Iqko,
Tadi malam saya nonton How I Met Your Mother season 1 (finally, nemu juga). Episode Halloween. One of the best things about HIMYM, beside the plot itself, adalah soundtrack jelang akhir tiap episode. Guess whose song at that Halloween episode that almost made me cry? None other than Nadasurf, Inside of Love. Huaaa. It could have meant nothing kalo moment adegannya tidak tepat. But that's the beauty of it, adegannya pas. Goosebumped as the scene fade out.
Made me remember our college days hahaha. Melow deh. Setting serialnya 2005. Jadi masih fresh-fresh nya lagu itu ya. Mungkin nuansanya beda kalo nontonnya pas saat itu juga. But, as Ted believe in timing, last night maybe the perfect time for me to watch it.
Guess that's all I can share. Good luck with your paper.
Emma
16 April 2015
Tiba-tiba ingin posting tentang kardus. Hmmm...
Bagi perantau, kardus memegang peranan penting dalam menyangga kehidupan selama jauh dari kampung halaman. Entah sebagai tempat cemilan buatan mama dan hasil bumi lainnya sebagai bekal selama berada di tempat baru. Selama tinggal di Makassar, saat kuliah, hampir setiap pulang dari Bone ke Makassar, mama mencarikan kardus. Selalu saja ada yang beliau ingin saya bawa. Dari keripik pisang, tape ketan hitam, rambutan, pizza buatan kakakku, sukun, atau lauk kesukaan adikku. Kadang saat saya bersikeras untuk tidak membawa apa-apa, beliau cuma bilang "ya, kasih ke teman-teman kantor atau teman kos". Truly, teman-teman di kantor selalu bersemangat kalau saya bilang mau ke Bone.
Tapi ada satu kisah mengharukan bagi saya sehubungan dengan kardus. Dua semester awal kuliah, saya dan kakakku tinggal di rumah keluarga mama di bilangan Daya. Di rumah itu saya menempati kamar yang sangat layak. Spring bed, jendela (tidak bisa tinggal di kamar yg tidak ada jendelanya), dan lemari besar tiga pintu vertikal. Masalahnya, ketiga pintu lemari itu terkunci. There I was, dengan pakaian di tas, dan ransum dari Bone.
Menjalani kuliah dari hari ke hari, peralatan sedikit demi sedikit juga bertambah. Hingga akhirnya tas pakaian tidak muat lagi. Karena segan meminta kunci pada pemilik rumah, jadilah kardus tempat oleh-oleh dari Bone menjelma tempat baju, berdampingan dengan kardus lain yang jadi tempat buku-buku dan peralatan kuliah. Hiks. Kalo ingat masa-masa itu, miris saja. Entah karena orang rumah yang tidak memberikan kunci salah satu lemari atau karena 'kemalasan' saya meminta kunci. Heuheuheu...
But it was such a long ago. Di kos sekarang juga menyediakan satu lemari besar di tiap kamar :D Dan rumah di Daya? Saya meninggalkan rumah penuh kenangan itu tepat setelah Ramadhan 2005 untuk selanjutnya memulai hidup sebagai anak kos hingga hari ini.
Bagi perantau, kardus memegang peranan penting dalam menyangga kehidupan selama jauh dari kampung halaman. Entah sebagai tempat cemilan buatan mama dan hasil bumi lainnya sebagai bekal selama berada di tempat baru. Selama tinggal di Makassar, saat kuliah, hampir setiap pulang dari Bone ke Makassar, mama mencarikan kardus. Selalu saja ada yang beliau ingin saya bawa. Dari keripik pisang, tape ketan hitam, rambutan, pizza buatan kakakku, sukun, atau lauk kesukaan adikku. Kadang saat saya bersikeras untuk tidak membawa apa-apa, beliau cuma bilang "ya, kasih ke teman-teman kantor atau teman kos". Truly, teman-teman di kantor selalu bersemangat kalau saya bilang mau ke Bone.
Tapi ada satu kisah mengharukan bagi saya sehubungan dengan kardus. Dua semester awal kuliah, saya dan kakakku tinggal di rumah keluarga mama di bilangan Daya. Di rumah itu saya menempati kamar yang sangat layak. Spring bed, jendela (tidak bisa tinggal di kamar yg tidak ada jendelanya), dan lemari besar tiga pintu vertikal. Masalahnya, ketiga pintu lemari itu terkunci. There I was, dengan pakaian di tas, dan ransum dari Bone.
Menjalani kuliah dari hari ke hari, peralatan sedikit demi sedikit juga bertambah. Hingga akhirnya tas pakaian tidak muat lagi. Karena segan meminta kunci pada pemilik rumah, jadilah kardus tempat oleh-oleh dari Bone menjelma tempat baju, berdampingan dengan kardus lain yang jadi tempat buku-buku dan peralatan kuliah. Hiks. Kalo ingat masa-masa itu, miris saja. Entah karena orang rumah yang tidak memberikan kunci salah satu lemari atau karena 'kemalasan' saya meminta kunci. Heuheuheu...
