6 September 2009

Angkatan tanpa Foto Angkatan

Kunci serep angkatan itu kini berada di tangan siapa, tiada yang tahu. Dari 52 persona, kurang lebih dua pertiganya telah menyelesaikan studi sejak satu tahun kemarin. Bukan sepertiga sisanya yang akan saya permasalahkan atau menujukan protes. Yang saya pertanyakan adalah, dari lima tahun masa bersama, mengapa tidak ada satu pun foto angkatan yang utuh tidak bolong-bolong?

Tanya ini sudah ke mana-mana mencari jawaban. Sebenarnya sudah tidak mungkin berfoto angkatan. Kepingan formasinya luruh satu per satu oleh waktu. Foto angkatan hanya menjadi mimpi yang tidak akan pernah terwujud hari ini (saya selalu berharap besok-besok bisa terealisasi, Amin).

Tanya ini terucap olehku, dalam hati, di rumah Wuri kala teman-teman merangkai pertemuan lagi. Sahur bareng teman-teman RUSH 04. Jujur, selama Ramadhan dalam hidupku, aku hanya mengenal yang namanya buka puasa bareng. Merencanakan sahur bareng dengan mendatangkan teman angkatan adalah sebuah ide brilian, inovatif, dan mencengangkan.

Perlu waktu satu minggu memberi kabar lewat dunia maya dan dunia sms. Panitia berusaha keras meyakinkan RUSHER yang masih bermukim di Makassar agar datang berkumpul, berbagi cerita, berbagi lowongan kerja, dan menjadi telinga bagi keluhan-keluhan mereka yang telah dihimpit oleh dunia kerja. Inilah yang menjadi pertimbangan penetapan jadwal, yakni Sabtu malam hingga Minggu pagi, meski pada akhirnya Wiwie, the most awaited one, ternyata tidak bisa datang.

Bahagia melihat semangat Iqko (yang notabene baru saja habis kecelakaan dan Wuri (yang dikenal ahli mengorganisir acara), Dwi dan Darma menyempatkan waktu berbagi bantal, pasangan Fufu dan Echy, Fafa, Keda, Uccang, Were, Icha, Ketua angkatan Arya, dua penjahat angkatan, Edy dan Taro, pegawai baru Patrick, Nunu si balala, semuanya datang...

Tidak ada yang boleh terlelap, itu peraturan yang boleh dilanggar. Dwi tak kuasa menahan beratnya kelopak mata. Setelah ditahan-tahan, ia menghambur juga ke kamar tidur, diikuti oleh Icha. Were masuk angin, Keda tak kunjung berhasil memasukkan voucher ke nomor hapeku, Patrick tiada henti bercerita soal tempat kerja barunya, Iqko menggendong tangannya ke mana-mana, blitz kamera Uccang serasa tak berjeda, Taro dan Edy menonton pertandingan membosankan Georgia-Italia, duet Fafa-Fufu membincangkan sedikit seputar hukum-hukum puasa dan shalat, dan ada Echy yang diospek ulang karena tidak pamit waktu berangkat ke Jakarta.

Sekitar jam 3 dini hari (Jam di dinding terlambat lima belas menit), Wuri dan aku menyiapkan makanan sahur. Beberapa potong ayam dan ikan goreng sambal serta tiga iris tempe goreng sisa buka semalam kuhangatkan. Sup yang dibawa Iqko sangat menggugah selera dan akhirnya jadi menu terbaik. Wuri merebus air buat bikin teh untuk 15 orang. Saatnya membangunkan darma, dwi, dan icha.

Habis sahur dan kenyang foto-foto, semua bingung menentukan, tidur atau menunggu pagi datang. Aku dan Dwi memutuskan nebeng di mobil Arya, Patrick dan Nunu ciao sebelum subuh, Taro dan Edy balik setelah subuh. Sisanya terkapar membayar tidur di ruang tamu yang telah disulap menjadi bidang datar berkarpet.

