Runnin' 'round leaving scars
Collecting a jar of hearts
And tearing love apart
It took so long just to feel alright
Remember how to put back the light in my eyes
(Christina Perri)
Jika pun ada kekurangan, itu pasti adalah kau belum bisa mengingat apa yang kau alami di awal-awal kedatangmu di dunia ini, sejak kau masih berumah di rahim hingga lahir. Semua bayi begitu, ibumu dan aku juga tidak punya ingatan seperti apa kami saat seumuranmu. Tapi ibumu akan mengingat semua masa kecilmu, ia sudah mengikat ingatan bagaimana engkau sering muntah karena kebanyakan minum ASI, bagaimana lelapnya engkau tertidur di pangkuannya saat ia menulis tentangmu.
Jadi, izinkanlah aku untuk berbagi ingatan tentangmu dan apa-apa yang terjadi di masa sebelummu. Biar kuceritakan pertemuanku dengan ibumu. April 2000, ada seorang perempuan berparas ayu duduk di bangku paling depan ruang kelas sebuah SMP di Watampone, kota kelahiranku. Kami dipertemukan dalam sebuah lomba Siswa Teladan untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional 2 Mei. Aku masih ingat jelas ekspresi wajahnya saat ia mendapat giliran membawakan pidato yang menjadi bagian penilaian. Sepertinya ibumu canggung berbicara di depan kami dan siswa-siswa tingkat SMA yang kebetulan ikut menyaksikan sesi ini. Ibumu sangat cantik soalnya, Ara. Dengan senyum malu-malu khas perempuan, ia tampak berjuang segera menyelesaikan pidatonya agar ketegangan itu juga berakhir.
Kami sempat bercakap-cakap, aku akhirnya tahu ia berasal dari Lapri, sebuah kecamatan yang pasti kulalui jika aku ingin ke Makassar. TIga hari sudah cukup bagiku untuk merekam memori tentangnya hingga aku bisa mengingatnya saat kami bertemu lagi empat tahun kemudian, tepatnya Agustus 2004. Kali ini kami dipertemukan di Baruga Universitas Hasanuddin, ya, kami ternyata akan menjalani kuliah bersama-sama di Ilmu Komunikasi, di mana ibumu akan bertemu dengan ayahmu, kelak setelahnya.
Tahukah kau Ara, kesan pertama bertemu lagi dengan ibumu? Saat itu kami baru saja habis shalat Zuhur di mesjid Ramsis, saat aku menoleh ke arahnya untuk pertama kali, aku seperti melihat malaikat. Kau dan ibumu mungkin menganggap ini kuberlebihan, tapi itulah first impression dirinya. Ibumu seolah sparkling, ada bintang-bintang kedap-kedip di sekelilingnya.
Saat aku berusaha mempertemukan ingatan waktu SMP itu, ibumu malah tidak ingat apa-apa. Waduh… Tapi belakangan ia akhirnya ingat juga. Waktu aku protes kenapa ia bisa lupa, ia memberi jawab yang bikin saya urut-urut dada: “Soalnya kau lebih cantik waktu SMP, apalagi dengan rambut spiralmu itu..” Hahaha..separah itukah perubahanku? Lalu setiap kami mengulang ingatan itu, ia menambahkan , “Bukan Em, waktu itu kita masih polos, lugu, dan tidak berdosa, tidak seperti hari ini…” Then we ngakak together.
Empat tahun masa kuliah plus tiga tahun kami jalani bersama… Ibumu adalah perempuan impulsif, ia mengikuti ke mana hatinya pergi dan selalu berjuang keras mewujudkan keinginannya, 180 derajat dariku. Itulah mengapa aku selalu bersemangat jika bertemu dengannya, hadirnya seolah menularkan optimisme buat seorang aku yang derajat kepesimisanku sangat tinggi. Ia periang, memandang segala persoalan bisa selesai dengan cekikikan. Sampai-sampai aku bertanya ini anak pernah menangis atau tidak??? Hanya sekali aku melihat matanya bengkak, saat nenekmu berpulang Mei 2008.
