31 January 2013
14 January 2013
The Hobbit, Obat Kangen
Akhirnya saya bisa juga menikmati Middle Earth versi
bioskop, 3D lagi hehe. Saya termasuk telat menikmati kisah trilogy kolosal Dunia
Tengah ciptaan JRR Tolkien. Selama ini saya hanya mendengarnya dari kakak kelas
saya, Kak Agus, yang selalu yakin dirinya adalah Legolas. Baru saat saya berada
di Sengkang awal tahun 2010 untuk penelitian, salah stasiun TV spesialis
film-film klasik berkali-kali memutar film The Lord of The Rings (TLOR). Agak
kesulitan menonton karena teksnya bahasa Kanji, saat pulang ke Makassar saya
buru-buru mencari filmnya.
Meski saya nge-fans berat dengan Elijah Wood dan karakter
Eowyn, tapi cinta sejati saya adalah Gandalf The Grey, sang pembuat kembang
api. Begitu pun saat karakter ini muncul kembali dalam The Hobbit, sebuah prekuel
TLOR. Gandalf diperankan sangat apik oleh Ian McKellen yang lebih dikenal sebagai magneto
dalam X Men.
Sepuluh hari sebelum rilis, saya membeli novel The Hobbit yang
juga ditulis oleh Tolkien. Niatnya mau dapat gambaran lebih dahulu supaya bisa
jadi bahan pembanding saat menonton versi film. Buat yang sudah menonton TLOR
dan jadi fans setia, pasti sudah tidak ada masalah dengan visualisasi. Saya
tidak bisa dan tidak mau membayangkan jadinya Middle Earth di tangan sutradara
lain.
The Hobbit bercerita tentang Bilbo Baggins, 60 tahun sebelum
kisah TLOR dimulai. Diceritakan, paman Frodo ini dijebak menjalani petualang
mencari harta karun di The Lonely Mountain (Gunung Kesunyian). Skrip filmnya
sangat berkembang, beberapa dialog dalam novel juga muncul dalam film. Beberapa
adegan/dialog ditambahkan untuk mendukung kontinuitas dengan kisah TLOR,
seperti saat Radagast sahabat Gandalf mengabarkan akan adanya kekuatan yang
bisa menghidupkan kembali jiwa yang telah mati dan saat Gandalf menyampaikan
kegelisahannya selama perjalanan menuju Rivendell (kampungnya para peri), di
mana mereka dihadang serigala Ward dan Orcs yang kelak menjadi kaki tangan
Sauron.
Yang berbeda mungkin penggambaran para kurcaci. Jika di film
ke-13 nya nampak gagah, plus propaganda merebut kembali tanah/kerajaan yang
hilang, di novel kesan yang saya tangkap, para kurcaci ini lugu, polos, dan
berada dalam perjalanan yang menyenangkan semata mengambil harta karun dari
Sang Naga Smaug.
All I want for New Year is Gandalf, mau minta kembang api |
The Hobbit semacam obat bagi yang kangen pada Shire
(kampungnya pada Hobbit), Rivendell, dan kalau saya pribadi pada keluguan Frodo
dan kebijaksanaan Gandalf. Martin Freeman memerankan Bilbo dengan sangat baik,
bikin kangen malah. Adegan favorit yang saya nanti-nanti adalah ketika Bilbo
menemukan cincin bertuah, lengkap dengan backsound yang mau tidak mau
mengembalikan ingatan tentang kisah yang menyertainya sejak dahulu hingga saat ia
dihancurkan.
Satu yang pasti juga, saya masih ingin mengunjungi
Wellington yang menjadi setting Shire yang hijau dan makmur itu. Dalam perjalanan
pulang dari Soppeng tadi, mobil yang saya tumpangi melalui jalur Bulu Dua.
