4 February 2010

Mysteria

Emosiku sedang tidak labil tiga hari ini. Pasang surutnya hati siapa yang bisa menerka. Detik ini kita berbahagia, detik setelahnya sedih tidak kepalang. Hari ini optimis dengan genggaman erat matahari, malamnya kesunyian tak disangka mengkhianati. Gelisah mulai menggerayangi hari-hariku di kota ini. Aku hanya ingin menyelesaikan semua urusan agar dapat kembali ke Makassar secepat mungkin. Aku rindu pada kamarku, pada kasurku. Aku rindu bercerita pada teman-teman di Makassar.

04 Februari 10

2 February 2010

Bad Hair Day

Rambut dan perempuan... siapa yang mau memisahkannya? Bagi sebagian besar kalangan perempuan, rambut bisa jadi lebih penting daripada makan, lebih penting dari hujan, apa pun yang merusak rambut akan mendapat kecaman.

Seperti yang terjadi pada teman saya beberapa hari yang lalu. Rambutnya baru saja ia catok, kan tidak boleh kena air tuh kalau habis catok. Namun karena di Makassar sedang hujan berat, rambutnya terpaksa kena cipratan air dalam takaran yang tidak sedikit. Ia jadi kesal luar biasa hingga salah sasaran menumpahkan amarah, ke pacarnya, hehehe...

Ada juga pengalaman waktu SMA, salah seorang teman saya tidak hadir di sekolah gara-gara tampilan rambutnya sedang tidak bagus. Memang aneh sih kalau sampai tidak ke sekolah. Tapi seperti itulah kira-kira peran rambut dalam mempengaruhi kondisi parameter emosi perempuan. Apapun akan dilakukan demi menjaga kondisi rambut agar tetap sehat dan tertata rapi. Jika rambut sedang bagus-bagusnya, teman perempuan anda tidak akan segan-segan mentraktir saking senangnya.

Maka itu kemudian ada istilah Bad Hair Day, hari di mana rambut terasa jelek sekali. Mood jadi tidak bagus, bawaannya khawatir dengan penampilan, stress. Saya juga pernah merasakannya sebelum mengenakan kain penutup kepala. Rambutlah yang paling banyak menyita waktu saat bersolek. Saya juga merasakan mood tidak enak jika rambut, emosi tidak beraturan, mmm...mungkin mirip kondisinya saat sedang (maaf) datang bulan.

Entahlah, apakah ini hanya ada dalam semesta perempuan. Ini merupakan pengalaman subjektif masing-masing orang dalam memandang peran rambut dalam aktivitas keseharian. Tidak ingin ini menjadi stereotype, karena saya juga pernah melihat teman laki-laki adik saya yang menyisihkan kas khusus untuk penataan rambut.

Sengkang, 02 Februari 10

Memahami, Bukan Menyalahkan

Mungkin saya terlalu sering menyalahkan, hingga pada suatu titik saya tidak bisa lagi memahami. Mengapa mesti berteduh pada bijaknya hati kala ego sedang menerik tubuh?

30 January 2010

Jaring Laba-laba

Di sudut jalan sulawesi, kota berangin Sengkang, di sebuah warnet, di depan layar datar 17 inci, aku terpaku tak beranjak selama kurang lebih dua jam. Apa yang sebenarnya kucari di balik 'pintu ke mana saja' ini? Belajar tidak, kerja laporan tidak, hanya membolak-balik halaman maya, tidak jelas ke mana arahnya. Tersiksa aku lelah harus meluangkan waktuku untuk mereka yang bahkan tidak mengenalku.

Selasa lalu, Fera teramat bahagia melihat Corby Black-nya sudah bisa fesbukan. Segera setelah itu, ia beli nomor seluler baru demi mendukung kelancarannya berinteraksi dengan teman-teman yang mulai jarang ia temui. Aku bisa memahami hal ini, Fera adalah seorang karyawan eight to five, bekerja di kantor dari jam delapan hingga jam lima, bisa lebih kalau lembur.Saya pernah merasakan kondisi kerja yang ia mesti lalui tiap hari(tiba di Sengkang, saya tidak langsung ke kosan, singgah dulu di kantor, menunggu ia selesai bekerja). Duduk, melayani konsumen, mengangkat telpon, mencatat pemasukan, mencetak kwitansi, menatap perputaran detik di dinding kantor.

