Maghrib baru saja berlalu, saat aku dengan tertatih mengenakan baju merah marun yang kubeli beberapa pekan lalu. Mamaku mondar-mandir depan kamar, di hadapanku yang tak acuh karena sedang membereskan barang-barang yang akan kubawa ke Makassar. Aku sedang menunggu mobil langganan. Mamaku gelisah, dari raut wajahnya, ia ingin mengatakan sesuatu.
Namun karena yang dihadapinya adalah seorang anak yang kepala batu, ia memilih diam sambil sesekali membantuku merapikan tas. Di ruang tengah, ayahku tidak bergeming, asik dengan tayangan tivi yang menayangkan kontes nyanyi dangdut yang tengah in belakangan ini. This time, this so-called ignorance, saya menjadi lebih mirip ayahku.
Kalimat yang urung keluar dari sejak aku mengatakan aku akan pulang ke Makassar malam itu, akhirnya mengalir lewat lisan kakakku, yang entah kebetulan atau tidak, malam itu ia datang berkunjung ke rumah, menjemput mama menuju takziah bibiku yang berpulang beberapa hari sebelumnya.
Tubuhku yang masih lunglai menempel di pintu, kakakku tanpa perasaan memarahiku yang nekat pulang ke Makassar hanya karena esoknya saya harus ikut meeting penting dengan atasan. Aku tidak pernah tahan mendengar orang marah. Air mataku jatuh deras tanpa suara, tatapanku lekat ke handphone, bentuk pembelaan diriku yang malam itu memang secara teknis adalah pesakitan, tidak kuasa adu argumen dengan si sulung.
Di balik tubuhku ada mamaku, tangannya mengelus punggungku lalu terdengar suara yang goyah karena tidak mampu menahan emosi naluriahnya sebagai ibu. Aku tidak menoleh, apa yang paling menyakitkan dari melihat seorang ibu menangis.
Perjalanan pulang batal, aku meminta kakakku menelpon supir langganan. Mamaku pamit padaku yang terkulai di kasur, dengan suara yang masih menyiratkan sisa-sisa tangis tadi. Still I couldnt look her in the eye. Aku menahan untuk tidak terisak. Aku menoleh sejenak sekedar memberi respon nonverbal. Di kepala, mau tidak mau aku me-reschedule kegiatan yang sudah siap kulakukan dengan kondisi setengah sehat.
Aku tiba-tiba teringat dengan perkataan seorang teman:
"Menjadi orang tua, sulitnya bukanlah pada saat seorang ayah harus bekerja mencari nafkah agar semua kebutuhan terpenuhi, atau seorang ibu yang menyediakan waktu untuk sang anak. Tapi ketika mereka harus memainkan peran. Bahwa sang orang tua bisa meyakinkan sang anak semuanya akan baik-baik saja, bahwa segala kebutuhannya akan terpenuhi, meski beratnya terasa sampai di ubun-ubun."
Kejadian malam itu menyadarkanku pada satu hal... Seorang anak juga bisa memainkan peran demi keluarganya, demi orang tuanya, demi orang yang ia cintai. Terbaring di rumah sakit tanpa memberi tahu keluarga di rumah adalah peran. Berkata 'saya akan baik-baik saja Ma, Pa," adalah peran. Berkata 'saya sudah sehat Ma,' adalah peran. Tidak mengadu saat paling berhak untuk mengadu adalah peran. Tidak membuat orang disayangi khawatir, juga adalah peran. And sometimes it takes all your life, all risks to play it well.
Memikirkan hal ini, mataku kembali basah. Aku merindukan Makassar, aku rindu Echy yang sudah mengantarku ke dokter, berkata "kodong temanku" waktu memeluknya sehabis mengantarku ke kosan. Aku rindu pada Were yang membawakanku pakaian ke rumah sakit supaya bisa tampil keren kalau-kalau teman kantor datang menjenguk, yang menyediakan rumahnya saat aku merasa paranoid berada di kamar kosan, yang merawatku selama pemulihan. Aku rindu pada Dwi yang bela-belain datang dari Bengo hanya untuk menjengukku. Pada Dian yang telah repot-repot membawakan kami pizza, lasagna, dan ice cream. Pada Gaga, Edi, Ka Ome, Eby....
Keluarga tidak selalu mesti diikat dengan darah.
Wise men said, best friends were one soul, divided into different bodies. Aku bisa merasakan ketulusan dari setiap perbuatan mereka, dalam peran mereka sebagai saudaraku, saudariku, kakakku, adikku, saat aku jauh dari keluarga yang telah melahirkanku. With them I've never been alone.
No comments:
Post a Comment