Hamparan lereng pegunungan, bukit batu, dan air terjun membuat saya berpikir,
kalo lokasi ini sebenarnya juga bisa jadi setting cerita TLOR, hehehe… Iya,
soalnya saya melihat Legolas, Gimli, dan Aragon berlari-lari di antara
pepohonan di lereng-lereng dan pinggir jalan. Ah, mulai ngelantur nih :p
Edward Bloom
"And I suppose if I had to choose between the true version and an
elaborate one involving a fish and a wedding ring, I might choose the
fancy version. But that's just me."
Untuk sejenak, saya ingin seperti Dr. Bennett yang mengatakan kalimat ini, dalam film Big Fish. In fact, I wish I were Edward Bloom, the leading role. Dalam kisah ini, Edward adalah seorang ayah yang suka menceritakan kisah hidupnya pada sang anak, Will. Kisah Edward selintas lebih mirip dongeng yang sulit terjadi di dunia nyata. Penyihir, Puddleville, dua perempuan dalam satu badan, ikan besar, raksasa, dan hal-hal mustahil lainnya. Hingga sang anak beranjak dewasa, ia mulai jenuh dan menganggap semuanya omong kosong, termasuk kisah saat ia dilahirkan.
"I kind of liked your version", kata Will setelah mendengar kisah 'sebenarnya' dari dr. Bennett saat ia lahir ke dunia.
Terakhir kali saya menonton film ini, sekitar dua tahun lalu. Ingatan yang terus menggema tentang Edward, selain saat melamar istrinya (yang selalu bikin saya meleleh), juga adalah kepiawaian Edward dalam bercerita. Beberapa dari keberatan Will juga terpikirkan olehku. Will hanya menginginkan kejujuran, cerita sesungguhnya tanpa bumbu-bumbu mistis dan keanehan yang membuatnya terdengar lebih drama dan mudah dikenang.
Bagaimana kira-kira Edward mereka ulang kisahnya, mengolahnya dengan 'imajinasi-imajinasi' yang membuat Will jengah namun justru sangat disenangi istri Will, Josephine. Maybe I'm more like Will, tidak peduli betapa pahit sebuah realita, selama itu jujur dan sungguh-sungguh, itu jauh lebih berarti. Daripada bahagia tentang hal yang sebenarnya tidak ada.
Hingga Kamis lalu, sebuah keadaan tiba-tiba membuat saya terkenang Edward. Semacam 'wangsit' yang tanpa tedeng aling-aling memutarkan imaji di kepalaku, lengkap dengan alur dan bumbu-bumbu cerita khas Edward. It's gonna be a good story to tell, yeah, akhirnya saya bisa seperti Edward, merasakan bagaimana ide itu datang, dan... yang buruk mungkin, yang berusaha kulawan selama ini: perasaan bahagia saat menceritakan ulang keadaan itu.
But then I remember, kalimat yang sering saya berikan kepada teman jika bertanya apa yang harus mereka lakukan: "Mau percaya yang mana? Yang bikin bahagia atau yang bikin sedih?" This time I choose to be happy with this , undoubtedly.
Saya janji, suatu saat akan menceritakannya, with my very own version :D
Untuk sejenak, saya ingin seperti Dr. Bennett yang mengatakan kalimat ini, dalam film Big Fish. In fact, I wish I were Edward Bloom, the leading role. Dalam kisah ini, Edward adalah seorang ayah yang suka menceritakan kisah hidupnya pada sang anak, Will. Kisah Edward selintas lebih mirip dongeng yang sulit terjadi di dunia nyata. Penyihir, Puddleville, dua perempuan dalam satu badan, ikan besar, raksasa, dan hal-hal mustahil lainnya. Hingga sang anak beranjak dewasa, ia mulai jenuh dan menganggap semuanya omong kosong, termasuk kisah saat ia dilahirkan.
"I kind of liked your version", kata Will setelah mendengar kisah 'sebenarnya' dari dr. Bennett saat ia lahir ke dunia.