Makassar masih hening dan dingin kala kendaraan yang kutumpangi menjauh dari Toddopuli. Bocah-bocah lelaki serta perempuan-perempuan cilik bermukena kutemui hampir di tiap pinggir jalan-jalan kecil.

Hmm...di manakah foto angkatan itu?


4 September 2009

Menanti "Guiding Light"

"You are my Guiding Light..."

Aku jadi tidak sabaran dua minggu ini. Napasku sesak, udara yang masuk ke paru-paru serasa hujaman ribuan jarum tiap kali aku membaca review-review album mereka di berbagai majalah. Hanya sampel 30 detik dari tiap lagu setia menemaniku selama penantian hingga pekan depan, 14 September ini. File berjenis flv itu kupajang di desktop dan hanya akan dapat kudengarkan jika Kak Harwan sedang nganggur menggunakan komputer jinjingnya.

Penantian, ya, seperti kata Darma dan Kak Rahe, adalah sebuah proses meniti waktu yang terasa sangat nikmat. Ujung penantian adalah buah kesabaran itu sendiri, entah buahnya berasa air laut yang tidak pernah melepas dahaga, ataukah berasa kue putu yang langsung mengenyangkan pada gigitan pertama. Aku tidak tahu dengan apa yang akan kupanen. Hingga hari ini aku masih menggantungkan penilaian pada komentar orang-orang di forum diskusi maya. Di sisi lain aku ingin punya argumen sendiri.

30 detik pertama yang membakar semangat, tinggal tujuh hari lagi ia akan menemukan bentuk yang utuh. Aku masih merasa kehabisan napas. Breathless...

Kepincut Akting Katherine Heigl

Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari penampilan Kate, ia tipikal aktris blonde kebanyakan, tinggi semampai dan berkulit putih, jauh dari kesan eksotis atau seksi meski ia sering menjadi model seksi dalam MAXIM, FHM, dan VANITY Fair. Namun mata saya tidak bisa beralih barang sedikit pun dari wajahnya ketika tiba masanya ia masuk frame. Saya juga tidak bosan-bosan (malah menyediakan waktu) jika HBO atau Star Movie memutar ulang film-filmnya itu.


Jatuh cinta ini baru saya sadari setelah menyaksikan 27 Dresses untuk ketiga kalinya di rumah salah seorang teman. Film yang sudah tidak terlalu baru, namun saya tonton karena penasaran dengan Kate. Sebelum-sebelumnya dari belasan film yang telah ia bintangi, saya hanya menyaksikan Knocked Up. Melihat Kate bagai minum cola, segar dan tidak cukup dengan sekali teguk. Aktingnya di luar dugaan berhasil mempermainkan emosi dan membuat saya ingin berada di film itu setidaknya supaya bisa melakonkan bahasa non verbal wajahnya yang sangat tulus dan polos.

1 September 2009

Doa, Nyawa Keduaku


Apakah yang manusia miliki selain keyakinan? Saat kepastian lelah terkejar, hanya pada doa hati menemukan rumah dan merebah tubuh pada keikhlasan. Setiap lafalnya meluruhkan sejenak ego yang akan menemukan reaksi kimianya kembali.

Sudah seringkali aku dibangunkan oleh mimpi buruk. Degup jantung tidak menentu dan hantu-hantu serasa memenuhi ruang kamar siap menerkam. Aku hampir mati ketakutan, sendirian. Tubuhku gelisah bergelut mencari rasa tenang. Telapak tangan tidak lepas dari dentuman dari dalam tubuh yang kurasa semakin hebat.

"Mengapa mesti takut kalau hanya ada Dia,..." aku ingat ucapan salah seorang kakak.

Bulir-bulir air menganak sungai di wajahku. Aku menangis merasakan keyakinan menusuk-nusuk tubuhku. Sesaat, mata terpejam membunuh semua ragu hingga aku larut kembali dalam lelap tidur.

