Setiap pagi sebelum ia berangkat kerja dengan Yamaha tangki merah klasik milik-nya, ia biasa biasa mengangkat lalu meletakkan dua kakiku di atas kedua kakinya. Lalu kedua tanganku ia tarik ke atas. Jadilah aku seperti boneka puppet yang bisa ia gerakkan ke mana-mana. Kakiku melangkah mengikuti kakinya terseret. Sesekali jika lelah, aku melilitkan kedua tangan ke lututnya.
Kami mengitari ruang tamu dan ruang tivi yang menyatu. Tiap kali melangkah ia melafalkan sesuatu dalam bahasa asing, ia memintaku agar mengikutinya, aku tidak tahu maksud dan artinya. Pada akhirnya aku hapal dengan kalimat-kalimat itu, sampai hari ini aku masih ingat. Jika ia sudah bosan dengan adegan boneka-boneka itu, ia akan mulai menggendong, lalu berpura-pura akan melemparku keluar rumah lewat jendela kayu rumah kami.
Saat itu aku masih sangat kecil, tapi ingatan tentang ini tidakbisa cepat kulupakan karena sudah mengendap di otak belakang. Tawanya, rasa bahagianya ketika bermain-main dengan satu-satunya anak perempuan di keluarga yang ia hidupi. Itulah saat-saat di mana ia benar-benar menjadi ayah yang lengkap dengan kehadiran sang anak.
Namun, sang waktu telah mencuri masa-masa bahagia itu. Aku beranjak besar, jarak itu makin nyata. Jarang sekali ia berbicara, sekedar menjaga hubungan ayah dan anak. Ia adalah ayah sulit menunjukkan kasih sayang lewat tutur yang lembut. Kata-kata yang ia keluarkan terkadang keras hingga sulit kami pandang dengan bingkai cinta. Ia bukanlah sosok "ayah-ayah" di cerita-cerita tv masa kecilku.
Ia adalah tembok yang kokoh. Sorot matanya sudah menunjukkan suasana hati. Yang kutahu tentang dirinya hanya jam berangkat kerja, jam pulang kerja, jam tidur, koran yang sering ia baca, minuman yang ia teguk di pagi dan sore hari, dan sebuah cerita yang kutahu dari seorang guru di SMP yang pernah menjadi teman sekolahnya. Katanya ayah di sekolah sangat cerdas. Cerita serupa kudapat dari ibu. Karena sesuatu hal, ayah tidak dapat melanjutkan sekolah ke SMA. Perjalanan akademisnya terhenti sampai di situ.
Sampai kini, menurut cerita ibu, masih ada secercah sesal mengapa ia tidak bisa melanjutkan sekolah. Saat itu ia tidak berdaya. Tapi yang paling menyedihkan hatiku adalah, setiap kali ia menceritakan hal itu pada ibu, ia pasti menitikkan air mata jika tidak dua bola itu memerah. Lalu ia akan berandai-andai, seandainya...seandainya..., pasti hidupnya dan keluarganya akan lebih baik dari sekarang. Oh, ingin sekali aku berkata, kenapa mesti kalimat itu, tidak ada yang salah dengan hidup kami selama ini.
Tidak banyak pengalaman bersama yang aku alami dengannya. Hari demi hari kami lalui, semua pembicaraan yang harus melibatkannya aku lakukan dengan perantara ibuku yang sabar. Kadang aku merasa ia terlalu keras, kadang aku benci, dan terkadang pula aku tidak mau melihatnya. Aku jadi buta dan tidak mau tahu dengan kesepian yang mulai menjangkiti hari-harinya yang makin tua.
Selama enam tahun, lima tahun di antaranya menyelesaikan S1, aku tidak tinggal bersama ayah dan ibu layaknya sebuah keluarga. Tiap kali berkunjung ke rumah selama dua-tiga hari, terkadang malah aku tidak sempat bertemu dengannya. Ia berangkat terlalu pagi dan aku bangun terlalu kesiangan. Jika ia pulang, aku mungkin sedang berada di rumah kakakku. Terakhir kali aku pulang ke rumah, aku sempat bertemu. Ketika panther sedang menunggu, aku memohon pamit setelah mencuri pandang ke arahnya. Baru aku tahu, sebagian besar kumisnya telah memutih.
Pagi tadi ia menelponku, bertanya tentang sebuah rencana yang sedang kususun. Masih dengan suara kerasnya yang khas, ia mengucapkan kekhawatiran dengan rencana itu. Namun ada yang membuatku sedih hingga sulit menceritakannya pada orang lain. Ia berusaha merendah dengan menyinggung pengalaman masa lalu yang selalu membuatnya menitikkan air mata. Ia tidak berusaha menghalangi rencana itu, dengan berkata: "saya tahu, cara saya berpikir tidak sejauh cara berpikirmu sekarang, tapi kau harus tetap hati-hati..." Ia seakan ingin menegaskan, ia hanya lulusan SMP sementara anaknya ini bisa lulus S1. Hatiku meringis mendengarnya.