Terakhir kali saya menonton film ini, sekitar dua tahun lalu. Ingatan yang terus menggema tentang Edward, selain saat melamar istrinya (yang selalu bikin saya meleleh), juga adalah kepiawaian Edward dalam bercerita. Beberapa dari keberatan Will juga terpikirkan olehku. Will hanya menginginkan kejujuran, cerita sesungguhnya tanpa bumbu-bumbu mistis dan keanehan yang membuatnya terdengar lebih drama dan mudah dikenang.
Bagaimana kira-kira Edward mereka ulang kisahnya, mengolahnya dengan 'imajinasi-imajinasi' yang membuat Will jengah namun justru sangat disenangi istri Will, Josephine. Maybe I'm more like Will, tidak peduli betapa pahit sebuah realita, selama itu jujur dan sungguh-sungguh, itu jauh lebih berarti. Daripada bahagia tentang hal yang sebenarnya tidak ada.
Hingga Kamis lalu, sebuah keadaan tiba-tiba membuat saya terkenang Edward. Semacam 'wangsit' yang tanpa tedeng aling-aling memutarkan imaji di kepalaku, lengkap dengan alur dan bumbu-bumbu cerita khas Edward. It's gonna be a good story to tell, yeah, akhirnya saya bisa seperti Edward, merasakan bagaimana ide itu datang, dan... yang buruk mungkin, yang berusaha kulawan selama ini: perasaan bahagia saat menceritakan ulang keadaan itu.
But then I remember, kalimat yang sering saya berikan kepada teman jika bertanya apa yang harus mereka lakukan: "Mau percaya yang mana? Yang bikin bahagia atau yang bikin sedih?" This time I choose to be happy with this , undoubtedly.
Saya janji, suatu saat akan menceritakannya, with my very own version :D
Demi Rivai!
Tidak ada perasaan selain legaaaa… setelah menyelesaikan
deadline dari kantor malam ini. Untung saja tadi sore saya tidak ketiduran
sampai magrib, pas abis perjalanan lima jam dari Soppeng. Just had a sudden trip,
Rivai teman kuliah menikah Sabtu kemarin. Gladly, saya dapat jadwal off di
kantor kali ini. Malamnya sudah niat bangun subuh biar bisa ‘kepak’
perlengkapan plus beres-beres pakaian mau dibawa ke laundry, eh masih juga
bangun kesiangan. Langit masih mendung tapi tidak sekelam kemarin-kemarin.
Happy Wedding Rivai, bahagia lahir batin… amiinnn
Tidak seperti kalo mau ke Bone harus pesan mobil lebih
dahulu, perjalanan ke Soppeng ini pake modal nekat. Mulai dari modal dalam arti
denotasi dan modal berarti konotasi, dalam hal ini mental kabur dari tugas-tugas
kantor yang bertumpuk, doh! Dan untuk pertama kalinya bepergian tanpa laptop
kesayanganku.
Pakai jurus cegat mobil di Sudiang ala Dwi, saya pun
akhirnya berada dalam kendaraan Panther yang bisa dibilang sudah agak tua,
kursinya mulai lusuh dan sedikit bergeser dari posisi sebenarnya. Ada kalanya
kenyamanan bukan faktor penting lagi dalam perjalanan. Saya hanya memikirkan
bagaimana saya bisa sampai ke tujuan dan bertemu empunya hajatan.
Rivai adalah teman kuliah di kosmik. Secara tidak official,
Rivai adalah anggota geng “Spice Boys” ciptaan senior kami Kak Ipah :D Spice
Boys merujuk pada lima #Rusher (sebutan untuk anak Kosmik angkatan 2004) yakni
Basri, Baqir, Ali, Padly, dan Rivai. FYI, kelimanya sudah menikah semua,
mengalahkan saingan seumur-umur “Spice Girls” yang salah satu anggotanya adalah
saya… fiuh. (Mengenai peta per-geng-an di Rush, akan dibahas pada tulisan yang
lain). Aaaaa… miss them all so much :’)
Rivai lebih sering saya sapa dengan “Keda”, sound bit
Japanese, mungkin karena dia fans berat L’Arc en Ciel. Dia termasuk pendiam di
antara kami. Saya pun baru akrab dengan Rivai ketika bersama empat teman KKN
lainnya sama-sama mendiami posko di Desa Matajang Bone selama dua bulan di
pertengahan 2007. Dua tahun kemudian kami dipertautkan lagi sebagai wisudawan
yang lulus di bulan Juni. Setelah itu, komunikasi kami cuma lewat sms atau
telpon. Saat ia mulai bekerja di Bone, saya masih meneruskan “karir” di
Makassar.
