Entah bagaimana aku harus membalas kebaikannya hari ini. Di kantor ini, ia orang pertama yang mengatakan aku berbakat menulis. tulisanku di blog ini mengingatkannya pada Jane Austen. Penulis roman "Pride and Prejudice". Belum pernah kubaca, tapi aku berjanji, sebagai bentuk terima kasih, akan kucari buku itu, membacanya sambil menduga-duga di mana kira-kira kemiripan itu. Jika ia berkenan mendengarkanku sekali lagi.
Hari ini ia menjadi terapisku, ditinggalkannya jarum rajut dan benang yang seolah sudah jadi bagian dari tangannya selama ini, hanya untuk mendengarkan kalimatku yang terpatah-patah, tidak terstruktur, terbata-bata, melompat dari satu tema ke tema lainnya. Hingga jam makan tiba, pandangan dan posisi tubuhnya tidak sedikitpun menjauh dariku. Ia seperti sedang menyimak cerita/dongeng paling menarik di dunia hingga ia tidak bergeming.
Ruang kerjanya adalah tempat pelarianku, saat kepenatan mulai melanda, saat orang-orang di ruanganku intonasi suaranya makin meninggi seiring berlalunya jam demi jam. Aku suka mejanya, tidak kaku, benang rajut di mana-mana, sebuah jam unik seperti yang pernah kulihat dalam video klip Warning nya Green Day, buku-buku tertata rapi salah satunya terselip kumpulan drama Shakespeare dan kamus tebal dengan kertas yang menguning terbitan Oxford, serta sebuah radio digital yang selalu disetel ke frekuensi stasiun radio yang hanya memutarkan lagu dalam negeri. Terkadang, setiap berlabuh di sana, aku merasakan sebuah dimensi lain, merasakan rumah.
"Tumben tidak cari koran lagi", celetuknya membuyarkan lamunanku saat menatap kapal dan laut dari jendela dekat mejanya. Tadinya aku mau meminjam telpon, sudah seminggu line telpon di ruanganku tidak berfungsi. Ketika ia mulai bertanya apakah aku baik-baik saja, dan saat aku baru akan menjawab iya, aku tahu dia tidak akan percaya. People just cant hide their eyes... And sometimes people just looking for that one simple question: are you alright?
28 June 2013
21 June 2013
14 June 2013
Lisan
Kalau tidak salah, aku pernah membaca kalimat di sebuah buku yang kubaca di akhir-akhir masa kuliahku. Di lembaran itu tertulis: "bahkan dengan kata-kata pun manusia sanggup bertahan hidup...". Aku termasuk orang yang percaya dengan kalimat ini. Sebuah kata dapat mengubah isi kepala bahkan seluruh hidup seseorang. Dan berbahagialah yang masih sanggup berlisan, yang dengannya ia dapat memasukkan kebahagian di hati orang yang mendengarnya, meneduhkan hatinya, meredam amarahnya. Kata-kata yang terucap hanya terdengar di dunia ini. Karena di sebuah tempat yang dituju semua manusia, kata akan tidak memiliki arti...
Lantai 19, hampir Isya, menunggu macet reda, sambil dengar Sixpence None The Richer
Lantai 19, hampir Isya, menunggu macet reda, sambil dengar Sixpence None The Richer
13 June 2013
Aku membaca pesan itu dua jam setelah engkau mengirimkannya. Engkau pasti kelelahan terjaga sampai dini hari. Entah, membaca isinya seperti membaca sebuah kalimat perpisahan, seperti sebuah pertanda yang menunggu terjadi. Semoga ini hanya kekhawatiranku yang kadang berlebihan. I hope I was wrong. Lord, save me and him from my weaknesses.
In case you read this, I just missed you...
In case you read this, I just missed you...
