegilaan-kegilaan' yang telah kulakukan demi bertemu dirinya dan betapa rindunya aku pada masa-masa yang telah kami lalui bersama. Berangkat ke sekolah bersama-sama (dia tidak marah meski aku sering meninggalkannya dengan menumpang kendaraan ayahku). Ingatkah dia waktu kami meminta izin pulang pada jam sekolah dengan alasan sakit, padahal saat itu kami hanya bosan mengikuti pelajaran. Ingatkah dia waktu kami pertama kali menonton film horor di rumahnya. Masihkah ada ruang di kepala Deasy bagi memori ketika aku menyanyikan lagu Dewa 19 yang berjudul sama dengan namanya di depan kelas? Atau ketika kami berdua belajar shalat dan mengaji di tengah keluarga besarnya yang berbeda keyakinan?


Aku masih mengingat semuanya. Namun itu tidak bisa mengembalikan keakraban kami ketika bertemu lagi di SMA. Dia seperti bukan Deasy yang dulu kukenal. Meski terpisah dalam waktu yang tidak sebentar, aku yakin guratan-guratan dirinya yang dulu seharusnya masih ada. Kami menjadi canggung satu sama lain. For what it's worth, selalu ada tempat untuk Deasy di hatiku. Dia adalah hal penting dalam semesta kecilku. Bagaimana mungkin aku dapat menghapus dirinya, orang pertama yang memberiku rasa kehilangan dan kerinduan?

Setelah Hari Ini Berlalu

A Story of An English Wizard


Semalam aku memimpikanmu lagi. Engkau bersama rekan- rekanmu akan memainkan lagu baru kalian, namun anehnya- di bangunan sekolah dasarku yang sudah tua. Ada yang kulihat berbeda kali ini, pria tambun dan ramah itu tidak ada di sana, yang ada posisinya digantikan oleh seorang perempuan berambut gelap dan bermaskara tebal bernama Elena. Pesonanya bak Shirley Manson, vokalis Garbage. Sejenak engkau rehat dan membiarkan suara klasikmu diambil alih oleh perempuan gotik itu, ternyata suara dan penghayatannya tidak kalah dalam ketika engkau yang bernyanyi Aku kemudian mengajaknya berbincang dalam bahasa inggris yang fasih dan coba tebak, saat itu, di alam sadar, aku dapat merasakan diriku berbisik dalam keadaan tidur, sambil tersenyum melihat diriku disitu begitu mengalirnya berbicara dengan orang asing. Tak sedetik pun engkau mau melihat ke arahku, aku memperhatikan gerak-gerikmu tapi untunglah tidak kutemui raut benci di wajahmu, hanya keengganan.

Ah, kukira awalnya kita akan bertemu di Vfest, Glastonbury, Reading atau festival besar lainnya di Inggris. Namun aku akhirnya sadar, engkau sendiri jauh lebih megah dan agung di banding ratusan kali penampilanmu. Tak perlulah aku berdesak-desakan, merangsek ke posisi paling depan agar dapat melihatmu memesona ribuan orang. Cukuplah aku menemukanmu sedang berjalan di downtown kota london atau cambridge atau como, atau di manapun itu di dunia, selama bukan di panggung. Cukuplah menyadari keberadaanmu di luar sana setelah selama ini engkau hanya hidup di dunia tak bermassa di kepalaku belaka.

Tahukah kau, engkau terlanjur hidup di sana dan aku tiada henti selalu menyiramimu dengan air harapan kelak suatu saat dapat bertemu denganmu. Engkau tumbuh di dunia sadar dan tidak sadarku. hadirmu bagai sihir yang memantra dan menggerakkanku mentah-mentah tanpa kusadari mengapa aku melakukannya. Tidak sadarkah engkau, para pengeruk uang itu menggunakan citramu menghasutku menghabiskan waktu dan uang atas nama kecintaan padamu. Relakah dan pedulikah engkau, melihatku 'menghancurkan' diri sementara di sana engkau bahkan tidak menyadari keberadaanku. Apa bedanya engkau dengan kekasih-kekasih platonisku di masa lalu. Setiap hari aku melihatmu, mencari kabar tentangmu, menyimpan imaji dirimu dan menulis lirik penyemangat darimu di halaman pertama buku catatanku. Aku telah memaksamu menjadi serpihan kepingan pembentuk diriku. Namun bagaimana aku bisa menolak saat engkau ada dan terekam oleh inderaku tanpa sengaja kala aku sedang berada di titik nadir perjalananku.

Namun janganlah khawatir, aku telah menyucikanmu dari segala 'kesalahan-kesalahan'mu pada diriku. Suaramu tidak akan lagi dengan sengaja kudengarkan, aku hanya akan berharap bertemu kondisi di mana aku dapat mendengar suaramu yang lembut namun kuat itu layaknya penari balet, tanpa kurencanakan. Nungkin ketika berada di dalam angkot, ketika tidak sengaja aku berjalan melewati distro yang memutar lagumu, ketika ada teman yang menyetel winamp dan ada engkau dalam daftar antrian, atau mahakaryamu menjadi backsound acara-acara gosip murahan di televisi. Biarlah tangan-tangan nasib merancang sendiri pertemuan-pertemuan kita kelak pada masa setelah hari ini berlalu.