Rivai dan Anak-anaknya :p |
Hingga suatu hari aku mendengarnya resign, karena mesti
merawat ibunya yang tiba-tiba sakit. Mendengar ceritanya saya sering terharu.
Sebuah pengorbanan besar yang ia lalui kurang lebih hampir dua tahun, tidak
setiap anak bisa sampai pada tingkatan maqam ini. Makin menambah kekaguman kami
padanya.
Sekitar sebulan lalu, saat rapat di kantor, hape saya
berdering. Tidak sempat mengobrol, saya berjanji menelpon balik secepatnya.
Malamnya saya baru punya kesempatan. Hampir sejam mengobrol ia sedikitpun tidak
menyinggung soal rencana pernikahannya. Kabar bahagia itu sendiri saya dapat
dari kawan baik Rivai juga, Iqko. Namanya kabar bahagia, yang mendengarnya saja
pasti akan ikut bahagia. Saya menghubunginya lalu protes kok tidak dikabari :D
Kiki & Rivai, Happily Ever After :) |
Akhirnya tiba juga saya di Soppeng. Mungkin karena ini
perjalanan dadakan dan berangkatnya sebelum siang, lamanya tidak terasa,
jalanan Camba yang berkelok-kelok juga sudah takluk tidak membuatku mabuk darat.
Saya selalu suka dengan perjalanan. Apalagi jika bertemu hujan di beberapa
tempat, pemandangan sawah dan bukit kiri kanan.
Awalnya kami berencana ke resepsi jam 4 sore, namun karena jadwal
saling berbenturan, kami baru bisa bertemu Rivai jam 8 malam. Sudah mulai sepi.
Niatnya mau berlama-lama mengingat jauhnya perjalanan yang sudah kutempuh, tapi
salah satu di antara kami gelisah bukan main karena baju pinjaman (sebut saja
Bunga wkwk) kami pulang segera. Rivai juga tampaknya sudah sangat lelah, semoga
ia bahagia dengan kehadiran kami.
Untuk pertama kalinya, saya bermalam minggu #eh di kosan
Darma (bersama mojang Soppeng, Were dan Azmi). Sudah lama juga saya berjanji
menginap di rantauannya itu. Finally I made it, meski pagi-pagi di hari Minggu
ia sudah harus berangkat menuju kantor dan kebersamaan kami hanya sebatas makan
bubur ayam.
Came across this... Geng KKN Matajang 2007... Surreal :D |
11 January 2013
I Supposed to Post This Last Night
Dwi,
Hari ini saya tiba lebih awal di kantor dari hari-hari
biasa. Mungkin karena pengaruh habis ditegur karena keseringan terlambat atau
karena malam tadi saya hanya tidur satu jam. Maybe so tired that I couldn’t
sleep. Empat hari saya tidak berkantor di tempat biasa….
Mungkin engkau mendengarnya juga lewat twitter, kalau
beberapa daerah terendam banjir. Hujan lebat seolah tidak berakhir sejak hari pertama
di tahun 2013. It was raining like mad, sedikit lagi seperti di film Inception.