Bisa mengetahui kondisi jagad fesbuk di telapak tangannya, dengan sedikit sentuhan ke atas atau ke bawah pada layar hapenya, adalah kebahagiaan buat Fera. Ia bisa melupakanku ketika ia sudah terhubung ke dunia lain. Tapi sekali lagi, ini bukanlah sesuatu yang harus dimasalahkan atau ditertawakan. Aku menyayangi Fera, temanku melewati sedih dan senang.

Sebenarnya aku memaksakan diri datang ke warnet. Sekalian berjemur setelah dua hari terbenam di kasur. Lihatlah aku, aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Di dunia maya, rutinitas fesbuk sudah perlahan kukurangi, status sudah jarang diperbarui, cek email juga tidak begitu mendesak karena paling isinya notifikasi dari fesbuk. Aku hanya tidak ingin menjadikan fesbuk sebagai sebuah kebutuhan baru yang menyiksa jika tidak terpenuhi, seperti rasa lapar. Aku tidak ingin rasa butuh itu beranak menjadi kebutuhan-kebutuhan lain lagi, kegelisahan-kegelisahan baru yang sebaiknya kucegah saja hari ini.

Ingin seperti Taylor Swift

Kalau bukan karena menetap di kamar kos Fera, tentu saya tidak akan begitu tertarik dengan Taylor Swift. Teori bahwa audience bisa tertarik jika dicekoki hal yang sama setiap hari, tampaknya bekerja pada diri saya. Semakin sering dilihat, semakin saya dibuat peduli (hahaha, ini teori siapa ya?)

Sebelumnya apa yang saya ketahui soal Taylor kecuali pernah 'dilecehkan' oleh Kanye West di pergelaran MTV VMA tahun lalu? Mmm...tidak begitu banyak. Melihat Taylor yang masih muda sudah merilis dua album dan di-follow oleh 2,5 juta user twitter, mengingatkan saya pada sosok populer Avril Lavigne saat pertama-pertama muncul di MTV, ketika itu saya masih SMA, saat kehebohan anti-Britney (begitulah media mencap Avril) melanda dan mengiang-ngiang hingga di tembok sekolah saya juga. Omong-omong, saya adalah penggemar lagu-lagu Av hingga hari ini (harap dicatat, lagunya, bukan tampilannya).

Kembali ke Taylor, hampir tiap hari di hadapan TV, tepatnya di Channel V saya disuguhkan tampilan si ikal pirang Taylor menyandang gitar akustik mengiringi lagu ciptaannya sendiri, semisal "You Belong With Me", "Fifteen", atau "Tim McGraw". Secara vokal, tidak ada yang istimewa, tipikal penyanyi dataran benua Amerika kebanyakan. Lalu apa yang membuat saya terpaku, menunda pekerjaan, tiap kali mendengar lagu Taylor?

Mungkin karena liriknya yang sangat jujur. Mendengar lagu Taylor seperti membaca diari seseorang. Ya, diari yang dilagukan. Diari seorang remaja belasan tahun menuju dewasa. Saya suka dengan kepolosan dan...kejujuran itu tadi. Taylor seperti seorang teman yang menyenangkan untuk diajak berbagi cerita. Ia bisa merefleksikan pengalaman dan renungan pribadinya pribadinya (dan teman-temannya) ke dalam lagu sederhana yang indah dan tidak membosankan.

Mendengarnya, anda bisa saja langsung mengidentikkan liriknya dengan diri anda. Inilah kekuatan Taylor, ia punya cara untuk mendekatkan diri dengan fansnya, atau menghipnotis penonton-bukan-fans seperti saya menjadi suka padanya. Oh, Taylor, belajar ilmu sihir di mana?

Saya ingin mengambil sedikit ilmu 'jujur' dari dirinya, ilmu menulis, ilmu membuat diari, seandainya bisa. Karena sekarang saya sedang dilanda malas, malas untuk jujur pada diri sendiri, malas mencatatkan sejarah hidup saya sendiri ke dalam lembaran bergaris. Karena dia berkata pada lagunya, today was a fairytale...

21 January 2010

Nonton (Lagi) The Lord of The Ring

Saya merasakan rutinitas yang berbeda selama berada di Sengkang selama dua minggu kemarin. Fera, teman masa SMA menjadi tempat berlabuh sebelum live in di rumah warga. Kamar kos itu kurang lebih seukuran kamar kos saya di Makassar. Di tempat itu saya bisa merasa tenang, betah berlama-lama. Tidak seperti suasana kamar sendiri yang bikin tidak betah dan selalu ingin keluar.

