Untuk pertama kalinya saya komplain dengan cuaca hari ini yang tidak menentu. Mendung di timur, terang benderang di barat. Hujan rintik sebentar, lalu hujan besar, lalu turun level jadi gerimis. Masalahnya adalah saya membawa paper bag untuk salah seorang penulis favorit yang akan kutemui hari ini. Untung saja saya membawa payung jadi resiko basah-basahan bisa dikurangi.
Kabar mengenai kedatangan Budi Darma saya peroleh
dua hari lalu dari junior saya: Riana, Meike, dan Nita. Ada semacam
gathering penulis Indonesia, Budi Darma salah satu peserta yang turut
hadir. Hati saya rasanya mengembang sampai ke sudut-sudut. Huaaaa… saya
harus bertemu dengannya. Saya langsung mengontak Nita yang kini ternyata
telah bekerja sebagai wartawan di salah satu media lokal dan bertugas
meliput kegiatan ini. Kami berjanji bertemu di Hotel Aston, tempat di
mana para penulis berkumpul sebelum menuju Fort Rotterdam.
Budi Darma adalah penulis novel Olenka,
satu-satunya novel bahasa Indonesia yang kubaca hingga berkali-kali.
Seperti menengguk obat dan berharap manjur menghilangkan sakit, seperti
itulah Olenka bagiku. Novel Olenka adalah salah satu pain killer ampuh.
Menyadari bahwa ada sebagian diriku yang hidup dalam karakter Olenka,
Fanton Drummond, dan Wayne Danton.
Lobi hotel ramai saat aku tiba. Rasanya sudah tidak
konsen saat menitipkan payungku yang basah. Pandanganku menyapu isi
lobi dan akhirnya menemukan Nita sudah bersamanya. Sosoknya tiada
memperlihatkan kerentaan di usianya yang sudah menginjak 75 tahun. Ia
berjalan sendiri, langkahnya mantap saat menenteng travel bag, tanpa
tongkat. Sebagian rambutnya telah memutih.
Begitu mendapatkan kesempatan, saya lalu mengobrol
dengannya sambil mengeluarkan novel Olenka milikku. Saya seperti
melakukan verifikasi, mempertemukan apa yang saya baca langsung dengan
pengarangnya. Wah saya sampai gemetar. Bertemu langsung dengan
‘pencipta’ Olenka. Yang saya baca kalau sedang sedih, yang kisahnya
telah menemani dan membantu saya melewati masa-masa sulit selama ini.
Ia lalu menceritakan bagaimana inspirasi menulis
Olenka, seperti yang ia ceritakan di bagian akhir buku. Bahwa saat itu
ramalan cuaca mengatakan akan ada badai salju, jadi Budi Darma dan
beberapa temannya diminta untuk kembali ke apartemen. Saat lift akan
menutup, seorang perempuan menahan lift. Mereka berbincang sejenak
tentang tiga anak kecil yang juga ada di dalam lift. Kejadian itu
ternyata menjadi pemantik bagi Budi Darma untuk menulis Olenka hingga
rampung hanya dalam waktu tiga minggu.
“Sebenarnya ide dan material tulisan saya sudah
ada, nah momen di lift itu adalah pemantik, keluar satu demi satu sampai
jadi satu novel.”
Saya lalu memperlihatkan foto profilnya di sampul belakang, ia hanya merespon “Oh ini buku udah lama banget.”
Budi Darma lalu menceritakan potongan-potongan
koran yang ada dalam novel (itu adalah idenya untuk memasukkan beberapa
guntingan koran sebagai ilustrasi). Dengan antusias, ia bercerita
tentang street preacher, pendeta jalanan yang ‘berdakwah’ di jalan-jalan
Bloomington, café yang menjadi setting tempat bekerja Olenka, tentang
balon udara yang melintas di Indianapolis, tentang film Breaking Away
yang dibuat pada saat ia masih kuliah di Indiana University, dan tentang
pemandangan di belakang apartemen tempat tinggalnya.
“Memang ada orang yang bisa meramalkan masa depan
orang tapi tidak bisa meramalkan dirinya sendiri. Ada yang bisa
mengamati orang dengan cermat tapi tidak bisa mengamati dirinya
sendiri,” kata Budi Darma saat aku memperlihatkan ilustrasi belakang
apartemen itu. Aku bisa merasakan bagaimana ia kemudian mengingat
lagi Bloomington yang telah ditinggalkannya puluhan tahun lalu. Pasti
menyenangkan bisa menceritakan lagi apa yang sudah berlalu.
Kekuatan dari Olenka adalah perenungan Fanton
Drummond akan apa-apa yang telah ia lakukan. Seperti Budi Darma katakan
di awal buku: Karya sastra yang baik adalah yang kaya berkelebatnya sekian banyak pikiran. Kita bisa membaca, Fanton tidak berdaya dengan perenungannya sendiri, keentahan yang tiada akhir, dan kepasrahan. Budi darma menyematkan kalimat Chairil Anwar, Hidup adalah menunda kekalahan. Tidak ada sosok hero di dalam kisah Olenka, yang ada hanya orang-orang malang.
“Olenka adalah hasil pengamatan saya dengan
kehidupan orang-orang di Bloomington, ada istri yang berselingkuh, anak
dengan keterbelakangan mental, orang-orang individualis. Khusus untuk
Fanton Drummond saya memasukkan beberapa karakteristik ke dalam tokoh
itu.”
Pertemuan kami harus berakhir saat bus yang akan
mengantar rombongan ke Fort Rotterdam sudah tiba. Rasanya masih ingin
ngobrol lebih lama. Saya lalu meminta beliau menandatangani buku dan
berfoto bersama. Tidak lupa saya menyerahkan paper bag yang sudah saya
siapkan sejak kemarin untuknya :))