7 April 2014

I was wondering, who asked for the rain to fall in the past three days? Not me, pretty much sure. Like I said in previous post, hardly for me to believe kalo benar-benar hujan. I was not anticipated. Desember sudah berlalu, dan masih beberapa bulan ke depan. Even when I feel it with my bare hands.

Dan bukan hujan yang menahanku di kantor sampai jam segini (19.27). Atasan sedang berada di Jakarta, meeting dengan bos besar. Somehow, kondisi ini memberi saya sedikit waktu untuk menyelesaikan pekerjaan yang mestinya sudah selesai berminggu-minggu lalu. Selain, karena selama ini jika pulang cepat, tiba di kosan saya bisa langsung terkapar sampai pagi. Saya sedang mencoba mengurangi jam tidur. Sejauh ini, kafein berhasil membuat saya terjaga sampai tengah malam.

Deadline daftar ke universitas tujuan sudah makin dekat, saya harus memacu diri sendiri. Target saya, minggu ini sudah bisa selesai. God, I need You walk with my faith. Don't ever let me give up.

By the way, kemarin saya menyempatkan diri menonton film August Osage County, setelah Februari lalu saya membaca review Leila Chudori di Tempo. Film ini mengetengahkan konflik sebuah keluarga di Oklahoma. Meryl Streep berperan sebagai ibu yang menderita kanker mulut. Kemoterapi membuat rambutnya rontok. Suaminya Beverly adalah seorang penulis buku, yang entah karena tidak tahan dengan kata-kata kasar yang sering terlontar dari mulut sang istri memutuskan pergi dari rumah tanpa meninggalkan pesan. Kondisi ini akhirnya membuat anak-anaknya yang selama ini terpencar (dengan kondisi psikologis masing-masing) berkumpul kembali.


Dalam sebuah makan malam, karena Meryl yang tidak bisa diam, satu demi satu rahasia buruk keluarga itu terkuak. Situasi serba kagok dan serba tidak enak menemui klimaks saat Barbara (diperankan oleh Julia Roberts) sang putri sulung menyerang sang ibu saat ia meminta pil yang ia anggap sebagai biang kerok kekasaran ucapan ibunya.  

Kehadiran Meryl Streep, Julia Robert, Chris Cooper, Ewan McGregor, film ini menawarkan kepuasan pada acting para actor kelas Oscar tersebut, no contest. Benedict Cumberbatch adalah opsi subjektif saya untuk menonton film ini. Ben berperan sebagai Charles, putra dari adik perempuan Meryl, yang selalu gugup dan masih dianggap anak-anak oleh ibunya sendiri. Meski perannya hanya sedikit, tapi totalitas Ben tidak diragukan. Untuk sejenak saya melupakan Sherlock yang selama dua bulan ini begitu membekas di kepala. 

Film durasi dua jam ini mengalir tanpa sedetikpun membuat saya bosan. Penonton dibuat penasaran hingga semua rahasia (kebobrokan) masing-masing anggota keluarga terkuak. Stealing scene yang sangat membekas buat saya adalah ketika Julia Roberts, sebelum turun dari mobil menuju pemakaman sang ayah, berpesan kepada anaknya (Abigail Breslin) yang berumur 14 tahun:

"Die after me. Survive... Please!" 

Dari film ini juga, saya mendengarkan lagu Last Mile Home nya Kings of Leon yang menjadi soundtrack. Nampaknya akan masuk ke playlist kalo saya pulang ke Bone. 

"I suppose in the end, the whole of life becomes an act of letting go, but what always hurts the most is not taking a moment to say goodbye."
Dari film Life of Pi, salah satu film yang dialognya tidak ada yang sia-sia. Dan dari semua dialognya yang mumpuni, kuot di atas yang berhasil membuat saya menitikkan air mata sampai akhir film diputar dan lampu bioskop nyala kembali.

Buat yang masih punya kesempatan untuk mengucapkan Good Bye, do it, cause regret is eternal. 
Just heard that they cancelled Sao Paolo show due to illness. Miss them though. Benedict has distracted me so much, said Dwi. Hahaha. Falling away with You will always be my savior. A living proof that I had best memory in college back in years ago.

Get well soon life ruiners. Lets burn house down again!