Saat mengandung dirimu, Ibumu sering menginap di kamar kosanku dekat kampus. Berada di kamar sebuah rumah semi permanen, kami kepanasan bersama-sama, bangun kesiangan bersama-sama, sampai kak ipah menegur, katanya tidak baik untuk pertumbuhanmu. Tapi begitulah ibumu..dan aku juga..kadang datang perilaku batunya, batu tidak punya telinga kan, tidak mendengar, hahaha…
Di kamar ukuran 2x3 itu pula kami merekatkan mimpi-mimpi dan kutukan-kutukan kami di langit-langitnya yang berplafon rendah. Tahukah Ara, beberapa di antaranya terwujud, ibumu akhirnya bertemu dengan Dewi Lestari, penulis favoritnya, sementara aku? Ada sebuah kutukanku yang bekerja nak, seandainya aku bisa memberitahumu sekarang… Kelak jika penasaran kau bisa mencariku, hehe..peace..
Banyak orang yang menilai ibumu sebagai seorang princess, or maybe a queen… Diam-diam kami menertawai penilaian itu, masih di kosanku juga, saat malam makin galau. Baik ibumu dan aku percaya kami lebih dekat dengan perumpamaan tukang sihir, the bad one dalam kisah-kisah dongeng. Ia kerap menantangku melakukan hal-hal ekstrim, selama itu tidak sampai membuat kita mati. Aku jadi ingin menyalahkan ibumu jika aku sudah berbuat sesuatu yang memenuhi karakteristik ekstrem, hehehe…
Ibumu juga punya keganjilan, ia perempuan romantis. Ia melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan seorang laki-laki terhadap pasangannya. Dari situ pun aku tahu, ada bagian dari hatinya yang sangat rapuh, entah, aku berusaha menghindari bagian itu. Aku ingin mengabadikannya sebagai si periang, the extremist, the brave heart.
Selama engkau hidup di tubuhnya, ada beberapa kejadian yang melintasi masamu. Bulan Maret, posisi bulan paling dekat dengan bumi, aku punya foto ibumu berlatar belakang bulan purnama itu. Lalu, bulan Mei ada Lunar Exclipse, gerhana bulan terlama sejak 300 tahun lalu, dan yang paling akbar dan dirayakan 2 milyar penduduk dunia, apalagi kalo bukan Pangeran William menikah dengan Kate Middleton, yuhuuu…
Lalu engkau lahir di hari ulang tahun ibumu, 2 Agustus. Aku sudah bisa membayangkan suatu saat kelak, kalian berdua memakai topi kerucut duduk di depan meja menghadap sebuah kue ulang tahun bagian atasnya penuh lilin, lalu bertepuk mengiri lagu ulang tahun, aku bisa melihat kasih ibu dan anak itu. Berbahagialah engkau, lahir dari seorang ibu yang sangat menyayangimu.
Masih banyak ceritaku, tapi aku mencukupkannya sementara sampai di sini. Aku membuatkanmu mesin waktu ingatan. suatu saat kau sudah besar, entah adakah getar rasa menyertai saat matamu menyisir huruf demi huruf ini. Aku sependapat dengan ibumu, ibu-ibu kami mengabadikan kami dalam ingatan-ingatan mereka, jadi saatnya bagi kami mengabadikanmu dalam tulisan dan dengannya engkau bisa bertamasya memori kapan saja kau mau suatu saat :)
Much Love,
Titi Emma
Angkutan kota berlalu silih berganti, memanggil-manggil untuk naik. Kali ini aku sudah tidak bisa mengangkat tangan sekedar memberi kode tidak akan naik. Sesekali suara klakson menyengat telinga saat aku tidak sadar langkahku ternyata menghalangi jalan mereka.
Kekosongan menyergapku, entah dari mana datangnya. Tidak kudengar lagu yang sering bermain di kepalaku, aku tidak bisa mengingat satu bait pun dari semua lagu yang sudah menemaniku selama ini. Jiwaku pergi entah ke mana... Tidak ada yang bisa kumaknai bahkan sakit yang kutopang sejak dari tadi tiba-tiba terasa hambar, detak jantung yang memaksaku semalam tidak tidur hingga pagi perlahan melambat. seperti menggenggam busa sabun, habis satu persatu, meski basahnya tetap terasa.
