23 November 2008

My Wishful Thinking

Aku mencintai November.Selalu cinta. Angin utara membawa hujan dan menumpahkannya di khatulistiwa.Praise the Lord!!!Terpujilah Tuhan. Tumbuhlah segala yang bernyawa. Diberkatilah semesta. Pangeran-pangeran pun bersorak dengan riangnya. Aku langsung rindu November begitu tahun menginjakkan kaki di warsa baru. Aku rindu seperti rinduku pada Rani. Ah, Rani, nama itu terasa begitu sedap di telingaku, merdu, dan lembut melewati pintu inderaku.

Rani lebih tua dua minggu dariku dan ia terpisah jarak tepat 13 tahun dengan sosok pujaan wanita asal Napoli, Italia, Alessandro Del Piero. Ia tersenyum dan tertawa menahan geli ketika kuingatkan tentang hal itu, tiap kali kuucapkan selamat ulang tahun padanya. Dugaanku, semalam ia mengirim ucapan yang sama ke no frenku. Rani tak tahu kalau ternyata telpon selularku sudah tidak bisa digunakan lagi. Namun, dengan mengingat ia lahir di bulan yang sama, aku bahagia tak berkesudahan. Hanya itu yang paling membekas di ingatanku tentang Rani.

Seperti baru kemarin aku merasakan hujan November tahun lalu. Sang waktu berlari dengan begitu cepat dan gesitnya. Lebih cepat dari Lampard, Stoner, Hakkinen, dan ikon-ikon kecepatan lainnya. Jauh melebihi kegesitan jari-jemari jenjang Matthew Bellamy memainkan harmoni nada. Aku ditinggalkan di belakang, terlupakan, terengah-engah lelah berkelahi dengannya.

Lilin telah ditiup, pertanda kesempatanku makin berkurang. Aku tiba-tiba rindu dengan mereka yang pernah menanamkan jejak di rentang 22 tahun usiaku. Mereka yang merasuki dan merayap di tiap pintu-pintu inderaku. Kerinduan itu mengetuk pintu hatiku dengan lembut. Lalu melantunlah lagu Silent Night oleh para Carol Singers seperti di malam Natal.

Hanya ada mereka di gelap malam-malamku, di tiap langkahku yang selalu gontai. Merekalah pijakanku, supporter, pemandu sorak, dan arsitek ulung dalam membangun karakter diriku. Ada bayang-bayang ketakutan yang selalu mengintai, menjelma seperti Tuhan. Ia selalu ada di tiap mata terbuka, udara terhirup, dan telinga yang mendengar. Ia serupa stimulus impulsif yang tidak cukup puas bekerja di alam sadarku. Bisakah aku tanpa kalian, sahabat-sahabatku?

Mengapa manusia mesti meresap unsur malaikat hingga beragam rasa menjadi begitu lembut dan mudah memantik emosi perusak premis-premis logis di kepalaku.

Entah kapan aku bisa lolos dari jebakan ketakutan. Telah habis energiku meladeni perkelahian ini. Lelah memenuhi rongga pernapasanku hingga tidak ada lagi ruang bagi para oksigen. Apakah aku harus berguru pada Peter Petrelli atau Hiro, agar waktu bisa berhenti dan menata satu per satu pengalaman-pengalaman yang mestinya sudah kucerap di masa sebelumnya. Atau cukup meminta wangsit pada Mr Lampard agar dapat kusamai, setidaknya mengejar ritme waktu?

7 November 2008

fUry

YoU'Re sO hAppY noW
bUrnInG tHe CaNdlE oN bOth EndS
yoUr SElf-LoVIng ShOOtes And
sOfTeN tHe bLOw You'vE InvEnteD

bReaThe iN DeEP
anD cLeaNse aWaY Your SiNs
aNd wE'll PraY thAt TheRe's nO GoD
tO pUniSh uS aNd mAke a fUss

CrAcks hEaliNg nOw
FuTure SOul ForGiVe THis MeSS
yOu WastE TweNty YeArS
wiNd uP aLonE dEmenteD

bReaThe iN DeEP
anD cLeaNse aWaY Your SiNs
aNd wE'll PraY thAt TheRe's nO GoD
tO pUniSh uS aNd mAke a fUss

29 October 2008

Selebrasi

Beradaku kini pada titik di mana menyerah adalah sebuah kemenangan besar. Walau aku merasa lari dari masalah, namun pertimbangan terakhir mengatakan ini adalah sebuah perayaan, kemenangan atas keinginan-keinginan kosong yang mendera. Segala hausku, langkah berderap, sudah saatnya menuntut ketenangan. Hingga aku merasa merdeka, saatnya...