Ajaibnya rangkaian huruf bisa menyimpan kenangan. I found this “manuscript” while I was looking for absen masa kuliah (dwi once asked me). Tidak ada tanggalnya, tapi merujuk pada siapa sy tujukan dan nama-nama yang ada di dalamnya, I wrote this around May 2001, setelah Ebtanas SMP. Padahal saya termasuk orang yang tidak pernah lupa menulis tanggal kalo sedang coret-coret. Untuk seorang teman, namanya Ade, di wajahnya sedikit ada raut ras Arya, lengkap dengan bintik2 yang banyak di temui di wajah-wajah org kuit putih. 

As far as I can remember, surat ini ditulis setelah dia tidak mengajak saya bicara hampir setahun lamanya, dan sampai sekarang saya tidak pernah tahu apa alasannya. Sejak tamat SMA (ya kami satu sekolah lagi, beda kelas) kami hanya bertemu sekali, di Makassar saat saya masih kuliah. Mungkin memang benar adanya, terkadang satu kejadian bisa mengubah segalanya. Things wont be the same, pretty much I heard belakangan ini. 

Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan tentang saya saat ini. Saya juga tidak tahu kini ia ada di mana. Mungkin sudah menikah, punya anak, settling down. He’s one of a remarkable person I’ve ever met. Maybe I ever hurted him tanpa saya sadari. Kata maaf sudah saya ucapkan tapi itu 13 tahun lalu and I don’t know if it’s still relevant. Anyway Ade, wherever you are, you’re my best friend. 

Membaca kembali surat ini, aku bisa membayangkan rautmu, in blue hat that smile yang membuat cewek2 bisa tidak tidur hahaha. Tiba-tiba saja aku ingin seperti dirimu. I may wasted you, now it is my turn and losing you is some kind sweet thing to remember. I want him to remember you like I remember you and become someone I can never hate. 

CAUTION: Tidak ada editing, semua seperti yang tertulis di kertas. Tertawa sekeras-kerasnya diperbolehkan pada saat dan/atau setelah membaca surat ini. Shame on me. This is definitely a self-humiliating moment

Assalamualaikum wr.wb

Dear Ade, 

Hai apa kabarnya, De. Baek aja khan. 

Aku ingin mengucapkan terima kasih yg sebesar-besarnya karena kau udah mau ngejak aku bicara lagi.  Tadinya aku kira kamu akan membenciku selamanya. Jujur aja ya De, selama kamu marah ama aku, aku jadi sedih, dan kehilangan kamu. Kesepian dech. Kamu ingat nggak awal2 kamu mulai jaga jarak ama aku, setiap aku ketemu kamu aku berharap kamu mau bicara tapi nyatanya nggak. Kamu cuekin aku, aku jadi sedih sekali. Kenapa kamu mesti ambil tindakan kayak githu. Kalau memang kamu punya masalah, jangan marah kayak githu donk. Aku kan gak enak sama kamu. 

Nah, lanjut. Untuk menghilangkan kesedihanku, aku coba dekat ama wawank IIID tapi ternyata dia udah punya tunangan. Aku kecewa. Aku langsung nggak mau lagi dekat ama dia. Tambah dekat ama dia hanya bikin aku tambah sedih. Kamu tau donk gimana rasanya kehilangan sahabat yang kita sayangi. Eh, aku mau nanya ama kamu. Waktu kita nggak pernah komunikasi, kamu merasa kehilangan aku nggak. Kamu nggak rindu sama aku yach? Kalau aku sich iya (GR)

So, sewaktu kamu udah baik lagi ama aku, aku jadi seneng banget. Sahabat yang aku kira udah ngelupain aku ternyata kembali lagi. Suer, aku bahagia banget jadi aku minta sama kamu supaya jangan benci aku lagi, cukup sekali aja aku kamu buat sedih dan lonely seperti dulu. 

Okey, kamu kan lebih tua dari aku. Nah, kalau kamu nggak keberatan, kamu mau nggak jadi kakakku. Soalnya dua kakak kandungku akan pergi dari rumah untuk belajar. Kak Fian (1) pergi ke Jakarta bulan Juli nanti dan Kak Accang (2) akan pergi ke Makassar buat kuliah. Aku jadi nggak punya kakak lagi di rumah. Aku ingin kamu jadi kakakku yang baik. Aku harus menghormati kamu karena kamu lebih tua dari aku. Kamu 15-5-85, aku 23-11-86, kamu udah 16 taon, aku masih 14 taon. Tua kamu kan. 

Eitt, satu lagi. Kenapa baru sekarang kamu jujur sama aku. Terus kalau memang demikian kenapa kamu enggak mau ngajak aku bicara kurang lebih satu taon. 

