
Benar saja, alangkah kagetnya saya ketika salah satu diantara mereka membalas pesan itu. isinya berupa ucapan terima kasih diiringi penolakan halus tidak akan mengunduh file itu "saya tunggu legalnya saja". waduh, berarti tindakan saya tidak ilegal dong. okelah kalo begitu. saya membalasnya lagi dengan kalimat singkat 'ok, I appreciate it', daripada harus berdebat panjang dengannya. Pengalaman ini cukup memberi warning bagi saya, betapa sebuah tindakan di dunia maya dapat dinilai berdasarkan pemahaman nilai yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Tapi benarkah tindakan saya atau siapa pun yang mengunduh gratis bisa disebut tidak illegal? Maaf jika dalam tulisan ini, kesannya saya ingin mencari pembenaran dari tindakan saya itu, hehe…
Sebagaimana yang kita mafhum, internet merupakan media konvergen, peleburan beberapa jenis media ke dalam satu bentuk. suara, gambar, teks menjadi satu. Nonton berita, olah raga, video klip, mendegarkan radio online yang dulu terbatas jatah frekuensi, sudah bisa dihadirkan secara global. Ini kemudian mengancam media mainstream yang selama ini mengandalkan audiens yang tersegmen secara geografis. Belum lagi jika membahas posisi audiens dalam menangani dan menyikapi gempuran isi media tersebut.
Boleh jadi media konvensional terbahak-bahak melihat audiens yang tidak berdaya dalam aliran infomasi yang sifatnya satu arah. Demikian pula konten media yang berasal dari pihak ketiga, dalam hal ini media bertindak sebagai distributor produk hiburan macam film, musik, dsb. Dalam perspektif manajemen siaran, saluran TV yang menyiarkan produk tersebut mesti membayar royalti kepada industri kreatif sebagai produsen yakni label dan musisi yang bernaung padanya.
Menarik jika akhirnya kita melihat media online sebagai media penyiaran, khususnya ketika berbicara mengenai file-sharing. Kemudian muncul pertanyaan, apakah ‘hukum’ royalti di atas juga berlaku pada media online itu? Bagaimana status file-file yang berlalu lalang pada layar di hadapan kita yang pada tataran dunia fisik mestinya bernilai mahal dan tidak boleh dibagi gratis? Menarik untuk melihat siapa yang mesti bertanggung jawab terhadap praktek pembajakan yang sering dikecam oleh pelaku industri kreatif.

Lily sebetulnya tidak perlu panik, ia juga tidak boleh menyalahkan end user dari berbagai belahan dunia yang dianggap telah mencaplok lahan penghasilannya. Matthew Bellamy, sahabatnya yang juga frontman Muse, pada kolom komentar postingan itu, menawarkan cara pandang terhadap distribusi hasil karya melalui media online yang tidak terjamah hukum industri kreatif, yakni dengan melihat dunia maya sebagai media siar baru. Broadband makes the internet essentially the new broadcaster. This is the point which is being missed, sebut Matthew.
Jika industri musik populer berbicara mengenai produser, distributor, dan konsumer, maka ISP sebagai penyedia broadband berada pada posisi distributor, sama halnya dengan saluran TV yang menayangkan video klip musik. Dalam tata aturan yang mengikat mereka media konvensional, saluran TV itu mesti membayar hak kepada pelaku industri kreatif tersebut, termasuk musisi yang menghasilkan karya seperti Lily Allen.
Dalam ranah jagad maya, jika menerapkan konsep ini, maka yang mesti membayar royalti adalah ISP tersebut karena bertindak penyedia broadband hingga menjadi saluran. bukan end users yang selama ini dikecam oleh Lily dan musisi-musisi lain yang kontra. Jadi protocol-lah yang harus bayar pajak tiap kali ada file yang diunduh oleh users, yang telah memungkinkan upload data yang besar-besaran dan sebaliknya download data tersebut secara gratis. (selengkapnya mengenai pendapat Matthew Bellamy tentang file sharing dapat dilihat di sini)

Namun setidaknya dengan perspektif ini melahirkan pandangan baru dalam melihat praktek file-sharing. Saya sepaham dengan Matthew, bahwa file-sharing telah menjadi sebuah norma. Ia anak dari teknologi yang memberi ruang baginya. Bagi saya pribadi kehadiran media macam Youtube sangat membantu menggali artefak masa lalu yang tidak bisa saya saksikan langsung sebelum ia terkubur oleh masa.
Saya tidak perlu lagi menonton MTV Classic berharap video Back for Good-nya Take That diputar kembali. Videonya sudah saya download dan bisa saya lihat kapan saja lewat handphone. Begitu juga dengan album The Resistance, sebelum lagunya diputar di radio dan video klipnya ditayangkan di TV, sebagian besar fans Muse, termasuk saya, sudah mengangguk-nganggukkan kepala dengan headset mp3 di telinga mereka.
Jadi mengapa loyalitas fan mesti diukur dari seberapa asli cakera padat yang kita dengarkan., dari seberapa sabar kita menanti produk aslinya keluar? bagi saya ada cara lain menghargai hasil karya mereka selain itu. Kesuksesan musisi dilihat dari seberapa ia memberi dampak dan menggerakan orang-orang lewat karya mereka. Lily, aku tetap mencintai dan mengagumi senandung lagumu.
Sengkang, 20 Februari 10
No comments:
Post a Comment