2 October 2012

Review The 2nd Law

Dalam sebuah wawancara pada tahun 2006, Muse pernah ditanya kira-kira apa perbedaan mendasar antara music rock Inggris dengan music rock negeri Paman Sam. Matthew Bellamy dengan antusias menjawab, “Kalau music amerika cenderung Straight Rock, sementara di negara kami music rock lebih banyak bersifat Experimental. Jawaban ini setidaknya sudah menunjukkan karakteristik music Muse yang memang sarat dengan ‘percobaan’ sejak era Black Holes and Revelation. Nuansa demi nuansa baru hadir, sound-sound baru entah yang terinspirasi oleh Queen, Radiohead, David Bowie, Prince, music timur tengah, Rachmaninov, hingga imaji bunyi UFO.

Matthew memang memegang kata-katanya. Di tahun 2012, eksperimentasi masih terus berlanjut lewat album The 2nd Law. Tiga bulan sebelum rilis, tepatnya Juli 2012, Muse memperkenalkan single Unsustainable via Youtube dan segera mendapatkan beragam respon. Unsustainable adalah satu bagian dari installment The 2nd Law, hukum dalam termodinamika yang menjelaskan mengenai kemungkinan bumi akan kehabisan sumber daya alam.

(Bagian yang menyenangkan adalah inspirasi matthew bellamy dalam membuat lagu atau lirik bisa dari buku-buku semisal Rules by Secrecy, 1984 nya George Orwell, The Grand Chessboard, dan kali ini dari hukum termodinamika, Matt is truly responsible for his work!)

Banyak yang merespon, khususnya dari old fans yang menganggap Muse sudah terlalu jauh dan tenggelam sendiri dalam eksperimentasi. Generalisasi kemudian muncul bahwa The 2nd Law akan jeblok jika Unsustainable ini jadi blue print.

Respon positifnya, Matt berhasil menghadirkan nuansa baru dalam music dengan unsur dubstep yang katanya terinspirasi dari Skrillex. Saat pertama kali mendengarnya, saya sendiri serasa jungkir balik, seperti mendengarkan music robot. Orkestra dipadu rock dan dubstep? Tapi seperti lagu-lagu Muse yang makin lama didengar makin enak, hukum ini juga berlaku untuk Unsustainable. Masih terperangah dengan pola pukulan Dominic Horward, he knows how to make a good vibe and groove. Kalo distorsi matt dan chris sudah biasa didengar, tapi dengan kolaborasi yang cermat dan smart, jadilah Unsustainable, yang setidaknya juga berhasil membuat saya jadi ingin tahu dengan hukum termodinamika itu, fiuuuhhh..


Dan untuk itulah saya mengatakan The 2nd Law ini surpasses all my expectations. Begitu Madness rilis di Youtube 20 Agustus, saya langsung jatuh cinta, album ini tidak akan baik-baik saja tapi sangat baik! Madness is brilliant. Distorsi Misa Katara nan tebal milik Chris berpadu dengan beat yang terdengar seperti detak jantung dari drummer paling keren Dom. Dua orang ini saja nih sudah bisa bikin komposisi bagus. Solonya Matt baru masuk di paruh lagu yang langsung mengingatkan kita pada gitaris Queen Bryan May dan kemudian membawa kita pada paruh selajutnya yang U2 banget! Apalagi pas key vocal Matt mencapai puncak di lirik "I NEED TO LOVE" favorit saya banget! Selain lagu Madness, kesan U2 juga hadir dalam lagu Big Freeze, so catchy, renyah kayak crispy, jauh dari kesan kelam yang selama ini jadi trade mark Muse.

Dari 13 lagu, jagoan saya Madness, Panic Station, Animals, dan eksperimen paling mengejutkan: Explorers. Manis, sejuk, bit lullaby, lebih tepat jadi lagu penutup album sebenarnya.

Yang baru di album ini, Chris jadi lead vocal di dua lagu yang ia tulis sendiri: Save Me dan Liquid Station, buah pengalamannya melepaskan diri dari jerat alkohol. He didn't fail, apalagi di opening Save Me yang bikin terngiang-ngiang.

Overall, album ini calon midnight darling, lebih enak didengar pas lagi begadang. Sekali lagi, Matt dkk berhasil menghadirkan menu baru bagi penikmat musik alternatif. Mercy beaucop!

12 September 2012

Guess

"Every time I see you in my dreams
I see your face
You're haunting me
I guess I need you baby..."

Padaelo, 120912

29 August 2012

Sewindu


12 Agustus 2012
Hari ini, tepat 8 tahun lalu, saya resmi menjadi penduduk Makassar. Dengan niat menuntut ilmu, merantau ke ibu kota yang mendengar namanya saja langsung terbayang jauhnya perjalanan dan medan berliku yang mengaduk-aduk isi perut. Perjalanan ini adalah cobaan yang mau tidak mau harus dijalani, demi menginjakkan kaki di universitas idaman lulusan-lulusan SMA di Sulawesi Selatan.

