Di tingkat lima-belas dia dan saya turun. Dia membelok ke kiri, dan saya ke kanan. sebelum berpisah, dia menanyakan nomor apartemen saya. Seharusnya saya juga menanyakan nomor apartemennya. Entah mengapa saya hanya berkata, "Saya tidak mengira bahwa sampean juga tinggal di gedung ini". Nada saya tolol.Dan lebih tolol lagi, saya tidak memancing supaya dia mengatakan namanya. Nama Olenka, sebetulnya saja, baru saya ketahui setelah saya bertemu dengan dia beberapa kali.
Setelah peristiwa ini berlalu, saya sering melihat dia menunggu bis, duduk di bangku taman, atau berbaring-baring di padang rumput. Dia selalu membaca buku. Sambil membaca dia selalu mengunyah kacang, kue, sandwich, atau apel. kadang-kadang dia juga menggigit-gigit rumput atau kuku jarinya sendiri. Karena dia tidak pernah menoleh ke tempat lain, saya tidak berani menegur. Kalau bis datang dia langsung menutup buku, kemudian naik. Dan di dalam bis dia langsung membaca lagi. Andaikata saya mempunyai kesempatan untuk menegur, mungkin dia tidak tahu siapa saya. Dari semua gerak-geriknya saya menarik kesimpulan bahwa dia sudah lupa siapa saya.
....
saya pikir, satu-satunya jalan untuk melepaskan diri dari bayangan Olenka adalah berusaha menghindarinya. Tapi saya tidak dapat. Hampir setiap kali saya menunggu bis, dia juga sedang di sana. Setiap kali saya berjalan-jalan dia taman, dia kebetulan sedang duduk di salah satu kursi yang saya lewati. dan setiap kali saya berolahraga lari melintasi padang rumput, dia kebetulan juga sedang menjemur diri di sana. Hanya saya heran, mengapa saya tidak pernah melihat dia di Tulip Tree, gedung raksasa yang memuat ratusan apartemen, termasuk apartmentnya dan apartment saya. Memang dia sering menunggu bis di depan Tulip Tree, tapi saya tidak pernah melihat dia keluar atau masuk gedung ini.
....
Mungkin dia isteri seseorang, tapi saya tidak pernah melihat dia bersama laki-laki. Dan saya tidak yakin cincin apa yang dipakainya. Mungkin yang dipakainya cincin kawin, mungkin juga tidak.
Kesimpulan saya hanyalah, dia mempunyai dunia sendiri. Dalam dunianya dia tidak pernah berbicara dengan orang lain, tidak mau ditegur, dan tidak mau mengusik. Inilah Olenka di luar rumah. Bagaimana dia di dalam rumah, saya tidak tahu.
Ini adalah salah satu petikan 'episode' dalam novel Olenka karya Budi Darma. Saya sangat menyenangi bagian ini, di mana Fanton Drummond, sang narator cerita yang sedang mengalami fenomena 'Zahir', sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Paulo Coelho untuk menggambarkan kondisi manusia yang sedang memikirkan seseorang. Fanton yang baru saja bertemu Olenka, tiba-tiba dipenuhi pikiran tentang perempuan itu, hingga ke mana pun ia menatap, ia selalu merasa 'menemukan' imaji Olenka. Di taman, di dalam bus, di padang rumput, di mana saja.
tadi malam saya membuka-buka lagi novel ini, salah satu novel favorit saya selain Cala Ibi milik Nukila Amal dan The Dublinners karya James Joyce. Saya senang dengan novel-novel yang tidak menitik-beratkan pada alur cerita, saya tertarik dengan kisah-kisah yang menggambarkan kegamangan, keraguan, perenungan, kesatiran, pertarungan keyakinan tokoh-tokoh di dalamnya. Olenka adalah salah satunya...
1 comment:
gara-gara postingan ini saya jaid mau baca Olenka dan The Zahir...Thanks ya Kakak Hit Girl ^^
Post a Comment