13 September 2010

Uncertainty


Kinda curious about this movie. Mau nontoooonnn...

11 September 2010

Lighting A Candle

Banyak alasan untuk marah, tapi lebih banyak alasan untuk meredam marah. Kira-kira inilah pelajaran moral yang selanjutnya mengantar saya pada pelajaran moral lainnya di hari ini. Saya hendak marah pada teman-teman SMA yang siang/sore tadi nyekar ke nisan salah seorang sabahat kesayangan kami, tanpa memberi kabar sedikit pun. Saya baru tahu saat secara tidak sengaja bertemu salah seorang dari mereka malam ini, di warnet ini.

Saya sedih dan marah. Jauh-jauh hari saya memang sudah meniatkan untuk ziarah kubur sahabat kami itu. Tapi yang terjadi saya merasa ditinggalkan, terlupakan. Mungkin saya marah karena alasan terakhir: merasa terlupakan oleh teman yang selama ini saling menguatkan. Hal ini makin dikukuhkan oleh kenyataan bahwa sebenarnya saya bisa pergi sendiri bersama bapak yang kebetulan berkampung tidak jauh dari lokasi makam Melisa, sahabat kami.

SMS komplain bernada 'murka' dan kecewa sudah selesai saya ketik dan siap kirim. Saya menarik napas panjang, jarang sekali saya menunjukkan amarah pada teman-teman sendiri. Akhirnya saya meletakkan hape, menatap layar komputer sembari mengumpulkan alasan-alasan kenapa saya tidak boleh marah, kenapa saya harus men-delete pesan teks itu.

Saya malu pada diri sendiri, saya marah lebih karena perasaan 'terlupakan' atau 'terabaikan'itu, bukan karena saya tidak bisa nyekar. Betapa tidak enaknya perasaan itu. Tapi pada akhirnya saya harus memaafkan dan memaklumkan kondisi ini, berusaha menyalakan lilin agar gelapnya amarah ini bisa hilang. Berusaha menenangkan pusaran ego yang meraja. Saya mestinya malu, ingin marah karena demi membela ego sendiri. I need to be stronger at this....

10 September 2010

Lingkaran (Lebaran yang Sepi)



Aku bisa mendengar halus tarikan napasnya. Ia tergeletak kelelahan mempersiapkan penganan Idul Fitri hari ini. Sebenarnya aku juga sudah kelelahan. Sejak kemarin duet maut dengan ibu sudah menguras tenaga. Ya begitulah yang sering terjadi di keluarga kami. Hidangan lebaran yang biasanya siap di pagi hari sebelum shalat Ied, kami baru bisa selesaikan kurang lebih satu setengah jam setelah balik dari mesjid. Semua rasanya serba buru-buru. Tapi begitu makanan sudah siap, rasanya tidak adil saja melihat banyaknya waktu yang tersita demi waktu makan yang cuma sekitar sejam, weleh weleh... Tapi itulah ibu, beliau tidak pernah mengeluh, aku yang suka mengeluh.

Sebelum aku melangkah ke warnet, teman sekamar Ilham di Makassar, Hendra, datang berkunjung. Dari cerita-cerita mereka aku bisa menangkap sebuah pesan yang sebenarnya mungkin tengah menimpa diriku, atau mungkin orang lain di luar sana. "Nda tahu mau kunjungi siapa", kata Hendra. Lah, aku baru saja memikirkannya tadi pagi. Teori Lingkaran itu mungkin memang ada benarnya. Aku merasa lingkaran sosialnya perlahan mengkerut. Teman yang dulu slalu menyita waktuku di rumah, kini seperti menghilang, sibuk dengan keluarga masing-masing, urusan masing-masing, dsb dsb.

Aku juga sibuk dengan kesendirianku. Entah mengapa tiba-tiba aku jadi malas bertemu dengan orang-orang. Setelah ibadah Ied tadi, aku buru-buru meninggalkan mesjid, di mana jemaah tengok kiri kanan mencari wajah-wajah familiar. Aku malah mempercepat langkah, menghindari bertemu mata dengan teman-teman TPA semasa kecil, menyembunyikan wajah dengan sengaja menutup mulut pura-pura menghalangi debu asap kendaraan yang tidak begitu ramai saat itu.