Pohon-pohon di tepi jalan bertumbangan. Di Camba, yang selalu kita lewati kalau
pulang ke rumah di Bone sempat terputus karena banjir dan longsor. Angin
kencang menerbangkan atap rumah. Kosanku masih aman. Hanya saja angin kencang
bersama hujan kerap membangunkanku di tengah malam yang pekat karena mati
lampu. So, two nights I slept under candle light. I wonder kalo di Athens juga
pernah mati lampu :p
Selama empat hari itu, saya pulang balik Maros-kantor di Jalan
Nusantara, mengurus logistik bantuan dan dokumentasi sana sini. Pulang lewat
jam 10 malam, saat hujan agak reda, jalan-jalan masih basah memantulkan cahaya
lampu jalan dan lampu kendaraan, melintasi jalan yang mulai sepi dan dinginnya
menggigit, mengingatkanku waktu kita dan teman-teman pulang dari bazaar di Blue
C buat bina akrab. Sometimes in September 2004, melintasi jalan petta rani
akhirnya berlabuh di rumah kak Toar.
Malam tadi, kami pulang lebih awal, tugas sebagian besar
sudah tuntas. It means saya bisa lebih banyak istirahat dan menyelesaikan hal
lain yang mestinya sudah selesai sejak minggu lalu namun tertunda lagi karena
kegiatan ini. Sampai di kosan, perutku agak begah, pasti karena kombinasi bakso
dan kopi susu waktu singgah makan di perintis. Tapi bukan itu yang membuatku
terduduk lama di depan kipas angin, merangkul kedua lututku.
I remembered that day how upset you were, when someone texted
you back using only emoticons. Saya mengalaminya hari ini dwi. Asam lambung naik,
migrain datang tanpa diundang. All I wanted to do last night was to have some
chat with you.
:’(:’(
Masih ada juga ya yang tidak paham jika kata bisa menjadi pedang
(there is ‘word’ in ‘sword’). Atau kita yang terlalu mengambil hati dan memberi
makna yang terlalu dalam. Seminggu terakhir rambutku yang mulai panjang sejak
terakhir kita bertemu kembali berguguran. Semoga tidak sampai seperti daun maple
dan pohon ek yang berguguran di tempatmu. Sehari aku bisa makan lima kali, seperti semuanya bisa
masuk di perut. It’s a warning sign, something is wrong with my system.
I keep seeing myself as in a movie. Mencari kalimat pelipur
lara dalam dialog-dialognya atau lirik-lirik lagu. Bet u might feel the same. Haven’t
you ever asked why we were born with this kind of mind? Semua kata-kata bijak terkadang
terdengar seperti apologi bagi kelemahan-kelemahan kita, untuk setiap hal yang
tidak bisa kita raih. Seberapa dahsyat kekuatan kata-kata itu tidak akan
menembus tabir kekosongan. It’s real, unbeatable no matter how many days have
gone, how many songs we’ve listened to. Just like what I felt last night, playing
some happy songs to change my point of view, tapi ternyata telingaku sudah
setting default hanya bisa memproses lagu menye-menye.
Sesekali berlama-lama
di depan cermin seukuran wajah, memandang sorot mataku sendiri. Aku membaca pesan
teks berisi emoticons itu berkali-kali. Sudah berapa banyak waktu berlalu dan
betapa pembicaraan dan eksperimen rasa berusaha kita jalani, hingga malam ini
aku terus membisikkan pada diriku sendiri, “smile because it happened” instead
of thousands of ‘why’ yang mengisi kepalaku selama ini. I believe, still fresh
in your mind, bagaimana kita kita gemas dengan pertanyaan: mengapa harus kita?
mengapa harus dia? mengapa harus sekarang? kenapa tidak kemarin?