Malam sebelum berangkat, aku melipat tumpukan pakaian yang masih hangat habis dijemur saat kakakku Ahsan yang 3 tahun sebelumnya telah meniti hidup di Makassar, muncul dari balik pintu.

“Lipat memang mi, mungkin ini terakhir kalinya lipat baju di sini,” ucapnya disambut tawa ringan ibu.

Aku terharu mendengarnya. Hari itu belum semenye-menye sekarang jadi perasaan untuk pergi lebih ringan. Pakaian kusiapkan banyak-banyak dibanding keberangkatan sebelumnya waktu ikut SPMB 2004.

Kabar kelulusan itu kudengar dari teman SMP ku,  Awis, yang menghubungi lewat hape bapak. Aku memang meminta tolong padanya untuk melihat pengumuman via internet. Kebetulan Awis sedang di Makassar. Malam itu saya dan ibu duduk di depan tv dekat ruang tamu tak jauh dari kamarnya.  Aku duduk di kursi, ibu melantai. Sementara hape kami biarkan menganggur, menunggu kabar dari jarak 150 km. Kabar itu datang juga, aku sudah siap dengan hasil apapun. Mata ibu tidak lepas dariku.

“Em, 812841 itu kode jurusan apa? Selamat ya kamu lulus di situ!” sahut Awis

“Iya? Huaaaa… Itu Ilmu Komunikasi… Alhamdulillah lulus ya…

Mendengar kata ‘lulus’ itu, Ibu sontak berdiri dan menghambur memelukku. Belum pernah kulihat ibu sebahagia itu.. Hingga hari ini, aku menganggap itulah kebahagiaan terbesar yang bisa kuberikan. Matanya merah sementara aku masih terhubung dengan Awis. Mata merah yang sama kulihat lagi saat ia pamit pulang ke Bone setelah mengantarku ke Makassar. Sempat terpancing ikut menangis tapi khawatir ibu makin berat melangkah, jadi aku menggodanya dengan tersenyum seolah semuanya akan baik-baik saja.

"Eh, kamu bagaimana, Wis?"

Sayang sekali temanku tidak lulus tahun itu, namun dicobanya lagi hingga 2005 ia bisa lanjut kuliah juga, setahun di bawahku hehehe.

FIS III tercinta :") (6 Januari 2005)
Kehidupan kampus, mulai dari Pra-Ospek hingga Wisuda kujalani selama lima tahun. Kampus adalah tempat teraman, terkadang malah jadi semacam escapism. Tata letak almamaterku ini didesain seperti sebuah kampung sendiri, seperti perumahan yang menepi dari riuhnya jalan raya yang tidak pernah padam oleh lampu kendaraan di malam hari. Agaknya itu menjadi alasan hingga hari ini aku masih belum beranjak dari kawasan kosan belakang Ramsis Putri, dengan resiko lokasi kantor harus ditempuh hingga satu jam. Seorang teman kantor pernah mengajak tinggal di rumahnya yang lebih dekat dari kantor. Tapi tidak ada yang sepadan dengan tambak di samping rumah kosan, puncak Gunung Bawakaraeng yang terlihat dari jendela kamar, dan aroma jemuran nan wangi setiap melintas di depan kosan yang berjejer hampir di sepanjang jalan masuk.

Delapan tahun berlalu, menjadi saksi pelebaran jalan, pohon-pohon rindang tepi jalan sudah ditebang.  rawa-rawa yang ditimbun untuk ditanami ruko-ruko baru yang berdampak jalanan tergenang jika musim hujan tiba , aksi-aksi mahasiswa yang lebih sering menjadi bulan-bulanan media dan bahan olok-olok mereka yang hidup mapan, bikin hati jadi perih, tempat-tempat nongkrong makin banyak yang kerap menggodaku turun dari angkot. 

Pintu Satu Univ Hasanuddin sebelum renovasi (2 Maret 2005)
Tahun ajaran baru tidak lama lagi dimulai. Kosan tempat tinggalku kedatangan tiga penghuni baru, semuanya mahasiswa baru dengan koper besar-besar dan dispenser yang tidak pernah off. Beban listrik bertambah, jadinya pompa air bermasalah, air tidak mengalir ke lantai dua tempatku berada. Fiuh, serasa de javu, tujuh tahun hidup di kosan, tidak lengkap gelar sebagai anak kos jika tidak angkat-angkat air hehehe…

Review: Madness


Akhirnya Madness, single pertama dari album terbaru Muse diperdengarkan ke public 20 agustus kemarin. Happy yes! Bermodal sinyal wifi pas-pasan di computer kak accang, pencarian dimulai. Resminya di putar di Radio BBC pukul 04.00 WITA. Layaknya virus, filenya tersebar cepat, file mp3 nya juga berhasil saya dapatkan. Fiuh..