Beberapa teman SMA yang kebetulan berkumpul di momen tahunan belum kukabari juga, kecuali mengirimkan pesan template berisi ucapan selamat hari raya. Duniaku sedang malas tapi kadang aku suka...

Anyway, I didn't mean to screw this Holy Day. Aku hanya tidak menyangka perasaan seperti ini bisa saja datang tiba-tiba. Let me 're-tweet' a tweet of Paulo Coelho, dan semoga doa-doa yang terpanjat hari ini menjadi doaku juga, Amin. Allah Bless You, Eid Mubarak, everybody...

Eid Mubarak! May Allah protect our dreams; to dream is a way of praying (Paulo Coelho,

biar Rancho yang wakili yaaa..

4 September 2010

Jelang Lebaran Kali Ini

Hari ini hari sabtu, Rabu depan sudah lebaran. Kuliah memang belum libur, tapi hasrat mudik tidak dapat dibendung. Jadilah, sebagian kalangan mahasiswa memilih pulang kampung, menambah jatah libur yang tidak lebih seminggu. Hasrat ingin pulang itu juga menghampiriku. Aku jadi tidak konsentrasi mengerjakan tugas-tugas yang selama ini telah menahanku di Makassar.

Pada Ramadhan tahun-tahun kemarin, setiap 10 hari jelang Idul Fitri, ibu atau bapak pasti akan menelpon meminta aku pulang membantu pekerjaan rumah. Ya macam-macam, dari pel lantai, membersihkan langit-langit dari jaring laba-laba yang menjamur, cuci gorden, dan bikin kue. Kali ini aku belum menerima titah pulang. Terakhir kali ibu menelpon, ia malah bertanya “Lebaran di Bone ji to?” Aduh, sebegitu sibuknya-kah aku hingga tidak bisa melewatkan Idul Fitri di kampung sendiri?

Aku belum sempat menanyakan kabar kue-kue lebaran ibu. Mungkin sudah selesai. Beliau sangat telaten, rajin, dan punya perencanaan. Meski sudah berumur, ia masih bisa mengerjakan tugas rumah tangga sendirian. Kadang kesal juga kenapa saudaraku laki-laki semua, tidak bisa diharapkan menangani pekerjaan dapur (sorry, gentlemen).

Karena Tuhan selalu Memberi Peluang yang Sama

Tiap pagi jelang siang, saat saya masih mengumpulkan nyawa yang beterbangan selepas tidur, ia akan mengeluarkan suara penanda bahwa ia telah datang. Suaranya nyaring, tidak berteriak tapi powerful. Ia adalah penjual sayur keliling langganan ibu-ibu dan mahasiswa di sepanjang jalan sahabat dan jalan sejati di mana saya tinggal hamper lima tahun lamanya.

Saya baru sekali membeli dagangannya, saya tidak begitu familiar dengan wajahnya. Yang sepat terekam, kedua lengan dan kakinya legam tersiram matahari. Tiap kali dia berlalu di depan kosan saya, dia pasti turun dari sepeda kumbangnya, sekedar jaga-jaga siapa tahu calon pembeli terlambat memanggil. Di kepalanya setia bertengger caping pelindung ganasnya panas matahari Makassar yang makin hari makin membara. Dia tidakmengenakan celana panjang, dia memakai celana selutut lalu dibungkus dengan sarung.

Ada juga penjual ikan, jadwal berjualannya hampir menjelang tengah hari. Saya pernah beli ikan padanya waktu saya masih semangat-semangatnya masak di kosan. Mungkin karena saya yang tidak jeli memilih ikan, atau karena ikannya terlalu lama terkena sinar matahari sepanjang perjalan sang penjual, ikan yang saya masak jadinya tidak sesuai harapan, mau dibuang juga takabbur. Sejak itu saya keukeuh tidak mau lagi membeli ikan-ikan jualannya lagi. Saya merasa egois sendiri, Daeng itu sudah jauh-jauh datang dari Pampang lalu ke pelelangan ikan hingga sampai ke Tamalanrea, sementara saya untuk mendapatkan makanan tinggal keluar rumah, pilih, lalu bayar. Rasanya sangat tidak adil.

