13 October 2009

The Power of Blue Sneakers

Ini impianku sejak lima tahun lalu, memiliki sneaker sendiri yang bisa kupakai ke kampus. Namun, entah mengapa keinginan itu susah sekali terwujud. Aku yang tidak pernah menyisihkan uang ataukah aku yang tidak punya waktu untuk memikirkannya. Hingga kemarin, saat rutinitas kuliah sudah berakhir sejak empat bulan lalu, baru aku bisa membawanya pulang, membelai, menyentuhkan kakiku, dan mengenalkan ia pada teman-temanku. Kini ia akan jadi temanku juga, menjadi 'tanah' yang kupijak ketika mengejar matahari dan mimpi-mimpiku.

Penyihir dari Portobello

Ketika Penyihir Bertemu Ibu Agung

...Waktu kita di bumi ini sakral adanya, dan kita seharusnya merayakan tiap detiknya...
Perlu dua hari bagi saya menyelesaikan novel terakhir Paulo Coelho ini. Meski pada lembar-lembar awalnya saya masih harus beradaptasi akibat sudah terlalu lama tidak baca buku, pada akhirnya Paulo selalu memenuhi ekspektasi pembacanya, entah ide cerita yang selalu unik, atau tebaran kata-kata sakti yang bisa ditemui di tiap halaman.

Tokoh utama kali ini adalah Athena (entah mengapa Paulo selalu memilih perempuan), perempuan Romania yang diadopsi sebuah keluarga di Lebanon. Sejak kecil, Athena yang bernama lengkap Sherina Khalil ini sudah bisa melihat dunia 'lain' yang dianggap tidak wajar oleh orang di luar dirinya, termasuk ketika ia mengaku melihat sosok Bunda Maria, patung-patung gereja yang hidup dalam pikirannya, serta jalan penuh darah yang ternyata menjadi pertanda perang saudara berkepanjang di Lebanon.

Berada dalam situasi mencekam tak berkesudahan, ia sekeluarga memutuskan melanjutkan hidup di kota London. Pada usia 19 tahun, ia mewujudkan hidup terpisah dengan ayah ibunya, dengan menikahi mahasiswa senior di kampusnya. Namun tidak berapa lama setelah ia memperoleh anak, suaminya menceraikan dirinya. Athena lalu berjuang sendiri membesarkan anak lelakinya, Viorell.

Perjalan spiritual Athena semakin menunjukkan cahaya terang ketika ia bertemu sesama pelarian, seorang penyewa apartemen tempat ia menyandarkan malam-malamnya. Perlahan namun pasti, Athena menjelma menjadi seorang 'penyihir'. Athena menjadi tokoh sentral di komunitasnya bahkan di sepanjang jalan Portobello, tempat ia melakukan ritual penyembahan pada Ibu Agung setiap hari senin malam. Termasuk ketika komunitas mereka dituding sesat dan menyebarkan ajaran setan, Athena-lah yang berada di daftar urut pertama menjadi sasaran 'tembak' kelompok penghujat

Apakah yang terjadi selanjutnya pada Athena, sudah bisa diketahui pada halaman awal, namun di sinilah kekuatan gaya penceritaan Paulo kali ini. Ia memutar balik setting waktunya, hingga sensasi signifikan akan terasa jika membaca ulang novel ini dibanding pada saat pertama kali membacanya (gaya penulisan serupa dapat ditemui dalam Seratus Tahun Kesunyian).

Uniknya, tokoh Athena diceritakan dari berbagai sudut pandang orang-orag yang pernah bertemu dengannya, dari ibu angkat yang sangat menyayanginya, aktris, wartawan, pastor yang menolak memberikan hosti, guru spiritual, mantan suami, pemilik apartemen, hingga seorang polisi berkebangsaan Skotlandia. Pada akhir cerita, anda juga akan mendapatkan siapa sebenarnya yang tengah mengumpulkan data 'wawancara' dari berbagai narasumber di atas.

Seperti biasanya, kehadiran novel ini makin menegaskan Paulo sebagai seorang pagan (jika bisa dibilang demikian). Hampir di tiap novelnya ia selalu menghadirkan sosok feminin Tuhan dalam wujud Ibu Agung.Tidak ketinggalan, gairah akan mimpi-mimpi manusia yang selalu bisa terwujud jika yakin dan percaya. Jadi, formula novel kali ini adalah: Sang Alkemis + Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Tersedu = Kehilangan adalah impian.

....Siapapun yang kebetulan menyadari talentanya dan berani mengungkapkan kelebihannya, lebih sering dihadapkan pada ketidakpercayaan...