Tiba-tiba saja aku mengingat semua dosa-dosa masa lalu, hingga akhirnya sadar aku belum melakukan apa-apa yang mampu membahagiakannya, yang membuatnya tersenyum jika ia menyinggung namaku di depan kerabatnya. Tiba-tiba aku menjadi anak durhaka yang sombong melangkah tanpa meminta persetujuannya.
Ia mengucapkannya dengan terbata-bata dan pada nada suaranya yang lain ia merendahkan volume pada saat bertanya apakah aku akan melanjutkan sekolah lagi. Mataku memerah dan tidak sanggup lagi membendung rasa bersalah yang membuncah menjadi tetesan-tetesan kecil bergelantungan pada bulu-bulu mata.
Aku tidak pernah bermaksud melecehkan posisinya, aku hanya ingin membuatnya bangga. Ia salah ketika mengutuki dirinya tidak bisa lebih dari sekarang. Padahal apa yang kuraih hari ini adalah karena dirinya. Bukankah seorang guru yang berhasil adalah ketika muridnya lebih baik dari sang guru. Jika aku bisa sampai pada titik ini, adalah karena didikan dan nafkah yang ia peroleh dengan membanting tulang dan memerah keringat tiap hari, karena kecintaannya yang sering aku salah mengerti, karena kasih sayangnya yang tidak pernah bekerja menurut caraku. Dan aku akan selalu bangga padanya.
Dua malam yang lalu, aku membaca Surah Al Kafirun di rakaat pertama setelah Fatihah. Tiba-tiba aku mendengar suara seseorang melebihi suara berbisikku membaca ayat-ayat. Itu suaranya, ketika membaca surah itu yang selalu ia lafalkan setelah fatihah di rakaat pertama shalat Magrib. Dulu waktu kecil aku sering menjadi makmum di belakangnya. Betapa dekatnya ingatan tentang ia dan surah itu.
Dan dalam doaku yang singkat malam itu, aku mengucapkan kalimat yang dulu ia ajarkan padaku kala bermain-main sebelum ia berangkat bekerja, menempuh jarak 20 kilo dengan motor Yamaha tangki merahnya. Rabbighfirlii wa liwaali daiya warhamhumaa kamaa rabbayaaani shaghiraa...
Kami mengitari ruang tamu dan ruang tivi yang menyatu. Tiap kali melangkah ia melafalkan sesuatu dalam bahasa asing, ia memintaku agar mengikutinya, aku tidak tahu maksud dan artinya. Pada akhirnya aku hapal dengan kalimat-kalimat itu, sampai hari ini aku masih ingat. Jika ia sudah bosan dengan adegan boneka-boneka itu, ia akan mulai menggendong, lalu berpura-pura akan melemparku keluar rumah lewat jendela kayu rumah kami.
Saat itu aku masih sangat kecil, tapi ingatan tentang ini tidakbisa cepat kulupakan karena sudah mengendap di otak belakang. Tawanya, rasa bahagianya ketika bermain-main dengan satu-satunya anak perempuan di keluarga yang ia hidupi. Itulah saat-saat di mana ia benar-benar menjadi ayah yang lengkap dengan kehadiran sang anak.
Namun, sang waktu telah mencuri masa-masa bahagia itu. Aku beranjak besar, jarak itu makin nyata. Jarang sekali ia berbicara, sekedar menjaga hubungan ayah dan anak. Ia adalah ayah sulit menunjukkan kasih sayang lewat tutur yang lembut. Kata-kata yang ia keluarkan terkadang keras hingga sulit kami pandang dengan bingkai cinta. Ia bukanlah sosok "ayah-ayah" di cerita-cerita tv masa kecilku.
Ia adalah tembok yang kokoh. Sorot matanya sudah menunjukkan suasana hati. Yang kutahu tentang dirinya hanya jam berangkat kerja, jam pulang kerja, jam tidur, koran yang sering ia baca, minuman yang ia teguk di pagi dan sore hari, dan sebuah cerita yang kutahu dari seorang guru di SMP yang pernah menjadi teman sekolahnya. Katanya ayah di sekolah sangat cerdas. Cerita serupa kudapat dari ibu. Karena sesuatu hal, ayah tidak dapat melanjutkan sekolah ke SMA. Perjalanan akademisnya terhenti sampai di situ.