24 September 2008

Page One Song

Berikut tiga orang yang menjadi alasan mengapa aku menjadi kagum dengan grup musik asal tanah Elizabeth, MUSE. Kak Pian, Kak Harwan, dan Madi. Tidak sengaja kutemukan tiga kepingan Audio CD (Showbiz, Origin of Symetri, dan Absolution) di dalam CD case milik Kak Pian tidak berapa lama setelah ia pulang dari tanah rantauan, bersama dengan cakra padat milik pesohor-pesohor dunia lainnya. Aku beruntung, karena dua CD pertama sulit ditemukan di Makassar, belum lagi pada masing-masing CD ada lagu special edition yang hanya di rilis di negara asal kakakku membelinya.


Tersangka kedua Ka Harwan, dia sangat menyenangi lagu Unintended. Biasanya aku dan beberapa teman senang memasang lagu paling favorit atau bisa dikatakan lagu yang nakke banget di halaman pertama 'buku harian' kami (hitung-hitung sebagai penghibur ketika langkah kaki sedang goyah. Kala itu, aku masih memasang teks lagu Wake Me Up When September Ends milik Green Day. Akan halnya Madi, aku juga menemukan teks lagu Unintended itu dari buku catatan kuliahnya. Aku penasaran, hingga akhirnya ketika pulang ke Bone, aku segera mencari album Showbiz demi membuktikan sefenomenal apakah lagu itu hingga bisa menggerakkan dua mantan ketua Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi itu, setidaknya sebagai 'pembukaan' catatan harian mereka.
(to be continued...)

15 July 2008

Tentara


hanya ada pengungkapan..., pengingatan....
aku ingat 'hiduplah tanpa banyak keinginan, engkau akan merdeka...'

aku lelah
berlari, berlari, berlari...
aku lelah...sekian lama memelihara hantu-hantu itu

6 July 2008

Santiago

Aku bisa merasakan kesedihan saat ia mengasosiasikan dirinya dengan Santiago, bocah gembala yang bertualang menuju legenda pribadinya. Demikian dirinya, kakakku, teman seperjuanganku ketika ia masih mencetak jejak kakinya di Makassar. Sesuatu yang tidak ia inginkan pasti telah terjadi. Ia mencari semangat dalam diri Santiago, semangat untuk melangkah lagi mencari harta karun itu.

“jika engkau menginginkan sesuatu, semesta alam akan mendengarkan dan bersabda padamu”


kurang lebih seperti itulah pesan yang masih kuingat setelah membaca kisah Santiago dalam Sang Alkemis karya Paulo Coelho. Adalah Kak Harwan yang meminjamkan novel itu pertama kali tiga tahun yang lalu menjelang Idul Adha. Buku itu kemudian beberapa kali berpindah tangan hingga terakhir kali diketahui bahwa buku itu tertinggal di kampung salah seorang teman. Setelah itu tidak ada kabar lagi…

Tidak mengapa karena ternyata novel tersebut dicetak ulang namun dengan kover yang berbeda. Ada keindahan dan nuansa tersendiri memandangi kover sebelumnya. kover seorang ibu yang sedang memandang penuh kasih pada anak di pangkuannya tidak akan kutemukan lagi. Nah, kakakku membaca novel dengan kover mozaik seorang ilmuwan Arab. Aku membeli dua eksemplar, satunya kuhadiahkan untuk Echy. Bertiga kami menuju legenda pribadi kami.

“Tuhan menunjukkan jalan bagi kita menuju mimpi melalui pertanda”.
Aku yakin sepenuhnya dengan sabda itu.