Sebut saja mereka Pak Sayur dan Daeng Penjual Ikan. Mereka tidak pernah belajar motivasi hidup, tapi jam 4 pagi sudah bergegas mencari dagangan untuk kemudian dijual kembali. Mereka tidak perlu membaca untuk tahu kenapa orang mesti mensyukuri hidup, kenapa manusia tidak boleh menyerah. Saya kasihan tiap kali salah satu dari mereka berlalu, saya bisa melihat sayur dedaunan mulai layu atau ikan-ikan mulai tidak segar.

Satu hal yang sering membuat saya tertegun, tiap kali saya bertanya mengenai persaingan dengan sesama penjual. Mereka akan selalu menjawab: Semua orang punya rezekinya masing-masing. Tiada keluhan, tiada saling sikut. Sungguh sebuah keyakinan yang telah membuat mereka bertahan dengan mata pencarian itu, meski begitu melelahkan . Peluang itu selalu ada, tinggal bagaimana mencarinya. Sebuah keyakinan yang telah membuat kulit-kulit mereka gosong, kaki-kaki mereka seperti batu-batu retak, dan sepeda kumbang andalan yang peleknya mulai bengkok.

Saya lalu teringat ucapan salah seorang senior seperti ini: “kau lihat pedagang koran di perempatan? Biar sudah sore dia tetap tawarkan korannya, biar peluangnya orang mau beli itu sedikit sekali. Tapi mereka percaya pasti akan ada yang beli.” Sementara saya, kesempatan itu jelas di pelupuk mata, saya malah membiarkannya terbang. Siapakah sebenarnya yang lebih kuat?

Tuhan tidak bisa dijangkau dengan pikiran

“Tuhan hanya memberi apa yang kita usahakan,” kata Yuyu, adik juniorku di kampus. Kata-kata ini merasuk dengan cepat seperti kecepatan cahaya. Seperti baru disambar petir. Saya jadi teringat dengan sebuah kalimat “Jika engkau berjalan selangkah ke arah Tuhan, maka Dia akan berjalan 1000 langkah ke arahmu.”
Bagaimana mau mendekat, saya belum membuat langkah apapun.

Denting


Aku sengaja menutup wajah dengan kedua tangan, mungkinkah ia mengenali hanya dengan melihat raut tubuh yang dibungkus kain pemberiannya. Ia menarik kedua tangan itu lalu merangkulku hati-hati. Ada yang salah, baju pengantin dari kain satin itu sangat mengganggu, licin. Dan masih dalam pelukan itu telingaku mendengar anting panjang menjuntai yang ia kenakan berdentang sekian kali. Merdu ditambah bebunyian hiasan-hiasan lain, kalung, gelang, dan hiasan rambut. Mudah sekali mengenali suara perhiasan pengantin yang saling beradu.

Sepuluh tahun lalu aku bertemu dengannya. Dipertemukan di sebuah ajang pencarian siswa SMP berprestasi, kami mewakili sekolah masing-masing. Ia duduk di bangku paling depan sementara aku di belakang. Ia selalu mengatakan saat itu aku sangat cantik dengan rambut wavy-ku, sambil memainkan jari mengikuti pola spiral. Ah dia bohong, dia yang paling cantik di kelas itu.

Saat itu ia pasti tidak menyangka akan menikah sepuluh tahun ke depan. Dan saya ada di hari bahagia itu, apalagi bertindak sebagai anggota persekutuan pembawa cincin, cincin seukuran jari tengahku hadiah pernikahan untuknya.

*dan sebulan lalu aku menulis ini tapi baru bisa diposting :) Maaf telat Dwi

Loew Them


this is the most fashionable coach!!! Joachim Loew, minta syalnya dong, Herr.
and down below is the coolest captain everrr!!!! Mein Freund, Philipp Lahm
Bis Bald, Leute...