Dan apakah kamu yakin kalau Asmi nggak punya perasaan apa-apa sama kamu. Itulah masalahnya, aku nggak mau nanti dia marah. Kami sahabat akrab lho. I wish I could give you a hug. I miss you so much, I don’t wanna lose you again. Udah yach, kamu cakep dech…

Emma

Oh God, it’s embarrassing.  Hahaha. 

Surat ini tidak pernah terkirim, by the way. At least this reminds me quite a lot of how I was. Ternyata saya sudah tahu arti hug, and, the most hurting one ‘lose’. Yeah, best thing about school, is when you learn to let go. People met, laughing crying altogether, and finally left, and to meet again indeed in the future. And just like Avril Lavigne said, whatever’s meant to be will work out perfectly.  Jika Tuhan memberiku kesempatan untuk bertemu lagi, guess it will be a lovely gift.

4 April 2014

Matt,

You said that everything was not lost. Katamu cinta tidak pernah pergi. Hanya mungkin,... mungkin ia tertutupi hal-hal lain, atau ia berada di sudut-sudut hati, terbaikan atau terlupakan. Dan saat cinta 'kecil' itu pergi, si empunya hati baru menyadarinya.

"Only know you loved her when you let her go..." Potongan lirik lagu yang terputar di kepalaku belakangan ini. Entah saat tiba-tiba pikiran kosong, lagi angkot, jelang tidur. Funny isn't it, when we're apart but our mind is figuring the same thing.

It was raining today. It was odd only. Di awal April yang mestinya mulai kemarau, hujan tiba-tiba di sore hari, seperti sedang berilusi saat menyaksikan jalan-jalan yang basah dan bintik-bintik air di jendela kantor. The sky brought December earlier. And what always happened, hujan selalu bisa membawa kenangan yang jauh terasa dekat. I miss those moments, hal-hal sentimental yang jika kuceritakan pada orang lain (mungkin kamu juga), mereka akan menertawakanku.

He surprised me, not just this time. His hands on my shoulders. Like nothing really happened before, like I've never been hurt, karena semuanya terasa berhenti dan begitu singkat. He never knew, maybe that's the reason I can never hate him.

My best friend said, selalu akan ada orang yang tidak bisa kita benci, seberapa besar pun kesalahannya, seberapapun sakit dibuatnya. Hal yang tidak pernah kusangka akan kualami dan kuyakini, bahkan saat pertama kami bertemu. Mungkin seperti kata Ipang, hingga waktu beranjak pergi, kau mampu hancurkan hatiku. Well, the same thing I wish go to him too one day.

I love him, even if he doesn't know it...

3 April 2014

More Molly stuff...

Sherlock: But you can see me.
Molly: I don't count...

Me: *ngejleb* *banting mikroskop*

1 April 2014

Not really in my mood to write, but I must post this. Can't put till tomorrow to let you read this :D She's my new crush, a girl with a name as in toilet. Karena dia menulis, she has a blog, put her email adress on it, but most important: she is Molly of Sherlock. Ladies and gentlemen, I give you Louise Brealey. We, fans, fancy call her Loo.

Tapi, saya akan lebih menyukai Molly...

Terima kasih untuk Mark Gatiss dan Steven Moffat yang telah menghadirkan karakter baru dalam franchise Sherlock. Karakter manis yang menurut saya adalah kunci dan garam di serial ini. Yeah, Sherlock admitted it.

Jika selama ini, keberanian dan potensi keliaranku tergambar dalam karakter Alice di Closer (2004), maka keraguan, keluguan, kesendirian, penerimaan akan 'kekejaman' oleh objek cinta melekat erat pada diri Molly, and it reflects me no better way.

Here are some scenes I grabbed... I feel I've never been so Molly :)

There are moments, saat kita ingin sekali merasa berarti bagi orang yang paling kita kasihi, namun begitu sadar bahwa kita bisa saja tidak berarti. Meski chance untuk dicintai balik sangat kecil, at least dengan membantunya sudah bisa membuat lega dan segala usaha menjadi sepadan. Molly akhirnya memberanikan diri menyatakannya pada Sherlock, meski dia merasa tidak berarti. She knew what to do.

Oh, Molly. That look. I've been there many times. Masa saat apa yang kita dengarkan adalah kebenaran yang kita nantikan sekian lama, dan saat terungkap, keadaan telah berbeda.

This... When the best thing could ever happen is to look him walking away....

Masih banyak adegan lainnya. But I could never think of anything else but me, everytime I replay them.