Aku mencintai November.Selalu cinta. Angin utara membawa hujan dan menumpahkannya di khatulistiwa.Praise the Lord!!!Terpujilah Tuhan. Tumbuhlah segala yang bernyawa. Diberkatilah semesta. Pangeran-pangeran pun bersorak dengan riangnya. Aku langsung rindu November begitu tahun menginjakkan kaki di warsa baru. Aku rindu seperti rinduku pada Rani. Ah, Rani, nama itu terasa begitu sedap di telingaku, merdu, dan lembut melewati pintu inderaku.
Rani lebih tua dua minggu dariku dan ia terpisah jarak tepat 13 tahun dengan sosok pujaan wanita asal Napoli, Italia, Alessandro Del Piero. Ia tersenyum dan tertawa menahan geli ketika kuingatkan tentang hal itu, tiap kali kuucapkan selamat ulang tahun padanya. Dugaanku, semalam ia mengirim ucapan yang sama ke no frenku. Rani tak tahu kalau ternyata telpon selularku sudah tidak bisa digunakan lagi. Namun, dengan mengingat ia lahir di bulan yang sama, aku bahagia tak berkesudahan. Hanya itu yang paling membekas di ingatanku tentang Rani.
Seperti baru kemarin aku merasakan hujan November tahun lalu. Sang waktu berlari dengan begitu cepat dan gesitnya. Lebih cepat dari Lampard, Stoner, Hakkinen, dan ikon-ikon kecepatan lainnya. Jauh melebihi kegesitan jari-jemari jenjang Matthew Bellamy memainkan harmoni nada. Aku ditinggalkan di belakang, terlupakan, terengah-engah lelah berkelahi dengannya.
Lilin telah ditiup, pertanda kesempatanku makin berkurang. Aku tiba-tiba rindu dengan mereka yang pernah menanamkan jejak di rentang 22 tahun usiaku. Mereka yang merasuki dan merayap di tiap pintu-pintu inderaku. Kerinduan itu mengetuk pintu hatiku dengan lembut. Lalu melantunlah lagu Silent Night oleh para Carol Singers seperti di malam Natal.
Hanya ada mereka di gelap malam-malamku, di tiap langkahku yang selalu gontai. Merekalah pijakanku, supporter, pemandu sorak, dan arsitek ulung dalam membangun karakter diriku. Ada bayang-bayang ketakutan yang selalu mengintai, menjelma seperti Tuhan. Ia selalu ada di tiap mata terbuka, udara terhirup, dan telinga yang mendengar. Ia serupa stimulus impulsif yang tidak cukup puas bekerja di alam sadarku. Bisakah aku tanpa kalian, sahabat-sahabatku?
Mengapa manusia mesti meresap unsur malaikat hingga beragam rasa menjadi begitu lembut dan mudah memantik emosi perusak premis-premis logis di kepalaku.
Entah kapan aku bisa lolos dari jebakan ketakutan. Telah habis energiku meladeni perkelahian ini. Lelah memenuhi rongga pernapasanku hingga tidak ada lagi ruang bagi para oksigen. Apakah aku harus berguru pada Peter Petrelli atau Hiro, agar waktu bisa berhenti dan menata satu per satu pengalaman-pengalaman yang mestinya sudah kucerap di masa sebelumnya. Atau cukup meminta wangsit pada Mr Lampard agar dapat kusamai, setidaknya mengejar ritme waktu?
No comments:
Post a Comment