"Apa kau mencintai ayahmu?" tiba-tiba telingaku mengiangkan pertanyaan ini.
pertanyaan seorang teman perempuan yang pernah sering menjadikan kamarku tempat bernaung. Ia menanyakannya di sebuah malam, kala kami rebahan memandang langit-langit kamar yang rendah. Tanya itu lalu diterbangkan desau kipas angin, memberiku jeda untuk berpikir sejenak.
"lebih besar dari rasa engganku bilang cinta padanya", jawabku masih dengan menatap langit-langit. Malam itu aku tidak bisa terlelap mengingat ayahku.
di sepanjang jalan ini, ketika kesadaranku sudah kembali berpijak di kepala. aku tiba-tiba sangat merindukan Bapak. jauh waktu aku masih kecil, aku mematut diri di depan cermin saat ia baru saja pulang kerja. Aku menghambur ke arahnya. Bapak mendudukkanku di pangkuannya yang masih hangat karena diguyur matahari. Belum sempat melepas jaketnya, ia tersenyum melepas karet gelang di rambutku yang masih tipis, mengurainya lalu berkata 'anak perempuannya Bapak tidak boleh dandan, nanti ada yang ambil."aku tidak mengerti maksudnya, aku hanya termangu.
Alih-alih mencium pipi atau keningku, ia malah menggendongku lalu berpura-pura ingin melemparku keluar dari jendela. Jika sudah puas melihatku tertawa atau ketakutan, ia menaruhku di lantai, lalu aku pun bergelantungan di lututnya terseret mengikuti ke mana ia pergi..
Dan kedua tanganku masih akan merangkul bahuku sendiri, meski itu tidak cukup sanggup membuatku terlelap malam ini, karena aku sangat merindukan bapak....
ada saat jarak kita bersentuhan, kau di sana, aku di sini mengikat punggungmu dengan tatapan tanpa henti sedari tadi. apa kau merasakan jarak aman itu beririsan. Aku dapat merasakannya saat engkau makin menjauh, entah dengan beberapa langkah yang kau ambil atau dengan adegan verbal maupun non-verbal memagari ruang gerakmu dariku.
Ingatkah kau ketika kita menengadah ke langit hingga leher kita sakit memandangi ledakan kembang api di ujung desember. Kau bertanya kenapa semburannya berbentuk lingkaran, kenapa bukan persegi, oval, atau segitiga. Lalu kau menjawab sendiri, mungkin itu adalah pola alam yang tidak bisa diinterupsi manusia. Ingat jugakah kau saat malam tahun baru kau bersedih karena langit ternyata menumpahkan hujan air, bukan hujan bunga-bunga kembang api.
Aku merindukan suara gemuruh ledakan kembang api itu. mendengarnya aku sejenak tersadar dari lamunan tidak henti-hentinya tentangmu. Dentuman yang menciptakan hening sesaat dari ributnya tawa gelimu, dan bius bagi perihnya senyum itu mengiris hatiku. Ledakannya serupa lampu merah yang berhak menahan bayang-bayangmu berlalu lalang di kepala.
Saat kita bersama, waktu terasa berjalan seiring seirama, jam di handphone-mu selaras di handphone-ku, selalu menunjukkan angka yang sama. Engkau dan aku sama-sama merasakan relativitasnya waktu, melambat kala rindu mendera dan bergerak cepat saat menghabiskan waktu. Masihkah kau merasakannya, ataukah konsep waktu kita sudah berkebalikan? Kau jengah dengan pertemuan ini, waktu bagimu melambat, lalu berharap segera berlalu. Relativitas itu sudah tidak berlaku. Jarum jamku berputar ke arah kanan, sementara milikmu telah berputar ke arah kiri. Bukan lagi harmoni yang terdengar, tapi bunyi-bunyian yang bertabrakan karena nada perputaran waktu kita sudah tidak serentak.
Tatapanku pun makin lemah mengikatmu, kau beranjak tanpa menoleh. Tiada keraguan dalam setiap inci langkahmu. Aku membalikkan badan, dua lingkaran jarak kita pun menjauh. Kau telah mematahkan sayap-sayap rinduku padamu. Perlahan aku akan mencintai jarak itu, rindu tanpa harus menyatu. Karena dalam jarak yang meluruh pun saat bersamamu, aku tetap akan menutup mata, agar dapat kucipta dan kurasakan lingkaran jarakmu menyentuh jarakku.