11 October 2009

Maaf, Ini Soal Selera

Hari ini masih ada yang menertawakan ST12, Kangen Band, Wali? Well, maaf jika anda salah satu di antara barisan orang-orang yang memicingkan matan pada mereka. Dulu, saya memang pernah jadi 'penyelamat' selera musik seorang teman, tetapi kini saya tidak melihatnya sebagai sebuah tindakan yang bijak.

Cerita ini agak berbeda dengan paragraf di atas, namun sama dalam cara pandang kami melihat seorang idola. Kata 'kami' merujuk pada percakapan tiga orang, antara aku, Ifzan, dan Doddy. Tanpa pendekar awan dan angin, tiba-tiba ada komentar yang membuat saya dongkol. Toh saya tidak pernah sama sekali meremehkan idolanya dan idola siapapun di depannya. Entah kedongkolan ini gara-gara ego berlebihan karena merasa 'terhina'. Padahal sebenarnya yang ia rujuk adalah frontman favorit saya, Matt Bellamy, bukan diri saya pribadi.

"Matt tidak punya skill gitar sama sekali, kecuali dengan bantuan perangkat digital dan lirik yang keren". Come on!!! Saya tidak tahu apakah adik-adik ini sudah mendengar seluruh lima albumnya dan menyaksikan video-video amatir konser band Matt. Atau bagaimana media-media indie atau mainstream memposisikan dia sebagai seorang instrumentalis. Sebenarnya respon "oh begitu ya, saya baru tahu kalo dia tidak begitu hebat bermain gitar, nanti saya sampaikan padanya" atau "kalo hanya urusan skil dan keahlian mengendalikan gitar, Matt sudah kenyang, cuma dia berani meninggalkannya demi eksplorasi musik yang lebih dalam" sudah cukup untuk meladeni kalimat yang benar-benar provokatif tadi.

Tapi atas nama fans, saya berusaha menyerang balik, walau pada akhirnya yang terjadi adalah parade kalimat-kalimat egoik satu sama lain yang mengatasnamakan band-band favorit kami. Saya paham, baik Matt dan ikon-ikon lainnya tidak pernah mengenal kami dan sia-sia saja sebenarnya usaha kami saling menyerang. Tiba-tiba kami jadi sok tahu dan untuk sejenak menjelma menjadi jubir idola kami.

Namun, setidaknya dari peristiwa ini saya bisa berpikir ulang soal segmentasi genre musik yang dilakukan oleh media pada umumnya hingga mempengaruhi penilaian saya. Sebenarnya apa syarat sebuah musik disebut rock? Apakah ada indikator khusus? Lalu saya tersenyum-senyum mengingat tulisan di kostum salah seorang pemusik "Say No to False Rock!" Rock mana yang dia maksud sebenarnya?

Kembali ke paragraf pertama, bagaimana band-band yang katanya meminjam sound melayu sering menjadi objek serangan orang-orang yang mengaku kreatif dan seni tinggi dalam bermusik(Untuk hal ini, saya melepaskan faktor industri tempat mereka bernaung). Apakah dengan mengandung 'melayu' dalam musik, mereka sah-sah saja mendapat stigma sebagai band kampung? Lalu bagaimana dengan band-band lain yang terlampau amat memakai banyak bebunyian ala western? Apakah dengan begitu mereka layak mendapatkan apresiasi setinggi-tingginya, khususnya oleh majalah-majalah tukang kritik terbitan ibukota? Padahal keduanya berada pada posisi yang sama, serupa tindakan meminjam sound asing.

Saya heran dengan jurnalis musik Indonesia yang sepertinya tidak punya bahan dalam menulis. Selalu saja melibatkan komparasi antara musik mainstream dan 'kreatif'. Jika ada sebuah band baru yang menentang arus, pasti langsung dihubungkan dengan kondisi musik Indonesia yang katanya carut marut. Apalagi jika selera musik kemudian dihubungkan dengan kadar intelektual seseorang. Nyambung di mana? Di mana otak Ahmad Dhani ketika dia dengan semangatnya berkata, "Saya ingin mencerdaskan selera musik warga Indonesia." Juga di mana kepekaan dia waktu menyebut pasar RBT sekarang adalah golongan pekerja dan para buruh?

Menginvasi selera seseorang sama mustahilnya dengan mengajak ia pindah agama. Mengapa mesti menaklukkan wilayah paling privat orang lain, padahal bisa saja kita yang sedang ditaklukan oleh tangan-tangan tidak terlihat.

