David Beckham… Pria dengan rambut pirang di poster itu. Saya
menjadi saksi pertandingan panas berbumbu politis Inggris vs Argentina, di mana
ia diganjar kartu merah karena ‘menendang’ Diego Simone. Subuh itu, rumah
ramai. Di lantai bawah Bapak menonton via TVRI, sedangkan kakak-kakakku bersama
teman-temannya menyaksikannya di lantai atas. Saya terbangun oleh keriuhan saat
Michael Owen menciptakan gol penyama kedudukan 2-2. Saat meniti tangga ke atas,
kepala kakakku muncul dan mengucapkan hal yang bikin hati remuk: “Beckham kartu
merah!”
A moment that defined year 1998 |
God, mataku yang masih mengantuk akhirnya membelalak. Ya,
saya masih ingat wasit mengangkat kartu merah di tayangan ulang. Riuh kembali
tercipta (yang saya yakin bukan hanya di rumah kami). Dan entah kenapa ada
sedikit ngilu di hati waktu Beckham meninggalkan lapangan. Benar-benar
pertandingan yang emosional buatku.
Beckham bukanlah pemain bola favoritku. Tapi dia salah satu
alasanku mulai menyukai pertandingan sepak bola sejak saat itu. Kehebatan
adalah definisi dirinya. Meski tidak terlalu mengikuti perkembangan karirnya,
hati saya tetap merasakan kehilangan saat sebuah tayangan TV baru-baru ini mengabarkan
rencana pensiun Becks. Dalam tayangan itu, Spice Boy ini meninggalkan lapangan sekali
lagi seperti waktu melawan Argentina subuh itu, tapi kali ini dengan mata yang
memerah.
merayakan gol Owen... yg juga pensiun tahun ini... hiks |
Seorang David lain, David Trezeguet. Yang satu ini, saya
secara resmi adalah fans berat. Senyum ‘kecele’nya saat berulang kali gagal
menjebol gawang Senegal di pertandingan perdana Piala Dunia 2002 sungguh
menawan hati. Perancis kalah duluan dan lagi-lagi ‘sakit hati’. Tahun-tahun berikut
dalam hidupku bisa ditebak, beli tabloid olahraga yang ada dia, pesan majalah
Bola Vaganza yang ada dia lewat kak Accang, karena di toko andalan “Naga Sari”
tidak menjualnya.
the reason why I love Juve |
Tapi mungkin, sepak bola menjadi ingatan yang hanya bertaut
dengan masa SMAku. Poster-poster, guntingan koran dan majalah berhenti di situ.
Entah sekarang sudah berada di mana koleksi itu, apalagi poster Beckham aku
lupa sejak kapan diturunkan dari dinding. Mestinya waktu hijrah ke Makassar
kubawa serta seperti catatan-catatan harianku. Setidaknya bisa jadi artefak…
Beckham dan Trezeguet adalah dua ikon yang ‘akrab’ denganku
selama ini. Anggap saja PHB nya adalah media-media itu. Shared experience kami
sifatnya searah. Aku kembali memaknai masa-masa di mana imaji-imaji mereka di
dinding kamar sebelum lelap, atau saat salah satunya menjadi alasan bibir
melengkung ke atas, menjadi tujuan, yang menuntun jemariku meraba-raba buku
tebal “Belajar Bahasa Perancis di rak-rak perpus sekolah, dengan harapan suatu
saat bisa ke Perancis dan bertemu :D Oh I miss those moments however…
Mendengar mereka akan pensiun, ada momen of silence
tercipta. Kehilangan itu ada, saat melihat Beckham menitikkan air mata pada
laga yang boleh dikatakan laga perpisahan. Atau saat membaca twit temanku
tentang Trezeguet yang juga akan pensiun akhir musim ini.
Goodbye Becks, Au Revoir Trez…