10 November 2009

Jangan Marah, Tidak Ada Ucapan Buatmu

November 9 always stuck in my head...

Itu hari ulang tahunmu, tapi apa peduliku kali ini. Kau mungkin sudah tidak ingat padaku. Aku tahu pesan singkat berisi ucapan selamat akan hilang begitu engkau menekan 'delete' di hape mu. Tidak, aku tidak akan mengirimkan apa pun. Kau tidak pernah ada...

Sometimes I Want the Old One Back

Jika saja Einstein mewariskan mesin waktu, maka saya dengan senang hati kembali ke masa 10 tahun yang lalu, baru kemudian menjalani lima tahun setelahnya. Pada rentang ribuan detik itu, sebuah band Inggris bakal calon idola saya terlahir dan menjalani masa-masa merangkak menjadi salah satu band Live Act terbaik di dekade ini. Apa yang salah dengan 10 tahun berikutnya? Mungkin petunjuk berikut bisa menjawab. Saya merindukan sebuah kesederhanaan dan pendakian menuju puncak kehidupan.

Tapi bukankah kita punya teknologi? Sebuah teknologi mesin waktu bernama internet yang mampu menggali benda 'purba' tanpa harus berada di sana pada saat itu. Saya bisa saja mengumpulkan ratusan video dan foto-foto idola saya dari belasan tahun yang lalu. Tapi mengapa saya masih menyesal terlambat menyadari mereka hingga tidak deg-degan menanti mereka (bersama Blur dan Coldplay) di Glastonbury 2004? Mengapa saya masih merasa tidak cukup meski telah menyaksikan video festival konser itu berulang-ulang?

Sejauh apa pun sebuah internet membawa saya ke dimensi waktu lainnya, tetap saja ada bagian yang tidak penuh. Sayang sekali saya tidak bisa menyaksikan (lebih tepatnya 'berada di sana') Muse muda hingga sampai ke titik tertinggi di Juni itu. Yang saya saksikan secara sadar hanya rangkain fase kulminasi mereka yang konstan dan terjaga. Sehebat apapun tampilan live mereka saat ini dan di masa mendatang, Glastonbury tetap yang terbaik, yang lebih sederhana dan hanya bermodalkan tiga album (tapi ketiganya sangat klasik bagi saya).

Live act Muse di Antwerp-Belgia, Oktober 2009
Salah satu dekor panggung terbaru mereka untuk The Resistance Tour
'extravagant' aye?

9 November 2009

Saya dan Kerja

Lima bulan sudah saya menyandang gelar sarjana. "Kerja di mana sekarang?" adalah sebuah pertanyaan alam bawah sadar setiap teman-teman yang pernah terpisah jarak. Dalam periode lima bulan itu pun, terhitung hanya satu kali saya memasukkan pernik-pernik lamaran kerja ke sebuah perusahaan industri di Kawasan Industri Makassar. HasilnyaI screwed it, gagal total.

Sempat pula saya meniatkan diri memasukkan lamaran ke sebuah majalah computer-thing dan sebuah koran nasional, keduanya berbasis di ibukota. Berkas dan kualifikasinya sudah saya genapi, tinggal kirim via pos. Namun, entah mengapa malam berikutnya, semangat saya jadi surut. Mengapa? Padahal saya paham benar pekerjaan semacam ini adalah dunia saya.

Mungkin benar kata salah seorang teman, saya sering memberi jeda/ruang di antara kedua belahan otak saya. Sebuah keputusan mendadak kadang-kadang mengapung ke permukaan, dan itu di luar tebakan orang-orang, bahkan dari perencanaan saya yang matang. Apa yang menggerakkannya, adalah sebuah keentahan lain yang belum bisa saya jawab.

Kata Ka Harwan, segala bentuk pekerjaan itu baik, selama halal, dan dengan bekerja orang akan menjadi sehat. Kalimat ini menjadi air bagi semangat saya yang sering layu. Saya tidak membenci pekerjaan, saya hanya kadang cemburu dengan mereka yang telah bekerja sendiri, hidup dengan biaya sendiri, bahkan sanggup menghidupi orang lain. Maka celakalah orang yang mencemooh orang-orang yang bekerja.

Hidup memang terlalu kuat untuk dikendalikan dalam bentuk rencana-rencana. Ada yang menaklukkan dan ada yang takluk oleh hidup. Kedua pilihan ini bukan untuk dipikirkan, tapi untuk dijalani.

The Wedding

suasana kumpul keluarga di nikahan Kiky

Saya terkaget-kaget melihat harga barang-barang di City One, masya Allah mahalnya (beginilah manusia dunia ketiga, kaget melihat barang mahal, heheheh). Bersama Were, saya sedang hunting kado pernikahan buat teman yang telah hidup bersamaku selama sebulan di dunia KKN desa Matajang, pertengahan 2007 silam.

Lelah berputar-putar di ruang itu-itu saja, dan setelah menelusuri harga barang satu per satu, akhirnya kami memutuskan membeli jam dinding model korek api yang menurutku harganya masih di luar nalar, ckckckck. Saya memutuskan untuk membungkusnya saat itu juga supaya tidak repot lagi menjelang acara resepsi. Lokasinya sendiri sebenarnya bisa ditempuh 30 menit, namun karena malam itu, pemuda pemudi malam minggu tumpah ruah di jalanan, saya dan Keda mesti berada di jalan selama satu jam!!!

"Buat koki tercantik di dunia: Time Flies, but Love is Another Story", begitulah kalimat yang kusematkan buat Kiky, sang pengantin. Dan begitu kado itu menemui tuannya, saya harus memastikan bahwa dia sendiri yang harus membukanya.

