15 August 2010

Dunia tanpa Kebohongan


Tersebutlah sebuah kehidupan kota di mana orang-orang hidup dengan sangat jujur, di mana orang-orang tidak mengenal konsep “bohong”. Semua orang dari beragam latar belakang berbicara dengan jujur sejujur-jujurnya tanpa memikirkan konsekuensi perkataan mereka, apakah menyakiti orang yang mendengarkan dan efek-efek buruk lainnya dari kejujuran yang tidak pada tempatnya.

Hingga suatu hari, Mark, seorang penulis skrip kisah-kisah sejarah (lebih sering dipanggil Loser dalam film ini), tengah depresi karena dipecat dari perusahaan tempat ia bekerja. Ia dilanda ketakutan akan menjadi gelandangan bersama ibunya yang sudah jompo. Puncaknya ketika ia diusir oleh pemilik apartemen karena tidak mampu membayar sewa sebesar 800 dollar. Unfortunately, Mark cuma punya tabungan 300 dollar.

Dengan pasrah ia menuju bank ingin mencairkan sekaligus menutup akun tabungan untuk selama-lamanya. Ternyata, pada saat itu sistem computer sedang tidak bagus, sehingga pihak bank tidak bisa melakukan transaksi atau sekedar mengecek infomasi saldo Mark. Tapi hari itu adalah hari beruntung bagi Mark. Ketika ditanya berapa sisa saldo, Mark yang masih dibayang-bayangi ketakutan menjadi gelandangan tiba-tiba menjawab dengan sangat tidak jujur, di sebuah kota yang hanya mengenal konsep ‘jujur’.

Dengan ragu-ragu ia menjawab, “800 dollars”. Tiba-tiba sistem komputer pulih saat itu juga hingga ketahuan jika Mark hanya memiliki 300 dollar tersisa. Namun sang teller mengatakan mungkin komputer salah membaca karena baru saja down (tapi yang paling penting adalah karena kota ini mengatakan hal-hal jujur maka mereka mempercayai saja apa yang dikatakan orang-orang. Manusia lebih patut dipercayai daripada sebuah mesin, hmm…)

Yeah, fortunately, he got the money! Mark terkejut bukan main. Sebuah kebohongan kecil telah ia temukan dan ternyata menyelamatkan hidupnya. Mark lalu mengembangkan metode berbohong ini sampai ia kembali diterima bekerja, menjadi terkenal dan kaya raya, sesuatu yang ia idam-idamkan agar dapat dicintai sang wanita dambaan, Anna.

“Kebohongan” demi “kebohongan” ia katakan tiap hari. Mereka yang dulunya merana dan takut menjadi bahagia begitu mendengarkan ucapan Mark. Makin lama kebohongan yang mengatasnamakan kebahagiaan dan ketenangan itu makin berkembang sampai menyinggung keberadaan Tuhan. Perlahan Mark “ditasbihkan” menjadi orang yang dapat berbicara dengan Man in the Sky. Setiap perkataannya ditunggu-tunggu oleh orang seluruh dunia.

Kejadian ini berawal saat ia tengah menghibur ibunya yang sedang sekarat. Sang ibu takut karena kematian hanya akan membawanya pada ketiadaan. Mark lalu mengucapkan kata-kata yang membuat sang ibu bisa pergi dengan tenang.Namun, sekali lagi karena orang-orang di setting film ini menerima semua perkataan sebagai sebuah kebenaran, suster dan dokter yang kebetulan berada di dekat Mark turut mendengarkan, mendadak heboh lalu mengumumkan ke orang lain. Mark panik, dia tidak mungkin mengaku kalau dia berbohong, karena orang di sekitarnya tidak mengenal kebohongan.

Apa sebenarnya yang dikatakan Mark? Bagaimana Mark melakukan klarifikasi atas ucapannya yang terlanjur dianggap kebenaran? Berhasilkah dia mendapatkan sang wanita idaman?

Film ini dibesut oleh Ricky Gervais, an Englishman dengan dialek yang begitu kental yang juga merangkap sebagai pemeran tokoh utama Mark. Sementara Anna diperankan oleh aktris dengan senyum dan tawa terindah di dunia, Jennifer Garner. Selain itu ada pula Tina Fey yang cukup familiar setelah perannya di Baby Mama serta dua nama kondang Phillip Seymour Hoffman dan Edward Norton yang menjadi cameo.

Awalnya saya kaget dengan adegan pembuka, isi dialognya cukup frontal dan blak-blakan. Lama kelamaan saya mulai paham mengapa dialognya di setting seperti itu. Kita bisa melihat Mark yang selalu meringis tiap kali mendengar lawan bicaranya. Siapa yang tidak makan hati jika dikatai “You’re a loser, saya lebih baik darimu, saya lebih layak berada di posisimu sekarang”. Atau percakapan sarkastik seperti: “Kamu gemuk, hidungmu bulat, saya tidak akan menikah denganmu karena unsur genetikmu begitu dominan, saya tidak ingin punya anak yang gemuk dengan hidung bulat sepertimu”. Hufh, menyakitkan…

Film ini menyajikan kondisi masyarakat yang hidup dengan penuh kejujuran. Tidak ada sakit hati, tidak ada yang ditutup-tutupi. Mark tampaknya menjadi satu-satunya yang resah dengan kondisi ini (mungkin karena ia lebih sering menjadi korban kejujuran orang-orang di sekitarnya), hingga ia akhirnya menemukan konsep ‘berbohong”. Menonton film ini lalu mengingatkan saya pada konsep Low Contex-High Contex milik Edward Hall. Konsep ini merujuk pada bagaimana makna pesan terkode. Jika makna pesan sudah dapat ditangkap melalui pesan verbal, maka itulah Low Contex. Namun untuk kasus ini, kondisi masyarakat dalam The Invention of Lying lebih dari Low Contex.

Jadi jangan heran jika sepanjang film ini begitu banyak bertebaran kalimat konfrontatif, tapi tenang tidak sampai muncul “the F-Word”, juga tidak ada adegan ciuman ala-ala Hollywood selama ini.

2 comments:

Dwi Ananta said...

Ceritax bgus tpi kurang suka ka penggambar Tuhan yg ktax laki-laki. Patriarki bgt

Emma said...

@dwi: iya, Tuhan yang digambarkan sangat maskulin