
Akhirnya silaturahmi itu bisa kami lanjutkan lewat facebook. Aku selalu menyempatkan diri berbincang-bincang jika kami kebetulan sedang online, meski hanya bisa sampai pada batas tanya jawab keadaan. Ia pasti sibuk. Seperti chatting barusan, aku menanyakan novel barunya yang sudah beredar di gramedia.
Tapi ada satu hal yang bikin sedih membacanya, setelah aku mengabarkan titik koordinatku, di kampung halaman. Tidak kusangka ia akan merespon seperti ini: asyik yang masih punya kampung, bd ga punya kampung, ga ada yang indah utk dilihat kecuali mal n mal, kapan-kapan kalo ada rejeki mau tuh ke kampungnya erma.
aku lalu menjelaskan singkat suasana beberapa tempat yang pernah kulalui selama penelitian lapangan kemarin. Ya, kemarin aku dapat kesempatan melihat dataran yang seperti dilapisi karpet hijau berbulu saking subur dan sejuknya. "iya bunda, nanti aku ajak keliling lintas kabupaten. pokoknya kiri kanan jalan itu kayak karpet hijau, belum pantainya, bukit2nya...".
aduh rindu banget ingin lihat sawah yg menghampar, apalagi ada pantainya, ingat masa kecil di Bali tahun 70-an, Bali sekarang udah berubah jg...

Aku jadi teringat sawah di belakang rumahku, juga pada petak-petak hijau lainnya di sepanjang yang dulu selalu kulewati menemani ibu ke pasar naik becak. Tidak banyak yang berubah memang, kecuali sebuah papan pemberitahuan bahwa di lokasi itu akan dibangun sebuah perumahan. Hmmm... masikah akan kutemui petani di tengah kota ini?
Watampone, 06 Mar 10
3 comments:
itulah sebab mengapa saya pilih tinggal di kampung. biar selalu lihat laut bersih, selalu menghirup udara segar, dan selalu makan ikan segar yang baru ditangkap dari laut. hehehehe
btw, ini bukan apologi saya khan?
betul, betul, betul....!!
kampung duriaaaaaaaaannnnnnnnn....!!
hehe,,,bukan kak,saya juga senang tinggal di bone, cuma mungkin kaki sudah terikat dengan keriuhan kota... :(
durian, durian, durian,,,
Post a Comment