Dini hari tadi, aku terbangun oleh tangisan Ara. Hujan deras turun sejak tadi malam. Hujan yang membuatku terlelap lebih cepat dari malam-malam sebelumnya, meninggalkan Dwi dan Ka Yusran suaminya larut dalam cerita dan tawa silih berganti. Berada di dekat mereka, aku seperti berada di rumah, pembicaraan-pembicaraan yang selalu kurindukan dan telah lama hilang dalam keseharianku.
Ara menangis, meronta, sesekali menarik kerah baju atau mencoba mengangkat ujung bajuku. Tangisnya membuatku terjaga sesaat. Aku memeluknya dan ia mengucapkan No...! No...! berkali-kali. Usianya hampir dua tahun. Tadi malam, saat aku tiba di Sudiang, ia sudah terlelap di pelukan ibunya. Mungkin karena alasan itu, ia tidak mengenalku dan malah mengira aku ibunya. Ia minta nenen... Ara oh Ara... Ibu dan ayahnya akhirnya ikut terjaga, menarik tubuh Ara yang tidak mau lepas dariku. Jari-jarinya menempel erat seperti laba-laba, hewan favoritnya.
Ara sudah tenang didekap Dwi, aku melanjutkan mimpi yang terpotong. Hujan tidak membiarkanku terjaga lebih lama, Kondisi yang sangat beresiko sebenarnya, karena esoknya harus ke kantor lebih pagi. Kekhawatiranku benar, aku salah perhitungan. Dari Sudiang ke kantor butuh setengah jam tambahan dari durasi perjalanan Alauddin-kantor selama ini. Telat lagi tiba di kantor... Padahal baru kemarin sore, atasanku mengirimkan pesan meminta kami untuk lebih disiplin.
Dwi akan berangkat ke Baubau, katanya Kak Yusran sudah sangat rindu kampung halaman. Aku menyempatkan diri ke Sudiang. Sekedar bertemu, bercerita sejenak tentang rambutnya yang baru saja di-smoothing, menyambung kisah tentang Athens yang belum selesai-selesai sejak ia kembali menginjakkan kaki di sini. Namun sisa energiku tidak cukup menemaninya sampai larut. Aku tertidur dengan remote tivi di tanganku.
Ara menangis, meronta, sesekali menarik kerah baju atau mencoba mengangkat ujung bajuku. Tangisnya membuatku terjaga sesaat. Aku memeluknya dan ia mengucapkan No...! No...! berkali-kali. Usianya hampir dua tahun. Tadi malam, saat aku tiba di Sudiang, ia sudah terlelap di pelukan ibunya. Mungkin karena alasan itu, ia tidak mengenalku dan malah mengira aku ibunya. Ia minta nenen... Ara oh Ara... Ibu dan ayahnya akhirnya ikut terjaga, menarik tubuh Ara yang tidak mau lepas dariku. Jari-jarinya menempel erat seperti laba-laba, hewan favoritnya.
Ara sudah tenang didekap Dwi, aku melanjutkan mimpi yang terpotong. Hujan tidak membiarkanku terjaga lebih lama, Kondisi yang sangat beresiko sebenarnya, karena esoknya harus ke kantor lebih pagi. Kekhawatiranku benar, aku salah perhitungan. Dari Sudiang ke kantor butuh setengah jam tambahan dari durasi perjalanan Alauddin-kantor selama ini. Telat lagi tiba di kantor... Padahal baru kemarin sore, atasanku mengirimkan pesan meminta kami untuk lebih disiplin.
Dwi akan berangkat ke Baubau, katanya Kak Yusran sudah sangat rindu kampung halaman. Aku menyempatkan diri ke Sudiang. Sekedar bertemu, bercerita sejenak tentang rambutnya yang baru saja di-smoothing, menyambung kisah tentang Athens yang belum selesai-selesai sejak ia kembali menginjakkan kaki di sini. Namun sisa energiku tidak cukup menemaninya sampai larut. Aku tertidur dengan remote tivi di tanganku.
Subscribe to:
Posts (Atom)