Di Makassar, boleh saja saya selalu menjauhi TV. Tapi, di kota berangin Sengkang ,jika sedang tidak ada kegiatan TV 21 inch milik Fera menyala hampir 24 jam. Akulah yang memegang 'kuasa' remote control. Saya tidak akan menonton berita, infotainment, siaran religi, dan reality show. Saya hanya akan menonton film, saluran musik, dan comedy show (kentara kan minded saya seperti apa? hehehehe).

Namun, tidak selalu yang kita idealkan bisa terwujud. saluran film yang ada (Lotus Macau), subtitlenya huruf kanji a.k.a. bahasa mandarin, saluran musiknya juga punya Cina yakni Channel V Chinese. Ya sudah, tidak mengapa, asalkan bisa memahami sedikit-sedikit gerak bibir penutur di film yang ditayangkan, daripada nonton reality show, hehehe.

Selama dua minggu itu, Lotus Macau telah mengulang trilogi The Lord Of the Ring (TLOTR) sebanyak tiga kali. satu hari, satu seri. Saya geregetan dan gemas sendiri. Belum pernah saya menonton trilogi ini secara utuh. Kini, pada saat ingin menyaksikan utuh, eh, terhambat di subtitle. Tapi sekali lagi, daripada mubazir tidak ada yang nonton, mending menebak-nebak makna tiap dialognya saja.

Mungkin saya termasuk ketinggalan dalam merasakan dan mengalami 'kedigdayaan' film ini. Tapi tidak perlu digdaya, kan, sebuah film layak ditonton? Dari dulu saya menyukai akting Elijah Wood, sejak melihat perannya sebagai Oliver Twist atau Flipper di ANTV.

Adegan-adegan heroik hampir ada di tiap film, di mana kebaikan mengalahkan kejahatan, kesabaran akan berbuah manis, dsb. Namun ada yang menggelitik hati saya melihat Frodo yang memilih bertualang bersama kaum Elf di akhir cerita, daripada hidup tenteram damai bersama saudara-saudaranya di kampung Shire. Juga tidak kalah mengharukannya bagi saya, sosok Arwen yang memilih kehidupan mortal sebagai jalan hidupnya demi hidup bersama Aragorn.

Jika Lord Elrond meminta Arwen melakukan perjalanan ke Undying Land, pulau keabadian, di mana tidak ada kematian di sana, maka Gandalf the White tidak ragu dengan kematian. Kematian hanyalah sebuah fase perjalanan hidup yang harus dihadapi oleh setiap manusia, kata Gandalf kepada Pippin Took, Hobbit yang takut luar biasa kala pasukan Sauron mulai mendobrak benteng terakhir kota Minas Tirith.

Kebaikan memang pada akhirnya akan menang, seperti kata Samwise Gamgee, if we keep holding on to something. Berpegang pada apa? That there is good in this life, Mr. Frodo. Sebuah kalimat yang bagi saya adalah klise, sesuatu yang telah kita pahami bersama. Namun adakah jawaban lain untuk pertanyaan Frodo itu? Ataukah memang hanya ada satu jawaban untuk setiap hal yang kita perjuangkan. Tapi satu saja yang pasti, saya belum nonton film ini secara utuh. Hufh!!!

17 January 2010

B D O

Judul di atas adalah singkatan dari Big Day Out, salah satu festival musik tahunan terbesar di benua Australia. Pertama kali mendengarnya sejak kelas tiga SMP lewat majalah HAI bercover Chris Martin nya Coldplay yang kala itu menjadi salah satu pengisi acara. BDO lebih dahulu saya kenal jauh sebelum Glastonbury.

Saya senang dengan konser. Tapi selama hidupku belum pernah saya melihat konser besar, meski pada akhir 2005 di Makassar digelar soundrenalin. Belum terlalu menarik minatku waktu itu. Konser, sebuah konsumsi musik yang belum bisa kunikmati hingga hari ini.

Tahun ini pernah terbetik niat menyisihkan uang agar kelak sudah cukup saya bisa bertandang ke ibukota menyaksikan penampil-penampil dari benua seberang Asia. Niat ini sudah saya susutkan sedemikian rupa dari niat awal yang jauh lebih besar, berada di Glastonbury, V Festival, Reading Festival, Rock AM Ring, Rock IM Park, dan Big Day Out.

Pertangahan Januari ini, Big Day Out diadakan kembali. Oktober tahun lalu saya hanya bisa membayangkan berada di sana. Hari ini pun saya masih tetap hanya membayangkannya saja.