Santiago itu kini telah berada di separuh perjalanan. Kiranya ia telah bertemu Fatima. Namun ternyata masih jauh liku langkah yang akan menyempurnakannya. Meski ia pahami bahwa hanya dengan bertemu dengan Fatima ia akan sempurna. Masih lapang gurun pasir yang ia harus lalui, masih terhampar ribuan pintu yang akan disingkapkan.

Aku kemudian teringat oleh kata-kata Squidword: sejauh apapun melangkah, apa yang kau cari sebenarnya ada dalam dirimu. Aku memahaminya sebagai upaya pencarian dan pengenalan diri. Kebahagiaan hanya bisa diperoleh jika mampu mengenali diri. Harta karun yang Santiago cari ternyata berada tidak jauh dari padang rumput tempat ia biasanya menggembala. Santiago dalam diri kakakku akan terus hidup…

Aku Pulang, Akhirnya...

Salsabila, entah kamar no berapa. Sejak pertama menghuni rumah pondokan tersebut, aku tidak memiliki konsep tentang nomor-nomor kamar yang biasa digunakan di tempat-tempat kos lainnya. Tiga belas November 2005, tidak ada makna mistis atau horror di baliknya. Kuinjakkan kakiku menemui kemandirian di hadapanku yang telah menunggu setelah satu setengah tahun hidup di ‘negeri’ orang.

Kamar No 1, ya katakanlah demikian. Masih ada semacam rasa tidak percaya menjelang tidur di malam pertamaku. Mungkin anda pernah mendengar kalimat ini: tubuh dan jiwa sedang berada di tempat yang berbeda. Kurang lebih itulah yang kurasakan malam itu, bukan sebuah de javu. Aku mengingat ibu dengan segala kekhawatirannya melepasku sendirian. Ingatan yang berdengung keras di kepalaku hingga tak dapat kudengar derit jam dinding berwarna biru yang kubeli bersama ibu sorenya. Tidak, aku tidak merasakan kesunyian. Sebotol lotion anti nyamuk beraroma kulit jeruk membuat nyamuk-nyamuki enggan mendekatiku malam itu hingga malam-malam berikutnya.

Tidak bisa kureka-reka angka untuk membandingkan durasi waktu yang kuhabiskan di dalam dan di luar rumah. Kesibukan (atau sok sibuk) di luar menyita banyak waktuku, hingga ketika pulang, pemandangan yang sama akan kutemui. Piring-piring yang belum dicuci, pakaian-pakaian berserakan di mana-mana, dokumen-dokumen penting bertumpuk tidak beraturan. Pemandangan yang sangat tidak indah. Jika saja saudari ibuku ada di sana, mungkin akan keluarlah makian-makian dan cibiran yang ujung-ujungnya akan mempertanyakan eksistensiku sebagai perempuan.

Aku rindu ingin pulang. Rasa itu akan menerjang dengan beratnya ketika dalam waktu yang lama aku tidak tidur di rumah. Aku memang pulang, tapi hanya untuk mengambil sesuatu entah itu baju ganti atau dokumen-dokumen penting lainnya. Aku rindu ingin terlelap di kasur spring yang telah aus dan kadang menggelitik punggungku. Aku rindu mendengar daeng penjual sayur di pagi hari. Aku rindu menyalakan kompor, memanaskan air, membuat nasi goreng. Aku rindu dengan lemonades, ikan-ikan hias di akuarium kecilku…

Aku pulang…
Kalah oleh kerinduan yang begitu begitu perkasa menggulung dan menyeretku. Aku pulang…kulihat ikan-ikanku masih giat dan aktif bergerak ke sana ke mari, mungkin gelisah oleh habitat airnya telah berubah kuning tanda tak terurus. Aku pulang…aku melihat Matt, Dom, dan Chris tersaput debu menahun.

Aku pulang…berbaring…namun tidak mampu terlelap. Aku mengalami apa yang dikatakan orang-orang: tubuh dan jiwa sedanng berada di tempat yang berbeda. Atau mari kita singkat saja definisi itu dengan keterpisahan.