Sampai kini, menurut cerita ibu, masih ada secercah sesal mengapa ia tidak bisa melanjutkan sekolah. Saat itu ia tidak berdaya. Tapi yang paling menyedihkan hatiku adalah, setiap kali ia menceritakan hal itu pada ibu, ia pasti menitikkan air mata jika tidak dua bola itu memerah. Lalu ia akan berandai-andai, seandainya...seandainya..., pasti hidupnya dan keluarganya akan lebih baik dari sekarang. Oh, ingin sekali aku berkata, kenapa mesti kalimat itu, tidak ada yang salah dengan hidup kami selama ini.
Tidak banyak pengalaman bersama yang aku alami dengannya. Hari demi hari kami lalui, semua pembicaraan yang harus melibatkannya aku lakukan dengan perantara ibuku yang sabar. Kadang aku merasa ia terlalu keras, kadang aku benci, dan terkadang pula aku tidak mau melihatnya. Aku jadi buta dan tidak mau tahu dengan kesepian yang mulai menjangkiti hari-harinya yang makin tua.
Selama enam tahun, lima tahun di antaranya menyelesaikan S1, aku tidak tinggal bersama ayah dan ibu layaknya sebuah keluarga. Tiap kali berkunjung ke rumah selama dua-tiga hari, terkadang malah aku tidak sempat bertemu dengannya. Ia berangkat terlalu pagi dan aku bangun terlalu kesiangan. Jika ia pulang, aku mungkin sedang berada di rumah kakakku. Terakhir kali aku pulang ke rumah, aku sempat bertemu. Ketika panther sedang menunggu, aku memohon pamit setelah mencuri pandang ke arahnya. Baru aku tahu, sebagian besar kumisnya telah memutih.
Pagi tadi ia menelponku, bertanya tentang sebuah rencana yang sedang kususun. Masih dengan suara kerasnya yang khas, ia mengucapkan kekhawatiran dengan rencana itu. Namun ada yang membuatku sedih hingga sulit menceritakannya pada orang lain. Ia berusaha merendah dengan menyinggung pengalaman masa lalu yang selalu membuatnya menitikkan air mata. Ia tidak berusaha menghalangi rencana itu, dengan berkata: "saya tahu, cara saya berpikir tidak sejauh cara berpikirmu sekarang, tapi kau harus tetap hati-hati..." Ia seakan ingin menegaskan, ia hanya lulusan SMP sementara anaknya ini bisa lulus S1. Hatiku meringis mendengarnya.
Tiba-tiba saja aku mengingat semua dosa-dosa masa lalu, hingga akhirnya sadar aku belum melakukan apa-apa yang mampu membahagiakannya, yang membuatnya tersenyum jika ia menyinggung namaku di depan kerabatnya. Tiba-tiba aku menjadi anak durhaka yang sombong melangkah tanpa meminta persetujuannya.
Ia mengucapkannya dengan terbata-bata dan pada nada suaranya yang lain ia merendahkan volume pada saat bertanya apakah aku akan melanjutkan sekolah lagi. Mataku memerah dan tidak sanggup lagi membendung rasa bersalah yang membuncah menjadi tetesan-tetesan kecil bergelantungan pada bulu-bulu mata.
Aku tidak pernah bermaksud melecehkan posisinya, aku hanya ingin membuatnya bangga. Ia salah ketika mengutuki dirinya tidak bisa lebih dari sekarang. Padahal apa yang kuraih hari ini adalah karena dirinya. Bukankah seorang guru yang berhasil adalah ketika muridnya lebih baik dari sang guru. Jika aku bisa sampai pada titik ini, adalah karena didikan dan nafkah yang ia peroleh dengan membanting tulang dan memerah keringat tiap hari, karena kecintaannya yang sering aku salah mengerti, karena kasih sayangnya yang tidak pernah bekerja menurut caraku. Dan aku akan selalu bangga padanya.
Dua malam yang lalu, aku membaca Surah Al Kafirun di rakaat pertama setelah Fatihah. Tiba-tiba aku mendengar suara seseorang melebihi suara berbisikku membaca ayat-ayat. Itu suaranya, ketika membaca surah itu yang selalu ia lafalkan setelah fatihah di rakaat pertama shalat Magrib. Dulu waktu kecil aku sering menjadi makmum di belakangnya. Betapa dekatnya ingatan tentang ia dan surah itu.
Dan dalam doaku yang singkat malam itu, aku mengucapkan kalimat yang dulu ia ajarkan padaku kala bermain-main sebelum ia berangkat bekerja, menempuh jarak 20 kilo dengan motor Yamaha tangki merahnya. Rabbighfirlii wa liwaali daiya warhamhumaa kamaa rabbayaaani shaghiraa...