Seminggu sebelum launching The Resistance di bulan September warsa lalu, saya sudah bisa mendengarkan album terakhir milik Muse, sebuah grup pe-band asal Inggris. Ke-12 lagu yang lebih sering saya dengar lewat media hape itu saya peroleh melalui sebuah situs penyedia link download beragam jenis file digital. link itu lalu saya share lagi ke beberapa teman di facebook yang telah menanti album ini sejak lama. Saya memilih via message agar lebih private, mengingat ada juga orang-orang yang kadang parno berbagi file secara terang-terangan di dunia maya.
Benar saja, alangkah kagetnya saya ketika salah satu diantara mereka membalas pesan itu. isinya berupa ucapan terima kasih diiringi penolakan halus tidak akan mengunduh file itu "saya tunggu legalnya saja". waduh, berarti tindakan saya tidak ilegal dong. okelah kalo begitu. saya membalasnya lagi dengan kalimat singkat 'ok, I appreciate it', daripada harus berdebat panjang dengannya. Pengalaman ini cukup memberi warning bagi saya, betapa sebuah tindakan di dunia maya dapat dinilai berdasarkan pemahaman nilai yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Tapi benarkah tindakan saya atau siapa pun yang mengunduh gratis bisa disebut tidak illegal? Maaf jika dalam tulisan ini, kesannya saya ingin mencari pembenaran dari tindakan saya itu, hehe…
Sebagaimana yang kita mafhum, internet merupakan media konvergen, peleburan beberapa jenis media ke dalam satu bentuk. suara, gambar, teks menjadi satu. Nonton berita, olah raga, video klip, mendegarkan radio online yang dulu terbatas jatah frekuensi, sudah bisa dihadirkan secara global. Ini kemudian mengancam media mainstream yang selama ini mengandalkan audiens yang tersegmen secara geografis. Belum lagi jika membahas posisi audiens dalam menangani dan menyikapi gempuran isi media tersebut.
Boleh jadi media konvensional terbahak-bahak melihat audiens yang tidak berdaya dalam aliran infomasi yang sifatnya satu arah. Demikian pula konten media yang berasal dari pihak ketiga, dalam hal ini media bertindak sebagai distributor produk hiburan macam film, musik, dsb. Dalam perspektif manajemen siaran, saluran TV yang menyiarkan produk tersebut mesti membayar royalti kepada industri kreatif sebagai produsen yakni label dan musisi yang bernaung padanya.
Menarik jika akhirnya kita melihat media online sebagai media penyiaran, khususnya ketika berbicara mengenai file-sharing. Kemudian muncul pertanyaan, apakah ‘hukum’ royalti di atas juga berlaku pada media online itu? Bagaimana status file-file yang berlalu lalang pada layar di hadapan kita yang pada tataran dunia fisik mestinya bernilai mahal dan tidak boleh dibagi gratis? Menarik untuk melihat siapa yang mesti bertanggung jawab terhadap praktek pembajakan yang sering dikecam oleh pelaku industri kreatif.
Masih ada kalangan yang kerap mengkambinghitamkan end users sebagai pihak harus terus dinasehati agar tidak melakukan pembajakan dan tidak mengunduh file tidak berbayar alias gratis. Saya kemudian jadi teringat dengan satu posting Lily Allen di akun Myspace-nya perihal keberatannya terhadap praktek illegal downloading yang menimpa karyanya. Menurut Lily, selain merugikan bagi musisi yang telah berjerih payah, jika praktik ini terus berlangsung, kualitas musik negara asalnya, Inggris, bisa-bisa akan menurun. (Blog Lily Allen dapat dilihat di sini, khusus postingan mengnai pandangannya terhadap file sharing tertanggal 16 sep 09).
Lily sebetulnya tidak perlu panik, ia juga tidak boleh menyalahkan end user dari berbagai belahan dunia yang dianggap telah mencaplok lahan penghasilannya. Matthew Bellamy, sahabatnya yang juga frontman Muse, pada kolom komentar postingan itu, menawarkan cara pandang terhadap distribusi hasil karya melalui media online yang tidak terjamah hukum industri kreatif, yakni dengan melihat dunia maya sebagai media siar baru. Broadband makes the internet essentially the new broadcaster. This is the point which is being missed, sebut Matthew.
Jika industri musik populer berbicara mengenai produser, distributor, dan konsumer, maka ISP sebagai penyedia broadband berada pada posisi distributor, sama halnya dengan saluran TV yang menayangkan video klip musik. Dalam tata aturan yang mengikat mereka media konvensional, saluran TV itu mesti membayar hak kepada pelaku industri kreatif tersebut, termasuk musisi yang menghasilkan karya seperti Lily Allen.