Kesan pertama mendengar lagu ini: Linkin Park kolaborasi dengan U2. Paruh pertama lagu seperti mendengar In the End versi Reanimation (dulu punya kasetnya ntah di mana sekarang), sound drumnya tunggal tanpa variasi, berbarengan dengan distorsi bas Chris yang sangat kental, tidak ada gitar sama sekali. Barulah, pertengahan lagu, melodi Matt masuk yang langsung mengingatkan saya pada sound Bryan May dari Queen. Melodi ini jadi pengantar ke paruh kedua lagu, sound U2 sangat terasa, seperti mendengar suara gitar The Edge, apalagi pas suara Matt makin mendaki dan mencapai puncaknya lalu falsetto,  saya seperti mendengar Bono di lagu Sometimes you can’t make it on your own! Epic! Makin didengar makin enak. I kinda enjoy it more than The Resistance. 

“I have finally see the light…” Buat penggemar yang memantau perjalanan ---- Matthew, pasti potongan lirik ini punya makna tersendiri. Dalam sebuah wawancara, Matt sebagai one man show pernah berkata “There is no light but brighter shadow”. Yeah, people change! Secara keseluruhan, liriknya adalah kelanjutan dari perjalanan sang vokalis mencari cahaya. mengingatkan saya pada lagu “Endlessly” “Guiding Light”  yang juga adalah pergolakan batin sang vokalis yang kini sudah punya penerus, the baby boy Bingham Bellamy.

14 August 2012

Hearing Muse is Hearing Memories

This life could be the last, and I'm too old to dream...

Petikan lirik ini tiba-tiba melintas saat aku berada dalam angkot yang tengah membelah kerumunan jemaah tarwih depan sebuah mesjid besar di Makassar, beberapa hari lalu. Judulnya Blackout. Not long ago, kala kuliah masih jadi rutinitas sehari-hari, aku sering mendengar lagu ini tengah malam. Lagu tengah malamku, saat kelopak mata masih segara bertahan sampai dini hari, sesuatu yang sudah tidak bisa kulakukan setahun terakhir.

Meski sering kudengar, liriknya belum kuhapal benar, masih sering tertukar bait-baitnya. Lagu ini cuma berani kudengarkan di malam hari. Istilah temanku:  a transcendental song. Bawaannya merinding kalau sudah dengar intronya. Matt Bellamy is mental! "Pada tahap tertentu could bring you closer to divine", seloroh temanku. Ah, semoga nda lebay ya.

Aku termasuk pendengar baru lagu-lagu Muse, 2004, saat memeriksa koleksi pirigan cakra padat kak Pian (yes, dia lagi dia lagi) hasil perburuan di Saitama. Ada tiga keping berlabel MUSE: Showbiz (1999), Origin of Symmetry (2001) dan Absolution (2003). Pengalamanku mungkin sama seperti kebanyakan penggemar yang baru ngeh waktu mereka merilis "Hysteria" dari album Absolution dan itu menjadi jalan untuk menyelami lagu-lagu mereka yang sudah ada sebelumnya, and it was fun, CD nya bahkan kubawa lari ke Makassar dan kak Pian tidak tahu :D 

Demi artwork ini, saya akan beli CD nya!
Bagian menyenangkan lainnya adalah menunggu album baru mereka. Waktu Black Holes and Revelation (2006) dan The Resistance (2009) menunggu rilis, tiada hari tanpa kata "muse" di serach engine heheh. Setiap hari ke warnet buat cari kabar terbaru, via majalah online, twitter belum ramai waktu itu, dsb dsb. Bahkan sampai nginap kalau perlu demi nunggu donlotan! :D

Tahun ini, tepat tiga tahun setelah album terakhir rilis, Muse akan kembali meluncurkan album terbaru "The 2nd Law". Namun tidak segencar tahun-tahun sebelumnya, kali ini aku lebih banyak duduk di depan laptop, menunggu info itu datang sendiri di timeline twitterku. No more warnet, or nginap di himpunan berburu lagu. Sudah bisa lebih bersabar kayaknya ya, hehehe. Tapi suara Matt masih sering kudengarkan, baik langsung dari winamp, atau menghadirkannya saja di kepalaku, seperti waktu berada di angkot pulang kantor itu.

thanks for 'ruining' my life
A song is a good friend. I believe it, saat sendiri lagu menjadi penawar sepi terbaik, teman yang membantu kita melawan lupa, meski terkadang hal-hal yang ingin kita lupakan justru lebih banyak hadir di dalamnya... 