31 August 2009

Bintang Jatuh


Pada gelap tadi aku lihat bintang jatuh. Hatiku berbunga-bunga dan jantungku segar seperti habis makan permen mint. Aku berdoa pada Tuhan "...#%%@^*#&*(_^% $@@*!!!!!++$$#%$^#@^$*(&^%&$&^...."

30 August 2009

Ira Demita, Nama yang Kurindu :'(

Tahun menunjukkan angka 2004, saat pertama kali bertemu dirinya di Kosmik. Dia senior tiga tahun di atasku. Posisi itu sedikit banyak memengaruhi cara berperilaku, aku merasa segan menyapa. Namun, perlahan aku mengenalnya sebagai kakak berkacamata yang sangat humoris, Johnny Depp die hard fan, agak maskulin, jago fotografi (there's nothing to touch you, tak ada yang mampu mengalahkanmu), dan yang paling penting Kak Ira sangat menerimaku menginap di kosannya di Wesabbe.

Tidak terhitung berapa kali aku harus meminta izin menginap pada Kak Accank, demi merasakan empuknya ranjang pegas, nikmatnya susu cokelat ala Ira di pagi hari (sambil mendengarkan pita kaset JET dan Avril Lavigne), dan mengagumi hasil jepretan kamera manual tua yang telah menemaninya sekian tahun.

Kemarin, aku dilanda de javu saat melintasi Racing Centre, tepatnya ketika melihat bangunan masjid berwarna hijau menjelang buka puasa. Ramadhan lima tahun lalu, aku ingat, lepas kuliah, aku menghampiri lalu menggelayut di pundaknya, meminta agar menemaniku belanja suvenir ulang tahun adikku di Lasinrang. Tanpa babibu, ia langsung mengiyakan sambil tersenyum-senyum menggodaku yang sedang takjub dengan ketulusannya.

Karena kelamaan cuci mata, kami terancam tidak buka puasa di rumah. Alhasil Kak Ira mentraktir minuman dingin lalu singgah sejenak di depan mesjid Lasinrang. Ternyata di masjid itu jamaah sedang berbuka. Kami berdua dipanggil-panggil masuk oleh salah seorang warga. "Wah bagaimana ini kak?" "Ayo masuk saja...".

Aku dan Kak Ira hanya bisa saling memandang saat melihat seisi rumah ibadah itu.Kami berada di antara puluhan jemaah yang semuanya laki-laki!!! Kami jadi canggung dan tidak kuasa menghabiskan penganan berbuka. Buru-buru kami keluar berwudhu dan mengasingkan diri ke lantai dua masjid yang sementara direnovasi.

Aku rindu pada Kak Ira, pada spring bed-nya, pada TV-nya, pada tumpukan kaset di lemarinya, pada foto-foto karyanya, pada sisirnya, pada cerminnya, pada dinding kamarnya yang bergaris-garis, pada langit-langit kamarnya yang bocor, bahkan pada sabun mandi cairnya yang sering kupakai.

Di mana lagi akan kutemukan kakak yang selalu kurindukan sepertimu, Kak Ira?

Melawan Kantuk

Aku selalu berjanji pada Tuhan, akan bangun lebih pagi, berjuang melawan kebiasaan memulai hari pada jam 10 siang yang telah kuidap sekian tahun ini. Niat luhur yang baru bisa kupenuhi kala fajar tadi, Ramadhan hari ke 9. Di luar kebiasaan terlelap setelah sahur, aku mendapati diri sedang duduk di atap rumah Arya, menunggu sapaan matahari. Di udara, suara penceramah masjid beradu dengan suara burung-burung dari berbagai arah.

Ah, pagi yang indah... Mengapa baru kali ini aku menyadarinya. Kurebahkan punggung pada genteng atap. Mataku tertuju pada kelip bintang yang makin lama makin padam oleh semburat jingga sang mentari.