Kemarin aku bertemu dengan seorang paru baya, selalu
menyenangkan ngobrol dengan mereka. Entah ia punya kekuatan menerawang atau itu
hanya bahan pembicaraan, ia berkata aku bisa membuat orang lain tersiksa. And
he laughed as my hand made ‘yess’ code. And then I suddenly remember, ketika Po
membuka gulungan resep yang ternyata tidak berisi apa-apa kecuali lembaran
bening yang memantulkan imaji dirinya. Pria itu berbicara tentang harta karun
ilmu yang ada dalam diri setiap manusia. A very rare conversation in my
circumstance. He even talked about his tattoos :D
Masih kuat baca tulisanku? Maaf, postingan terakhir di blog
ini enam bulan lalu. Sekalinya ada bahan, eh membludak hehe. I just can’t let
go writing this and because you never ignore any little thing, little feeling
yang lebih banyak membuat kita –dalam bahasa bugis- “Mammenynye”. Pak Naing,
supir di kantor pernah ditilang setelah menerobos lampu merah. Ia lalai hanya
karena asik mengamatiku yang sedang memandang kosong ke depan. Katanya,
pandanganku seolah bisa menembus semua kendaraan di depan kami, like I was not
there haha.
Dalam perjalanan pulang balik Makassar-Maros, jika tidak
lewat tol, mobil pasti melintas di depan replika rumah tongkonan dekat lorong
masuk rumah Kak Anti di Sudiang, and you know what happened next, our old
conversations there suddenly came rushing. Saat ara tertidur dan kita asik
nonton pembukaan Piala Eropa, and every other moments.
Oh iya, Aku melewatkan tahun baru di Bone, no top roof like
I enjoyed last year. I chose going home. No party at all. I even went home
earlier before all fireworks exploded and painted the sky above this entire hometown,
along with the trumpets. Melihat bapak dan mama masih sehat dan raga mereka
masih bisa kupeluk, itu tidak tergantikan. Aku sempat membantu Kak Accang foto
produk pizza nya, berkenalan dengan ipar baru yang aku minder karena dia sangat
cantik, dan suaranya lebih nge-bass dari suaraku. Hmmm…
Today the shine wears off finally, meski di beberapa sudut
langit awan tebal masih menggantung. Hari ke 11 di 2013. I didn’t even realize
jika digit penunjuk waktu itu telah berganti. Things just stay the same, at
least regarding what’s in my room. Beberapa hari lalu saya mengubah posisi peta
yang kau beri. Disitu aku menempelkan kartu pos dari Athens dan Melbourne. Seperti
saranmu, saya melingkari tempat-tempat yang sangat ingin kukunjungi. Juga ada potongan-potongan
tulisan, bukan kalimat ala-ala motivator, tapi hanya sebuah nama yang kutulis
berulang-ulang dan sudah hampir menutupi bagian Samudera Pasifik :D
Terus saya baru saja memasang kalender 2013 yang ‘kucuri’
dari majalah di kantor. Melingkarinya tanggal-tanggal tertentu dengan
harap-harap cemas: hari ulang tahun orang-orang tercinta, rencana kepulanganmu,
kelahiran putra/putri santy dan echy, dan hari pernikahan Rivai yang tinggal
menunggu hitungan jam.
Lengkap sudah penunjuk tempat dan waktu di dindingku. Walau
kau tahu, saya bukanlah perencana yang baik. And sometimes I wish I were Power Ranger
or Kamen Rider, yang langsung berubah hanya dengan meneriakkan kata “BERUBAH!”,
tidak perlu menunggu momen khusus.
Engkau pernah bilang tidak suka dengan hujan, mungkin karena
akan menciptakan mixed feeling. Aku selalu senang dengan hujan, everything moves
slower. Did you know that, teman-teman di kantor menyebut saya “pemanggil hujan”, karena
setiap memandang jendela, I closed my eyes and prayed ‘semoga hujan hari ini’
dan ternyata benar-benar hujan. Kebetulan saja atau sinkronitas? I should learn
more from you about this.
May Allah Bless u, kak yus, and beloved ara.
P.S: Tell me about frozen lake or river near by ;) it will
remind me of Joey and Clementine of Eternal Sunshine of the Spotless Mind (see,
gak bisa move on dari adegan-adegan nyesek… nasib… nasib…).
Love,
Emma
Subscribe to:
Posts (Atom)