But it was such a long ago. Di kos sekarang juga menyediakan satu lemari besar di tiap kamar :D Dan rumah di Daya? Saya meninggalkan rumah penuh kenangan itu tepat setelah Ramadhan 2005 untuk selanjutnya memulai hidup sebagai anak kos hingga hari ini.
14 April 2015
Must admit that the past two weeks I spent watching How I Met Your Mother series. Yeah, semacam telat banget karena serial ini sebenarnya sudah tamat tepat setahun lalu. Saat itu nontonnya cuma sepotong-sepotong, di rumah Were kalo kebetulan saya nginap di sana. Pertama kali nonton langsung jatuh cintanya sama karakter Robin Scherbatsky (yes, yg quote nya jadi header blog ini). Cantiknya itu lho, semacam dewi-dewi Yunani yang turun ke bumi. Tahun lalu, saya ingat, tepat hari Paskah juga, saya dan Eby nonton maraton di Star Movie special Easter Day.
Barulah awal bulan ini, saya meniatkan menonton dari season pertama sampai terakhir. Sayangnya, tempat langganan dvd belum punya season satu, jadi saya lompat ke season 7, 6, 5. Hahahah. Pilihan tepat karena menurut saya, di sanalah puncak semua konflik (jka bisa dikatakan demikian, karena saya merasa gang itu lebih fun dengan masalah-masalah mereka). Season 2,3,4 juga sudah selesai (Gee, selamat datang insomnia).
Dan belum pernah saya selalu ingin cepat pulang dari kantor menyelesaikan episode demi episode. Pulang dari Palopo kemarin saya bela-bela balik ke kantor dulu ambil laptop biar bs nonton hahahhah.
What makes me love them? Plot penuh kejutan, ya. Karakter kuat, ya. Dialog jauh dari preaching, ya. Konflik tidak cheesy, ya. Sisi terbodoh yang bisa dilakukan seseorang demi meraih apa yang diinginkan, ya. Robin, ya. Ted Mosby? Ya ya. Changed my life? No better answer than: 100 percent.
Why Robin? Karena doski finally bisa move on *waduh
Why Ted? Karena doski tidak bisa bedakan fisik dan emosionalnya, sometimes makes him look so stupid... just like Emma, which is me by the way *lari ke pojokan
Over all, dari semua karakter, sebenarnya yang paling kuat adalah Barney. Saya jamin tanpa karakter womanizer dan dramatisasinya itu, serial ini akan biasa-biasa saja.
Well, itu saja dulu yang bisa saya share saat ini. Masih ada tiga season (1,8,9). Ini nontonnya harus pelan-pelan. I mean, what am I gonna do with my life kalo sudah nonton season finale nya huaaaa *ala2 Barney*
See you soon,
Emma
Barulah awal bulan ini, saya meniatkan menonton dari season pertama sampai terakhir. Sayangnya, tempat langganan dvd belum punya season satu, jadi saya lompat ke season 7, 6, 5. Hahahah. Pilihan tepat karena menurut saya, di sanalah puncak semua konflik (jka bisa dikatakan demikian, karena saya merasa gang itu lebih fun dengan masalah-masalah mereka). Season 2,3,4 juga sudah selesai (Gee, selamat datang insomnia).
Dan belum pernah saya selalu ingin cepat pulang dari kantor menyelesaikan episode demi episode. Pulang dari Palopo kemarin saya bela-bela balik ke kantor dulu ambil laptop biar bs nonton hahahhah.
What makes me love them? Plot penuh kejutan, ya. Karakter kuat, ya. Dialog jauh dari preaching, ya. Konflik tidak cheesy, ya. Sisi terbodoh yang bisa dilakukan seseorang demi meraih apa yang diinginkan, ya. Robin, ya. Ted Mosby? Ya ya. Changed my life? No better answer than: 100 percent.
Why Robin? Karena doski finally bisa move on *waduh
Why Ted? Karena doski tidak bisa bedakan fisik dan emosionalnya, sometimes makes him look so stupid... just like Emma, which is me by the way *lari ke pojokan
Over all, dari semua karakter, sebenarnya yang paling kuat adalah Barney. Saya jamin tanpa karakter womanizer dan dramatisasinya itu, serial ini akan biasa-biasa saja.
Well, itu saja dulu yang bisa saya share saat ini. Masih ada tiga season (1,8,9). Ini nontonnya harus pelan-pelan. I mean, what am I gonna do with my life kalo sudah nonton season finale nya huaaaa *ala2 Barney*
See you soon,
Emma
6 April 2015
Subscribe to:
Posts (Atom)