Dalam ranah jagad maya, jika menerapkan konsep ini, maka yang mesti membayar royalti adalah ISP tersebut karena bertindak penyedia broadband hingga menjadi saluran. bukan end users yang selama ini dikecam oleh Lily dan musisi-musisi lain yang kontra. Jadi protocol-lah yang harus bayar pajak tiap kali ada file yang diunduh oleh users, yang telah memungkinkan upload data yang besar-besaran dan sebaliknya download data tersebut secara gratis. (selengkapnya mengenai pendapat Matthew Bellamy tentang file sharing dapat dilihat di sini)
Meski pada akhirnya, menurut Matthew apabila ini sistem pajak ini diberlakukan, ISP akan membebankannya lagi pada pembeli bandwidth. unjung-ujungnya pasti akan berimbas pada tagihan online end user. warnet akan jadi lebih mahal, paket data dari operator seluler juga akan melambung. Namun itulah industri, hukum untung rugi dan balik modal dijunjung tinggi.
Namun setidaknya dengan perspektif ini melahirkan pandangan baru dalam melihat praktek file-sharing. Saya sepaham dengan Matthew, bahwa file-sharing telah menjadi sebuah norma. Ia anak dari teknologi yang memberi ruang baginya. Bagi saya pribadi kehadiran media macam Youtube sangat membantu menggali artefak masa lalu yang tidak bisa saya saksikan langsung sebelum ia terkubur oleh masa.
Saya tidak perlu lagi menonton MTV Classic berharap video Back for Good-nya Take That diputar kembali. Videonya sudah saya download dan bisa saya lihat kapan saja lewat handphone. Begitu juga dengan album The Resistance, sebelum lagunya diputar di radio dan video klipnya ditayangkan di TV, sebagian besar fans Muse, termasuk saya, sudah mengangguk-nganggukkan kepala dengan headset mp3 di telinga mereka.
Jadi mengapa loyalitas fan mesti diukur dari seberapa asli cakera padat yang kita dengarkan., dari seberapa sabar kita menanti produk aslinya keluar? bagi saya ada cara lain menghargai hasil karya mereka selain itu. Kesuksesan musisi dilihat dari seberapa ia memberi dampak dan menggerakan orang-orang lewat karya mereka. Lily, aku tetap mencintai dan mengagumi senandung lagumu.
Sengkang, 20 Februari 10
Benar saja, alangkah kagetnya saya ketika salah satu diantara mereka membalas pesan itu. isinya berupa ucapan terima kasih diiringi penolakan halus tidak akan mengunduh file itu "saya tunggu legalnya saja". waduh, berarti tindakan saya tidak ilegal dong. okelah kalo begitu. saya membalasnya lagi dengan kalimat singkat 'ok, I appreciate it', daripada harus berdebat panjang dengannya. Pengalaman ini cukup memberi warning bagi saya, betapa sebuah tindakan di dunia maya dapat dinilai berdasarkan pemahaman nilai yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Tapi benarkah tindakan saya atau siapa pun yang mengunduh gratis bisa disebut tidak illegal? Maaf jika dalam tulisan ini, kesannya saya ingin mencari pembenaran dari tindakan saya itu, hehe…
Sebagaimana yang kita mafhum, internet merupakan media konvergen, peleburan beberapa jenis media ke dalam satu bentuk. suara, gambar, teks menjadi satu. Nonton berita, olah raga, video klip, mendegarkan radio online yang dulu terbatas jatah frekuensi, sudah bisa dihadirkan secara global. Ini kemudian mengancam media mainstream yang selama ini mengandalkan audiens yang tersegmen secara geografis. Belum lagi jika membahas posisi audiens dalam menangani dan menyikapi gempuran isi media tersebut.
Boleh jadi media konvensional terbahak-bahak melihat audiens yang tidak berdaya dalam aliran infomasi yang sifatnya satu arah. Demikian pula konten media yang berasal dari pihak ketiga, dalam hal ini media bertindak sebagai distributor produk hiburan macam film, musik, dsb. Dalam perspektif manajemen siaran, saluran TV yang menyiarkan produk tersebut mesti membayar royalti kepada industri kreatif sebagai produsen yakni label dan musisi yang bernaung padanya.