Perih

Without being rude my friends, saya sedang giat-giatnya mendengarkan lagu ini. Terlepas dari spekulasi bahwa band ini susah tampil 'live', plagiat, kasus foto-foto syur Widi di dunia maya, dan semacamnya, mereka bisa menghasilkan karya-karya segar, salah satunya 'Perih' ini, yang harmoni nadanya mampu meliuk-liukkan emosi. Oleh karena itu, semestinya saya melampirkan partiturnya, bukan malah lirik dan foto para personalnya. Biarlah liriknya menjadi milik anak-anak muda angkatan mereka atau siapapun yang mengasosiasikan diri dengannya, saya hanya menikmati lagu dan vokal manja Widi, sang vokalis.

Dirimu…
tak pernah menyadari
semua…
yang telah kau miliki
kau buang aku, tinggalkan diriku

kau… hancurkan aku seakan ku tak pernah ada

Aku kan bertahan
meski takkan mungkin
menerjang kisahnya
walau perih… walau perih…

salahkah…
aku terlalu cinta
berharap..
semua kan kembali
kau buang aku,tinggalkan diriku
kau.. hancurkan aku

seakan ku tak pernah ada

Aku kan bertahan
meski takkan mungkin
menerjang kisahnya
walau perih… walau perih…

8 October 2009

Melancholia Paranoia

Yeah, we live in the age of fear, panic is in the air. Kita hidup dalam abad penuh ketakutan, di mana ketegangan sosial berada di ujung tanduk, sedikit lagi ia akan jatuh pecah menjadi perang. Sebuah abad, di mana bom bunuh diri tengah berdetak tanpa kita ketahui siapa yang memegang detonatornya. Kita menghirup udara dari sebuah masa di mana hidup tidak lebih dari sekedar menunggu hukuman dan kematian mengambil alih.

Tuhan telah meninggalkan kita dalam ketidakberdayaan, dalm bencana yang tak kunjung usai. Kita benci pada waktu yang menggulirkan kita ke jalan yang penuh amarah, dendam, dan sakit yang teramat perih.

I can't get it right since I met you. Semua menjadi gelap ketika engkau datang. Aku bisa melihat kematian diriku di hadapanku sendiri, and the end is all I can see, pada hentakan jarum jam yang tidak lelah berotasi. Aku menyaksikan dunia yang telah kubangun dengan rakusnya engkau lahap, bebintang yang kupasang dengan susah payah, kini jatuh berguguran. Engkau meniuppadamkan cahaya kecil dalam hatiku. Begitu lemahnya-kah aku hingga satu kata pun tentangmu membuatku histeris dan penuh amarah menggugat Tuhan yang telah melahirkanku ke masa ini. Mengapa aku ada di sini, mengapa mesti hari ini?

Kadang aku tidak paham dengan rencanamu, mungkin terlalu kalis bagi orang tolol sepertiku. Katamu aku adalah api yang membakar, namun aku terbakar oleh diriku sendiri. Lalu engkau meralat bahwa aku adalah kayu kering melepuh yang mudah terbakar habis dalam sekedipan denyut jantung. Aku tidak berguna kecuali hanya menambah panas, lalu baranya habis menjelma abu ringan beterbangan oleh udaramu yang dengki. Aku benci menjadi kayu yang rapuh...

071009

22 September 2009

Rindu Yang Bertuan

Pekan ini aku harus pulang ke Makassar, kembali menjalani perca-perca yang kunamai rutinitas. Sudah seminggu lebih aku berada di Bone menjalani tradisi lebaran. Sebisa mungkin aku menyempatkan diri mengunjungi nenek dari kedua orang tua, teman-teman mulai dari SD hingga SMA. Ragam cerita tumpah ruah. Aku bisa mendengar kesah teman yang sedang bimbang, tentang obsesi jadi model, tentang adaptasi di tempat kerja baru, tentang deg-degan menunggu masa akhir koas, sampai pengalaman selama hamil dan melahirkan.


Kamis ini aku harus melalui 120 km selama lima jam. Perutku sesak oleh sesajian lebaran, tidak sesesak hatiku oleh rindu yang kubawa dari Makassar. Aku membayangkan nenekku dengan tubuh yang makin rapuh oleh waktu. Diameter pelukanku makin mengecil di tubuhnya. Tangisnya mendobrak pintu pertahanan terakhirku. Ia menangis oleh kesepian yang kejam menawan hari-harinya.

21 September 2009

Kembar

Banyak hal yang tidak terduga di dunia ini. Salah satunya kejutan yang satu ini. Namanya Faiz, usia dua tahun, mata indah, bulu mata lentik, dan senyum yang menawan. Ia sepupu dari sahabatku Fera. Awalnya aku hanya memandangi foto digitalnya. Aku langsung teringat pada anak pasangan temanku Giez-Edy. Kapan aku membayangkan akan menemukan kembaran Uchen?