28 September 2014

Dwi,

Hari Minggu ini saya masuk kantor. Bukan permintaan atasan, tapi karena saya harus menyelesaikan tugas. Enam hari terakhir saya menemani seorang teman yang tiba-tiba kena stroke saat akan berangkat ke kantor. Dia senior di kantor, jadi kami lebih sering memanggilnya dengan 'Abah'. Sampai saya menuliskan ini, ia masih terbaring, ditidurkan, dengan selang-selang terpasang di tubuhnya. Kata dokter, jika pengaruh biusnya habis, ia bisa mendengar suara dan merasakan sentuhan pembesuk yang kebetulan datang.

Hanya sesekali aku masuk ke sana (aku mulai kecanduan aroma alkohol antiseptik tangan jika ingin masuk), dibanding salah seorang keluarganya yang jika jam besuk habis, ia akan masuk membacakan Surah Yasin. Terakhir tadi malam aku menemani anak sulung Abah. Sebelumnya, agar emosi tidak menjadi-jadi, ia sudah terlebih dahulu diberitahu oleh ibunya. Namun itu tidak cukup membendung emosi yang datang setiap saat melihat kondisi abah.

Dan air matalah yang mengeratkan pelukan. Aku keluar saat ibunya masuk, katanya ingin bertiga saja. Aku menatap dari balik dinding kaca. Beberapa suster tampak sibuk dengan rutinitas harian mereka, menulis catatan-catatan, menatap monitor, membersihkan tubuh pasien.

Pasien silih berganti, dan tiada hari berlalu menunggu dokter jaga datang tanpa melihat anggota keluarga pasien menangis di dekat pintu masuk.Dan pemandangan yang selalu mengharukanku, setiap melintas di kamar sebelah Abah, ketika ada yang mengangkat tangan, merapalkan doa sambil memejamkan mata. (Have you questioned, why we close our eyes when we're saying prayers or even, when people kissing?)

Selalu damai melihat orang berdoa. Merasakan harapan bersemi di hati mereka. Saat kedirian sudah habis digantikan kepasrahan. Hari pertama Abah masuk UGD Awal Bros dari RS Wahidin, istrinya yang selalu kudampingi tidak henti-hentinya merapal istighfar. Sekelilingnya seolah sudah hilang. Tangan yang satu memegang tasbih, tangan lainnya mengusap air mata. Aku ingin sering-sering melihat orang berdoa, agar hilang kesombongan ini Dwi. Semoga Tuhan menunaikan harapan istri Abah.

Tadi malam, saat menghibur anaknya yang tidak berhenti menangis, ia mengatakan kalimat yang membuat air mata yang sejak tadi kutahan, jebol juga:

"Sudah garisnya seperti ini, Nduk. Ga boleh ngeluh dengan kehendak Allah."

Katanya hidup ini adalah untuk menjalani peran, apapun yang menjadi kehendakNya. Even if we disagree from the moment we were born. Beliau selalu mengingatkanku dan dirinya sendiri mostly, "Allah ga pernah ngasih cobaan di luar kemampuan kita dek, berarti ibu bisa ya karena dikasih cobaan kayak gini."

From that moment, dengan semua yang sudah kusaksikan dalam seminggu ini, aku melihat begitu banyak pengorbanan, kerelaan, keikhlasan, ketulusan... Kata Kak Rahe suatu hari, jika mulai tidak bersyukur dengan kehidupanmu, datanglah ke rumah-rumah sakit. Greater pains are there.

Semoga Allah mengabulkan doa yang terucap dengan napas tersengal karena air mata, doa yang diucapkan dengan mata terpejam tanpa suara, semoga semua pengorbanan bermuara kembali kepadaNya. Dan pada akhirnya kita pahami bahwa tidak ada yang hilang. Semua datang dariNya dan akan kembali padaNya.

I still miss you, btw



Emma

No comments: