30 September 2013

Saat si Adek Sakit

Waking up with sunshine on my face...

Jumat, Eby, Imel -sekretaris baru di kantor-, dan aku sedang makan bakso di pinggiran gedung BNI saat pesan teksnya masuk ke hapeku. Ia bertanya aku sedang di mana, ia memintaku untuk ke kamarnya, ia demam sejak paginya dan belum turun. Aku menghabiskan makananku segera, Eby memintaku untuk tidak menunggunya selesai.

Laptop dan chargernya kutinggal di meja karena kupikir akan kembali lagi setelah membawa adikku ke dokter. Tiba di kosan, adikku masih ogah dibawa ke dokter, katanya sudah minum paracetamol seperti yang kusarankan sebelum aku meninggalkan kantor. Jadi aku menunggu sampai obatnya bekerja.

Hingga jam 4 sore, demamnya belum turun juga. Aku memutuskan memanggil taksi, bermaksud membawanya ke dokter Hendrik, dokter langganan Echy. Kami menunggu agak lama sampai dokternya siap memeriksa. Di ruang periksa, dokternya tersenyum saat aku bilang adik inilah yang selalu mengantarku check up selama ini. Wheel was turning haha, sekarang giliranku yang harus mengantar.

Hasil diagnosa: infeksi usus. Mungkin dia kelelahan atau salah makan atau tidak teratur makan. Sudah hampir sebulan ia kembali menjalani rutinitas sebagai anak kuliahan. Dokter memintanya untuk makan bubur saja beberapa hari ini. Sambil menunggu obat dari apoteker, aku menghubungi sekuriti agar mengamankan laptop dan barang-barangku yang ketinggalan. Untuk kesekian kalinya aku melewatkan sunset Jumat dari kantor. Saat menunggu taksi pulang, langit sudah gelap.

Sebenarnya, aku tidak berniat menelpon mama dan bapak, tidak ingin membuat mereka khawatir. Selama masih rawat di rumah, semua akan baik-baik saja. Tapi adikku memaksa. Mamaku malah berencana ke Makassar keesokan harinya. Setelah menenangkan dan meyakinkan kalau si adik sudah bisa sembuh setelah minum obat, akhirnya ia menunda keinginannya itu.

Tanpa persiapan apa-apa, aku menginap di kamar adikku, dengan pakaian kantor yang belum kuganti. Kamarku dekat tapi semua bajuku ada di rumah Eby di Alauddin, tempatku berdiam selama kurang lebih enam bulan terakhir ini.

Terkadang menyenangkan juga bisa sedikit menjauh dari rutinitas kantor. Kata seorang teman, beberapa bulan kemarin, pikiranku terlalu penuh dengan pekerjaan. Ia menyarankan untuk mencari kegiatan lain. Buatku, mungkin harus mencari celah supaya bisa kabur sejenak. Dua hari berada di tempat adikku, di tengah-tengah suasana kosan yang juga pernah kujalani, aku menghirup udara yang berbeda, matahari yang berbeda, orang-orang yang berbeda. Mendengarkan lagu-lagu lama peninggalan kakakku yang masih tersimpan di komputer di kamar adikku. Menonton trilogi The Lord of The Ring versi extended, yang satu film bisa sampai 3,5 jam. Awalnya cuma mau nonton Fellowship of the Ring, tapi ternyata lanjut ke dua film berikutnya. Kami tertidur saat Gondor diserang pasukan Sauron.

That was the longest sleep ever since I worked.... 

I woke up as I felt sunshine on face through the window. Hal pertama yang kulakukan, meraba dahi adikku. Panasnya sudah reda. Prediksi dokter tepat, hari Minggu, suhu badannya akan normal kembali. Lega, mamaku tidak harus menyusul kami. Si adik masih harus makan bubur. Kali ini ia sudah bisa duduk menyalakan laptop, memutar lagu-lagu Linkin Park yang masih kuhapal sampai hari ini.

Pukul 10, temanku Ridho memenuhi janji untuk membantuku pindah....

19 September 2013

"My heart is a pen in your hand, it is all up to you to write me happy or sad. I see only what you reveal and live as you may. All my feelings have the color you desire to paint. From beginning to the end, no one but you. Please make my future better than the past..."
Seperti arti matahari untuk Clark Kent, demikian syair Rumi ini bagiku. Seperti air bagi pejalan yang kehausan, cahaya bagi yang terjerembab gelap.

To You, I surrender my soul my dear Lord...

18 September 2013

Dwi,

Aku membaca twit pagimu saat dalam perjalanan pete-pete ke kantor. Eby, teman tinggalku hampir setengah tahun terakhir ini, tadi pagi berangkat duluan karena aku telat bangun, sementara tetangga sebelah yang selalu berbaik hati memberi kami tumpangan ke kantor sudah siap-siap berangkat.

Katamu engkau sedang rindu...

Aku pernah menulis status facebook, long ago, kalau konsekuensi terberat dari cinta bukanlah cemburu, tapi rindu... atau bahasa lainnya kehilangan. Aku teringat sebuah perbincangan dengan Echy tentang arti harfiah "I miss you". Kalau tidak salah, hari itu dia kita todong menjelaskan karena dia baru saja tiba dari Arizona, jadi bahasa Inggris nya masih fresh :D

Dan aku sempat tertegun waktu dia berkata, 'miss' itu harfiahnya 'kehilangan'. Engkau juga pasti ingat kalau kita pernah sepakat frase ini terdengar lebih indah dan merdu sekaligus menyakitkan dari ungkapan cinta itu sendiri. Itulah mengapa aku 'benci' jika misalnya ada yang berkata rindu padaku, because I knew how painful it was to miss somebody. Seseorang tidak berbohong ketika ia mengucapkan rindu, I believe it.

Lalu aku membaca twitmu selanjutnya: "menunggu putus" dengan tautan instagram. Filenya tidak bisa dibrowse dari IP kantor :(( tapi jika aku tidak salah, engkau pernah posting di blog tentang sebuah gelang, yang jika putus, keinginanmu akan terkabul. Ya kalau tidak salah tebak, pasti tentang gelang itu kan hahha.

Dwi, harus aku sampaikan, salah satu hal menyenangkan tentangmu adalah keyakinanmu pada hal-hal yang disebut Alice di Closer "beyond comprehension", yang di luar pemahaman dan hanya bisa dijangkau dengan keyakinan itu. Suatu saat, aku berjanji, akan mengabadikanmu dalam karakter kisah fiksiku :))

Please dont get mad as I say "I miss you". Derajat 'kehilangan' dalam persahabatan kita ini tidak akan pernah melampaui 'kehilangan' yang lain. I miss our conversations, tentang cerita yang mungkin terjadi di masa depan, bagaimana kisah saling bertaut, and those other things beyond comprehension.

Sincerely,

Emma

13 August 2013

Sabda

"Janganlah sebuah kesalahan menghilangkan kasih sayang di antara kalian..."
Salam alaika ya Rasulullah..

Potongan sabda ini tertulis di halaman pertama catatan kuliah semester tiga. Masih saya simpan sebagai kenang-kenangan atas masa yang menandainya. Mungkin karena hampir serupa, ingatan tiba-tiba membawa saya kepada pesan ini....

Untuk ketiga kalinya saya membeli buku Haidar Bagir "Islam, Risalah Cinta dan Kebahagiaan". Duanya saya hadiahkan untuk teman, sementara satunya lagi saya beli beberapa hari jelang Idul Fitri, saya niatkan untuk kakakku. Saya sendiri baru sebatas skimming read, baca lintas lalu dan saya rasa sudah cukup sebelum saya berikan. Namun saat sedang kepak barang untuk mudik, saya membuka-buka lagi dan akhirnya memutuskan tidak membawanya ke Bone. Saya lebih membutuhkannya setelah semua yang terjadi dua bulan terakhir. I need some strength...

Dan kata cinta selalu cukup, meski rindu selalu melemahkan dan terkadang melahirkan ego yang melawan cinta itu sendiri.

9 July 2013

Bertemu Budi Darma

Makassar, 25 November 2012

Untuk pertama kalinya saya komplain dengan cuaca hari ini yang tidak menentu. Mendung di timur, terang benderang di barat. Hujan rintik sebentar, lalu hujan besar, lalu turun level jadi gerimis. Masalahnya adalah saya membawa paper bag untuk salah seorang penulis favorit yang akan kutemui hari ini. Untung saja saya membawa payung jadi resiko basah-basahan bisa dikurangi.

Kabar mengenai kedatangan Budi Darma saya peroleh dua hari lalu dari junior saya: Riana, Meike, dan Nita. Ada semacam gathering penulis Indonesia, Budi Darma salah satu peserta yang turut hadir. Hati saya rasanya mengembang sampai ke sudut-sudut. Huaaaa… saya harus bertemu dengannya. Saya langsung mengontak Nita yang kini ternyata telah bekerja sebagai wartawan di salah satu media lokal dan bertugas meliput kegiatan ini. Kami berjanji bertemu di Hotel Aston, tempat di mana para penulis berkumpul sebelum menuju Fort Rotterdam. 

Budi Darma adalah penulis novel Olenka, satu-satunya novel bahasa Indonesia yang kubaca hingga berkali-kali. Seperti menengguk obat dan berharap manjur menghilangkan sakit, seperti itulah Olenka bagiku. Novel Olenka adalah salah satu pain killer ampuh. Menyadari bahwa ada sebagian diriku yang hidup dalam karakter Olenka, Fanton Drummond, dan Wayne Danton.

Lobi hotel ramai saat aku tiba. Rasanya sudah tidak konsen saat menitipkan payungku yang basah. Pandanganku menyapu isi lobi dan akhirnya menemukan Nita sudah bersamanya. Sosoknya tiada memperlihatkan kerentaan di usianya yang sudah menginjak 75 tahun. Ia berjalan sendiri, langkahnya mantap saat menenteng travel bag, tanpa tongkat. Sebagian rambutnya telah memutih.

Begitu mendapatkan kesempatan, saya lalu mengobrol dengannya sambil mengeluarkan novel Olenka milikku. Saya seperti melakukan verifikasi, mempertemukan apa yang saya baca langsung dengan pengarangnya. Wah saya sampai gemetar. Bertemu langsung dengan ‘pencipta’ Olenka. Yang saya baca kalau sedang sedih, yang kisahnya telah menemani dan membantu saya melewati masa-masa sulit selama ini. 

Ia lalu menceritakan bagaimana inspirasi menulis Olenka, seperti yang ia ceritakan di bagian akhir buku. Bahwa saat itu ramalan cuaca mengatakan akan ada badai salju, jadi Budi Darma dan beberapa temannya diminta untuk kembali ke apartemen. Saat lift akan menutup, seorang perempuan menahan lift. Mereka berbincang sejenak tentang tiga anak kecil yang juga ada di dalam lift. Kejadian itu ternyata menjadi pemantik bagi Budi Darma untuk menulis Olenka hingga rampung hanya dalam waktu tiga minggu.

“Sebenarnya ide dan material tulisan saya sudah ada, nah momen di lift itu adalah pemantik, keluar satu demi satu sampai jadi satu novel.”

Saya lalu memperlihatkan foto profilnya di sampul belakang, ia hanya merespon “Oh ini buku udah lama banget.”

Budi Darma lalu menceritakan potongan-potongan koran yang ada dalam novel (itu adalah idenya untuk memasukkan beberapa guntingan koran sebagai ilustrasi). Dengan antusias, ia bercerita tentang street preacher, pendeta jalanan yang ‘berdakwah’ di jalan-jalan Bloomington, cafĂ© yang menjadi setting tempat bekerja Olenka, tentang balon udara yang melintas di Indianapolis, tentang film Breaking Away yang dibuat pada saat ia masih kuliah di Indiana University, dan tentang pemandangan di belakang apartemen tempat tinggalnya.

“Memang ada orang yang bisa meramalkan masa depan orang tapi tidak bisa meramalkan dirinya sendiri. Ada yang bisa mengamati orang dengan cermat tapi tidak bisa mengamati dirinya sendiri,” kata Budi Darma saat aku memperlihatkan ilustrasi belakang apartemen itu. Aku bisa merasakan bagaimana ia kemudian mengingat lagi Bloomington yang telah ditinggalkannya puluhan tahun lalu. Pasti menyenangkan bisa menceritakan lagi apa yang sudah berlalu.

Kekuatan dari Olenka adalah perenungan Fanton Drummond akan apa-apa yang telah ia lakukan. Seperti Budi Darma katakan di awal buku: Karya sastra yang baik adalah yang kaya berkelebatnya sekian banyak pikiran. Kita bisa membaca, Fanton tidak berdaya dengan perenungannya sendiri, keentahan yang tiada akhir, dan kepasrahan. Budi darma menyematkan kalimat Chairil Anwar, Hidup adalah menunda kekalahan. Tidak ada sosok hero di dalam kisah Olenka, yang ada hanya orang-orang malang.  

“Olenka adalah hasil pengamatan saya dengan kehidupan orang-orang di Bloomington, ada istri yang berselingkuh, anak dengan keterbelakangan mental, orang-orang individualis. Khusus untuk Fanton Drummond saya memasukkan beberapa karakteristik ke dalam tokoh itu.”

Pertemuan kami harus berakhir saat bus yang akan mengantar rombongan ke Fort Rotterdam sudah tiba. Rasanya masih ingin ngobrol lebih lama. Saya lalu meminta beliau menandatangani buku dan berfoto bersama. Tidak lupa saya menyerahkan paper bag yang sudah saya siapkan sejak kemarin untuknya :))

3 July 2013

1 July 2013


You may not know me... But ever since your brother 'introduced' you in one of our conversations, I feel so much close. Like I've known you for long. Maybe because, all of my life I've been wanting to have a younger sister. Maybe you are the answer, I'm keeping the faith...

Don't grow too fast, I wish to see your pure sweet smiles...
Love,


Emma