***
Entah ini pernikahan ke berapa yang saya hadiri tahun ini. Desy, Rani, Nita, Faika, Andi Bio, Kiki, belum lagi attending mewakili ibu kalau sedang sakit. Saya senang jika diundang dan lebih bersemangat lagi menghadirinya. Saya rela pulang balik Makassar-Bone, berdesak-desakan di mobil panther, demi melihat cahaya kebahagiaan di mata mereka. Mungkin buat beberapa orang apalah arti sebuah kunjungan, tapi menurut saya itulah bentuk pengejawantahan perhatian dan penghargaan bagi teman atau sahabat.

Tak terbayang kebahagiaan yang akan melanda saya jika teman-teman yang saya undang menyempatkan diri menghadiri pernikahan saya kelak (amin :). Bagi saya pernikahan tidak hanya menyatukan dua keluarga yang baru saling mengenal, namun juga wahana menyambung silaturahmi yang telah terputus selama bertahun-tahun (ini di luar kenikmatan sajian gratis makanan aneka rasa). Dan saya bahagia jika bertemu dengan orang-orang yang sadar ataupun tidak sadar telah bersama-sama saling merajut makna dan memberi arti...

Asa yang Berlari

Mataku terlelap, tubuhku tersandar, setiap kali ban mobil menggilas permukaan kasar, tubuh dan mata itu akan tersentak. Aku berada di antara tiga penumpang mobil lainnya. Semuanya perempuan, dua di antaranya dengan ukuran agak jumbo, membuat jok paling belakang panther ini terasa sangat sempit. Badanku rasanya terjepit hingga aku lebih sering memilih posisi tidak sandar.

16 lagu di kepalaku terus berotasi melalui pemutar musik hape di pangkuanku. Dan di kepalaku hanya ada tiga pikiran yang terus saling beradu. Besok berkas lamaran harus dimasukkan, bayar hutang, dan bertemu keponakanku. Namun, pada poin ketiga inilah tujuan utamaku pulang ke Bone. Aku rindu sekali padanya.

Suaraku membahana memanggilnya. Ia tidak mau melepaskan diri dari buaian sang ibu ketika aku datang. Betapa aku ingin sekali melihat dia berjalan. Beberapa minggu lalu ibu mengabarkan berita gembira itu. Kerinduanku akhirnya mencair juga melihat ia tersenyum, walau masih ragu menghampiriku.

Agak khawatir juga dengan posisi berjalannya yang belum seimbang benar. Kalau dia berjalan, kakinya tidak menghadap ke depan, tapi terbuka ke arah luar tubuhnya yang masih rapuh. Sesekali ia memegang sesuatu sebagai penyeimbang, entah mainan, tas kantor ibunya, atau sapu lidi.

Sebentar sekali aku bisa mencairkan gunung es rindu, malam ini aku harus pulang lagi ke Makassar. Tapi tidak apa-apa, kusimpan saja lelehan-lelehan itu agar membeku kembali, agar aku bisa pulang dan membawakannya mainan dan sepatu-sepatu lucu yang sering kulihat di pusat-pusat belanja.

So, Run Asa!!!! Run!!!

6 November 2009

Dua Puluh Satu Ilham

Tidak ada yang mengingatkan saya kecuali tanggal di layar handphone. Seperti pagi-pagi biasanya, saya bangun kesiangan dalam keadaan kaget. Pusing sendiri, tidak ada yang bisa disalahkan dengan pola hidup saya yang makin tidak teratur ini.

Oh, ternyata sudah tanggal 6, tidak ada yang berarti pertama kali aku melihat layar. Namun angka ini tiba-tiba membawa ingatan dari dua kamar sebelah, adik saya Ilham hari ini tepat berusia 21 tahun. Rencananya, saya mau menaruh kemalasan pada momen ini. Tidak perlu repot-repot bilang selamat.

Hufh...saya teringat tahun lalu di 22-ku. Ia membawakan kue berlilin dengan sebungkus kado. Ingatan yang menuntun jari-jari malas saya menekan tuts huruf yang akhirnya terangkai menjadi kalimat "HEPI BDAY", singkat, padat, dan malas....Malas juga rasanya, waktu ia mengirim pesan balasan "makasih, ih senangku"....

Asaku, cepat-cepatlah selesai kuliah, itu TV kalau malam tolong volumenya dikurangi, soalnya saya jadi insomniac mendengar tayangan-tayangan berita. Terakhir, jangan pernah mengeluh kalau dimintai tolong, ya!!!

5 November 2009

Eksperimentasi










Ide ancur ini berawal dari matahari yang tiba-tiba bersinar dengan cerahnya. Mumpung cahaya sedang bagus-bagusnya layak
soft box, saya meminta ka harwan mengabadikan beberapa saat. Harap diingat tidak ada satupun pose di atas yang natural, semuanya terorientasi dengan sangat disengaja, mafhum wajah ini tidak mirip kamera a.k.a. tidak camera face. Tapi bolehlah, buat katalog produk distro darimanaaaa gitu?!! Hehehe, saya tidak keberatan jika anda tersenyum, ngakak, atau kening anda jadi berkerut.

Model: Erato Kleio
Fotografer: Harwan Sang Alang
Penata Gaya: Harwan Sang Alang
Lighting: Victor Lingka
Lokasi: Pondok Rahmat
Jilbab: Paris MTC
Baju: Airwalk Cap Karung
Jeans: WR
Sepatu: Cafu
Tas: Export
Kamera: Sony Ericsson K530i 2 MP