Menarik jika akhirnya kita melihat media online sebagai media penyiaran, khususnya ketika berbicara mengenai file-sharing. Kemudian muncul pertanyaan, apakah ‘hukum’ royalti di atas juga berlaku pada media online itu? Bagaimana status file-file yang berlalu lalang pada layar di hadapan kita yang pada tataran dunia fisik mestinya bernilai mahal dan tidak boleh dibagi gratis? Menarik untuk melihat siapa yang mesti bertanggung jawab terhadap praktek pembajakan yang sering dikecam oleh pelaku industri kreatif.
Masih ada kalangan yang kerap mengkambinghitamkan end users sebagai pihak harus terus dinasehati agar tidak melakukan pembajakan dan tidak mengunduh file tidak berbayar alias gratis. Saya kemudian jadi teringat dengan satu posting Lily Allen di akun Myspace-nya perihal keberatannya terhadap praktek illegal downloading yang menimpa karyanya. Menurut Lily, selain merugikan bagi musisi yang telah berjerih payah, jika praktik ini terus berlangsung, kualitas musik negara asalnya, Inggris, bisa-bisa akan menurun. (Blog Lily Allen dapat dilihat di sini, khusus postingan mengnai pandangannya terhadap file sharing tertanggal 16 sep 09).
Lily sebetulnya tidak perlu panik, ia juga tidak boleh menyalahkan end user dari berbagai belahan dunia yang dianggap telah mencaplok lahan penghasilannya. Matthew Bellamy, sahabatnya yang juga frontman Muse, pada kolom komentar postingan itu, menawarkan cara pandang terhadap distribusi hasil karya melalui media online yang tidak terjamah hukum industri kreatif, yakni dengan melihat dunia maya sebagai media siar baru. Broadband makes the internet essentially the new broadcaster. This is the point which is being missed, sebut Matthew.
Jika industri musik populer berbicara mengenai produser, distributor, dan konsumer, maka ISP sebagai penyedia broadband berada pada posisi distributor, sama halnya dengan saluran TV yang menayangkan video klip musik. Dalam tata aturan yang mengikat mereka media konvensional, saluran TV itu mesti membayar hak kepada pelaku industri kreatif tersebut, termasuk musisi yang menghasilkan karya seperti Lily Allen.
Dalam ranah jagad maya, jika menerapkan konsep ini, maka yang mesti membayar royalti adalah ISP tersebut karena bertindak penyedia broadband hingga menjadi saluran. bukan end users yang selama ini dikecam oleh Lily dan musisi-musisi lain yang kontra. Jadi protocol-lah yang harus bayar pajak tiap kali ada file yang diunduh oleh users, yang telah memungkinkan upload data yang besar-besaran dan sebaliknya download data tersebut secara gratis. (selengkapnya mengenai pendapat Matthew Bellamy tentang file sharing dapat dilihat di sini)
Meski pada akhirnya, menurut Matthew apabila ini sistem pajak ini diberlakukan, ISP akan membebankannya lagi pada pembeli bandwidth. unjung-ujungnya pasti akan berimbas pada tagihan online end user. warnet akan jadi lebih mahal, paket data dari operator seluler juga akan melambung. Namun itulah industri, hukum untung rugi dan balik modal dijunjung tinggi.
Namun setidaknya dengan perspektif ini melahirkan pandangan baru dalam melihat praktek file-sharing. Saya sepaham dengan Matthew, bahwa file-sharing telah menjadi sebuah norma. Ia anak dari teknologi yang memberi ruang baginya. Bagi saya pribadi kehadiran media macam Youtube sangat membantu menggali artefak masa lalu yang tidak bisa saya saksikan langsung sebelum ia terkubur oleh masa.
Saya tidak perlu lagi menonton MTV Classic berharap video Back for Good-nya Take That diputar kembali. Videonya sudah saya download dan bisa saya lihat kapan saja lewat handphone. Begitu juga dengan album The Resistance, sebelum lagunya diputar di radio dan video klipnya ditayangkan di TV, sebagian besar fans Muse, termasuk saya, sudah mengangguk-nganggukkan kepala dengan headset mp3 di telinga mereka.
Jadi mengapa loyalitas fan mesti diukur dari seberapa asli cakera padat yang kita dengarkan., dari seberapa sabar kita menanti produk aslinya keluar? bagi saya ada cara lain menghargai hasil karya mereka selain itu. Kesuksesan musisi dilihat dari seberapa ia memberi dampak dan menggerakan orang-orang lewat karya mereka. Lily, aku tetap mencintai dan mengagumi senandung lagumu.
Sengkang, 20 Februari 10
No comments:
Post a Comment