Sudah Jumat lagi. April berlalu begitu cepat, serasa baru kemarin mengadu ke Dwi kalo April, the cruelest month sudah di depan mata. Aku masih di kantor saat menuliskan ini, jam 17.36, teman-teman kantor sudah pulang, sisa security yang memeriksa semua ruangan, mengunci pintu dan menurunkan tirai jendela. Deru mesin AC masih terdengar, tadi seisi ruangan mengeluh karena freonnya rusak lagi, suhu sudah disetel 16 derajat tapi kami masih kegerahan. Dari laptopku, "Sudah" lagu lama namun abadi milik Ahmad Band sengaja kupasang biar mood menulis yang setahun ini buron entah ke mana bisa kutemukan kembali.
Jumat, kata orang adalah saat baik untuk berdoa. Aku meyakini sepenuhnya, Jumat adalah hari pertama yang diciptakan Tuhan. Kepercayaan pun berkembang, bahwa apa yang pertama kali terjadi di hari Jumat akan mendatangkan kebaikan. Tak jarang pula banyak yang meng-kramatkannya, apalagi hari ini tanggal 13, Friday 13th!
Sejak bekerja di tempat ini, setiap hari Jumat aku akan tinggal lebih lama, sampai matahari tenggelam. Ruangan ini menawarkan pemandangan strategis untuk menggalau, di ketinggian Makassar aku bisa menikmati matahari tenggelam di laut kapanpun aku mau, kecuali jika cuaca sedang mendung. Hujan terakhir turun di kota ini tanggal 4 April lalu, saat sahabatku Echy menikah. Tampaknya musim akan segera berganti tidak lama lagi.
Akhir bulan lalu, aku harus istirahat sepekan lamanya, kata dokter aku kena gejala tipes. Alhamdulillah tidak sampai tahap tipes, Tuhan masih memberiku kekuatan. Selama tujuh hari, aku hidupku berpola, meringkuk di kamar kos yang panasnya bukan main di siang hari, menonton tivi, menelpon adik minta dibelikan makan meski nafsu makan hilang, lalu konsumsi obat pereda sakit dan multivitamin. Hari ke empat, telpon selulerku berbunyi, dengan sisa kekuatan aku bangkit dari kasur dan menggapainya. Tubuhku yang lemas makin lemah ketika melihat nama yang tertera di layar.
Mataku tidak beralih dari layar memastikan nomor itu, sampai aku benar-benar yakin itu dirinya. Aku merebahkan badan, telpon kusimpan di tempat semula, masih berdering. Aku memejamkan mata, bayangan itu pun berkelebat bersamaan dengan seiris perih yang kuanggap sudah musnah. Kenapa menelpon? Pertahananku runtuh, kisah itu tanpa diminta ditayangkan kembali oleh memoriku.
Padahal aku bisa mengadu padanya tentang keadaanku, bercerita banyak hal seperti yang selalu ingin kulakukan… Hanya, semua sudah terlambat. Kata-katanya bukan lagi energon yang memberi hidup, kini ia adalah racun mematikan. Hari ini kudapati kenyataan, mengapa ia mencariku setelah sekian lama pergi tanpa pamit. Aku melihatnya, ia tidak melihatku, ia tidak tahu aku sedang memandangnya, selalu lebih baik begitu perlakuan kita pada orang yang tidak mungkin dicintai.
Ada doa yang terjawab, keikhlasan itu telah berbuah manis, aku sudah bisa memaafkannya. Terkadang aku lupa jika pernah kehilangan dirinya… Dan sudah bukan namanya lagi yang kuselipkan dalam doaku, ketika memandang matahari yang telah tenggelam separuh, kala Jumat yang Agung berlabuh di samudera barat sana.
2 comments:
forgiven but not forgotten...
pedis euy!
Post a Comment