Lantai 22, 140812
Waiting for The 2nd Law

11 August 2012

Hitam Putih

"When you photograph people in color, you photograph their clothes. But when you photograph people in Black and white, you photograph their souls!"  (Ted Grant)
Iseng buka file-file foto yang saya capture beberapa bulan lalu. Tiba-tiba melintas ide mengolahnya menjadi hitam putih.  Saya sangat senang foto hitam putih, seperti kata Ted di atas, foto hitam putih selalu punya magis sendiri. Warnanya memang hanya ada dua, hitam dan putih, namun kesan yang ditampilkan sangat beragam dan dalam. dalam foto hitam putih, waktu yang berlalu dapat dirasakan, isi hati yang terbaca lebih dalam dan bahkan terkadang kelam, seperti harapan yang terbenam dalam selembar foto (duh, mulai ngawur :p). Berikut beberapa foto yang saya transfer ke hitam putih via Photoshop. 


 Searah jarum jam:
  • Ronald Fristianto, masih di acara Konser Reuni GIGI di Pantai Akkarena. Banyak yang bilang flare dari cymbal mengganggu tapi saya justru suka efeknya (muji foto sendiri)
  • Sang Penari, foto ini saya take di Fort Rotterdam dalam acara yang disponsori kantor, maksimalnya cuma bisa dapat ini.
  • Daffodil, si ponakan Daffa, jadi bahan eksperiman waktu dia datang ke rumah, hehehe, maapin tantemu nak
  • The Bride, my friend Echy waktu resepsi nikah April 2012
  • Kursi-kursi di rumah perahu di Pantai Bira, Bulukumba, end of January 2012
  • The Couple, Kak Asri and Dewi, di Gowa 18 September 2011
  • The Ufip Man, Ronald di balik cymbal kesayangan
  • Yudisium, teman-teman angkatan plus senior cowok sebelum yudisium, Desember 2008
  • Separation, nemu kerang kering di pinggir pantai sekitar Akkarena waktu acara outing kantor, Oktober 2011
  • Foto paling keren yang pernah saya take, modelnya Dwi and baby Ara, Fort Rotterdam, Mei 2012

6 August 2012

Chasing Ronald

3 Juni  2012
Sometimes in June 2011 I wrote this :))

Seminggu lalu (27 Mei), setelah melewati berbagai titian pertanda dan memusatkan energi, akhirnya saya berhasil mewujudkan mimpi bertemu dengan drummer idolaku Ronald Fristianto. Alhamdulillah, terkadang saya geleng-geleng kepala sendiri setiap mengingat rangkaian peristiwa yang harus dilalui untuk sampai ke sana, semua terasa cepat dan possible. Awalnya saya menyangka hanya bisa melihatnya dari kerumunan penonton, tapi kurasakan lagi hadirnya tangan-tangan tak terlihat yang menuntunku pada salah satu momen paling penting dalam hidup.
 
“Pertama kali liat Ronald, saya masih kelas dua SD lho,” kataku waktu menemuinya di belakang panggung.
 
Ronald dengan ekspresi terkejut merespon, “waaaah kamu kecil banget!!”

Formasi 1996, baju kaosnya kebesaraaaaan :p
“Iya, pas lagi jaman-jamannya kita masih nonton Ksatria Baja Hitam. Trus kakak bawain kasetnya GIGI yang sampulnya…mmm..mmm...” banyak kata berputar di kepala, aku tidak bisa menyelesaikan kalimat ini

“Yang gambar kloset itu ya? ia menimpali kemudian

Tanpa komando, kami tertawa bersamaan. Oh sweetness...

***

instant that makes eternity #eaa
“Makasih ya udah sering reply tweet-ku. Saya ermus..” jelasku 

GIGI sedang membawakan lagu beat cepat, hingga pertanyaan tadi tidak jelas ia dengar… Lalu ia mendekatkan telinganya… dooooohhh…. Siapa yang tidak tersanjung wkwkwk,,,

“ermus..” kataku lagi

“Ooooohh,.. kamu yang namanya ermus,”

“iya,,, hehe”

“Mmmm… tadi kamu DM ya, Sori tadi mau balas, tapi pending terus” jawabnya sambil memainkan stik drum di kedua tangannya.

"They say when you meet the love of your life, time stops, and that's TRUE. What they don't tell you is that when it starts again, it moves extra fast to catch up" (Big Fish)

Fans dan idola akhirnya bertemu... hihihi. Rasanya seperti naik rollercoaster pas turun menukik, melambung lalu terhempas, jantung rasanya lepas. Kalau istilah saya ke dwi, seperti bulir-bulir kembang api yang menunggu padam, hening setelah meledak...